2 Agu 2015

Garuda Indonesia (GIAA): Kepakan Sayap Sang Garuda

,
Sore menjelang malam kala itu di Jakarta, macet anarkis selama dua jam di tol Jorr yang biasanya terasa sangat menyiksa hari itu seperti tidak berasa, suara penyiar PAS FM Nina Amelia juga terasa berbeda, mungkin karena narasumber kali ini adalah orang yang juga bersemangat, bersemangat membawa maskapai terbesar Indonesia menjadi top five star airline di dunia. Yupp Emirsyah Satar kali ini yang sedang memberikan 'kuliah singkat' bagaimana membawa Garuda Indonesia (GIAA) dengan program prestisius "Quantum Leap" hingga mendunia.

GIAA menjadi official  partner club sepakbola Liverpool F.C (My Fave Club)
sumber: http://www.liverpoolfc.com/

Quantum Leap

Tak ada maskapai di negara ini yang menurut saya memiliki service yang sekelas GIAA, tak perlu disebutkan satu per satu karena bagi pembaca yang pernah naik Garuda pasti tahu bedanya terbang layak dengan terbang asal sampai tujuan. Meskipun harga yang dibayarkan lebih mahal tapi itulah service price, harga yang kita bayar demi pelayanan jasa paripurna.

Saya ingat ketika kuliah diajarkan tentang Blue Ocean Strategy, yaitu strategi mengalahkan pasar dengan keunggulan penuh, menciptakan brand awareness terunggul tanpa pesaing, atau apa yang kita kenal saat ini sebagai MOAT. Strategi Quantum Leap adalah cerminan dari Blue Ocean Strategy. Emirsyah, sebagai Dirut kala itu meluncurkan strategi yang di bagi dalam empat tahap:
  1. Learning & Growth : Strategi untuk belajar, melihat kelemahan diri sendiri, mencari solusi dengan reformasi organisasi dan reformasi operasional (armada dan jasa pelayanan). Disini GIAA membutuhkan dana tambahan untuk mendukung strategi ini kedepan, sehingga dilakukan IPO di bursa saham pada tahun 2011 di harga Rp. 750 per lembar.
  2. Internal Process : GIAA tidak langsung menerapkan kepada customer/ penumpang, namun terlebih dahulu melakukan perbaikan internal; Penggunaan dana IPO sebagai Capex untuk pembelian pesawat baru (Boeing 777-300ER), pembayaran hutang jangka panjang, perbaikan neraca keuangan, pengetatan jadwal maintenance, penambahan rute terbang, program insentif bagi karyawan hingga perbaikan flow process perusahaan. Maklum, sebagai emiten BUMN, sebelumnya GIAA sangat di intervensi oleh pemerintah sehingga flow process-nya kaku dan terbatas.
  3. Customer : GIAA lebih fokus pada full airline service. Konsep ini justru bertolak belakang dengan konsep mayoritas airline Indonesia yang menekankan pada low cost, mesipun GIAA juga meluncurkan low cost carrier dengan Citilink, namun disinilah kecerdikan manajemen, justru konsep ini yang membuat GIAA memiliki reputasi kelas dunia dan membedakan dengan airline lain. Jelas bagi customer naik Garuda terasa lebih prestise ketimbang naik airline yang lain. Dari konsep ini, GIAA mendapat predikat 5-star world airline dari Skytrax.
  4. Financial : Hasil akhir bagi kerja keras pihak GIAA adalah menghasilkan keuntungan yang konsisten dengan neraca keuangan yang sehat.
Sedangkan milestone tahunan dari konsep Quantum Leap dapat dilihat pada gambar dibawah:
Sumber: Garuda Indonesia
Saya pribadi sangat menyukai paparan Emirsyah Satar (saat ini sudah tidak di GIAA-ed) di radio kerena konsep GIAA di atas bukan hanya untuk menilai GIAA seperti apa, tapi juga sangat bisa kita terapkan di bidang usaha kita, di bidang pekerjaan kita apapun, terutama usaha di bidang jasa. Excellent service is definitely must.

Jalan Terjal itu bernama Hutang

Jalan yang dilalui GIAA memang tidak mulus, sangat berliku dan berdarah-darah. Jika kita melihat neraca keuangan dan profitabilitas yang naik turun sepanjang 2011 hingga 2014. Di tahun 2014 GIAA mencetak rugi bersih 4.64 trilyun rupiah (330 juta USD) setelah sebelumnya di 2004 dan 2005 juga mengalami rugi hingga 811 milyar rupiah. Mari kita lihat rangkuman laporan keuangan GIAA dari 2003.

Sumber: Garuda Indonesia Financial & Annual Report 2003-2015 Q2 (dirupiahkan)
Kondisi GIAA secara neraca keuangan betul-betul mengkhawatirkan, terutama pada 2004-2007 dimana kondisi laba yang negatif ditambah dengan jatuhnya ekuitas dan aset di tahun berikutnya karena adanya penjualan aset dan penarikan armada Boeing 737 akibat gagal bayar hutang jangka panjang kepada kreditur. Akibatnya lebih dari 10 rute penerbangan ditutup karena kekurangan pesawat. Saat itu hutang GIAA mencapai 10x ekuitasnya termasuk menahan pembayaran kepada vendor senilai 150 juta USD. Dan sampai 2009, hutang GIAA justru bertambah mencapai 726 juta USD , hutang tersebut diantaranya hutang terhadap ECA mencapai 300 juta USD, hutang FRN (Floating Rate Notes) kepada kreditur di Singapura sebesar 131 juta USD serta sisa hutang lainnya kepada Angkasa Pura II dan Pertamina.

Dengan DER sebesar 10.61x, membuat GIAA saat itu dalam  kondisi gagal bayar, dimana jika kondisi itu tidak segera ditangani maka dapat membuat perusahaan tersebut bangkrut meskipun itu perusahaan BUMN. Contoh yang nyata adalah Merpati Nusantara Airlines.

Kondisi Saat Ini

Laporan keuangan GIAA adalah salah satu laporan emiten yang paling saya tunggu di kuartal kedua tahun ini, karena GIAA merupakan 'sosok' yang menarik menurut saya. Bagai Don Juan, excellent service diluar tapi bermasalah di dalam. Tak berlebihan jika kami penasaran pada laporan keuanganya (selain SRIL, tapi SRIL sudah tidak penasaran karena sahamnya sudah di goreng-ed). Karena pula tahun 2015 ini adalah tahun terakhir dari program Quantum Leap, tahun 2015 ini adalah hasil dari proses reformasi Garuda Indonesia yang dilalui dengan jatuh bangun.

Sepertinya program Quantum Leap mulai mencatat hasil bagus, dimulai dari 2012 ketika itu GIAA memprioritaskan pembayaran hutang jangka panjang dengan kreditur dan terutama hutang dengan Angkasa Pura. DER GIAA pun membaik menjadi 0.02 alias sangat berhasil. Namun hal ini belum diimbangi dengan membaiknya neraca operasional, terutama tahun 2014.

Dan saat ini GIAA mencatat laporan keuangan yang cukup baik pada kuartal 1 2015 lalu dan dilanjutkan pada laporan kuartal 2 ini dimana laba operasi GIAA tercatat positif sebesar 77,5 juta USD. Kondisi ini berbanding terbalik dengan setahun yang lalu ketika GIAA mencatat rugi besar -235 juta USD akibat bengkaknya biaya beban usaha. Biaya ini pula yang membuat kerugian GIAA pada tahun 2004-2005.

Tentu saja membaiknya kondisi ini sangat dipengaruhi turunnya biaya operasional, mari kita lihat komponen biaya-biaya yang ada.

BEBAN USAHA (USD)20152014% Bobot Delta
Operasional penerbangan 1,057,908,945 1,198,105,189 58.94%-11.70%
Pemeliharaan dan perbaikan 173,082,588 163,096,828 9.64%6.12%
Tiket, penjualan dan promosi152,467,236 171,186,100 8.49%-10.93%
Bandara146,470,065 146,979,480 8.16%-0.35%
Pelayanan penumpang 130,775,180 146,569,260 7.29%-10.78%
Lain lain134,115,053 149,217,708 7.47%-10.12%
Jumlah Beban Usaha 1,794,819,067 1,975,154,565 -9.13%

Faktor terbesar penurun biaya adalah operasional penerbangan, kita jelajahi lebih detail lagi.

Beban Operasional Penerbangan (USD)20152014% Bobot Delta
Bahan Bakar533,192,642 759,219,927 50.40%-29.77%
Sewa & Charter Aircraft423,849,897 325,962,912 40.06%30.03%
Gaji & Tunjangan55,550,856 75,306,899 5.25%-26.23%
Penyusutan32,899,945 26,003,754 3.11%26.52%
Asuransi8,589,333 7,520,684 0.81%14.21%
Beban imbalan pasca kerja2,789,751 3,291,563 0.26%-15.25%
lain-lain1,036,523 799,440 0.10%29.66%
Total1,057,908,947 1,198,105,179

Fuel atau bahan bakar memegang peranan penting dalam struktur biaya operasi, hampir sepanjang sejarah perjalanan penerbangan Indonesia apapun maskapainya, komponen biaya ini senantiasa meningkat setiap tahun, sangat menggembirakan melihat GIAA berhasil menurunkan konsumsi avtur dengan tetap meningkatkan traffic penerbangan.

Kami melihat langkah yang dilakukan GIAA diantaranya sebagai berikut:
  1. Keputusan management GIAA untuk menggunakan pesawat baru yang tentu saja lebih irit bahan bakar dan penggunaan pesawat sesuai jarak tempuhnya. Diantaranya Boeing 777 & Airbus 330-300 untuk long flights, B-738 untuk medium flights dan CRJ 100/ATR-72 untuk short flights. Jadi tidak ada lagi penerbangan Jakarta-Lampung menggunakan Boeing atau Airbus yang akan sangat boros untuk jarak pendek.
  2. Identifikasi penghematan biaya dari non-fuel cost sebesar 198 juta USD.
  3. Menutup jalur penerbangan yang tidak profit.
  4. Menambah kuota penerbangan Umrah dan tujuan luar ke China.
  5. Melakukan hedging senilai Rp 1 trilyun (total Rp 2 trilyun) untuk mengantisipasi perubahan kurs dalam sistem cross currency swap. Dari skema ini GIAA menghemat 16,4 juta USD.
Bagi sebagian investor tabel diatas menyisakan pertanyaan, yaitu naiknya biasa sewa pesawat. Apakah selama ini GIAA hanya menyewa dan bahkan tidak memiliki pesawat sendiri? Apakah ada indikasi korupsi yang terjadi karena dana expanding tidak digunakan semestinya? Mari simak tabel dibawah:
Garuda Indonesia Corporate Presentation 2015

Untuk Garuda sendiri hanya memiliki 19 pesawat dari total 150 pesawat alias sisanya sewa. Mengapa demikian? kami mendapat penjelasan dari salah satu pejabat GIAA tentang ini, point terpenting ialah bahwa GIAA memprioritaskan terhadap rata-rata umur pemakaian pesawat dan membuat kebijakan untuk hanya menggunakan pesawat paling lama berumur 5 tahun, diatas umur itu pesawat akan di ganti. Nah, untuk menghemat dana pemakaian pesawat maka akan lebih efisien jika melakukan sistem sewa, daripada beli lalu kemudian pesawatnya dilelang atau terus dipakai hingga menjadi pesawat tua seperti yang selama ini terjadi di banyak maskapai Indonesia. Ini membuat beberapa keuntungan, namun yang terpenting ialah GIAA tetap memprioritaskan keamanan dan kenyamanan penerbangan.

Analisa Saham GIAA

Saya sendiri tidak memiliki analisa tentang saham GIAA karena GIAA tengah melakukan apa yang dinamakan turn-around management. Sesuai target Emirsyah Satar, hasil turn-around itu akan bisa dilihat pada 2015. Dengan demikian kita belum bisa berharap hanya dengan melihat profitabilitasnya.

Lebih mendalam, saham GIAA saat ini masih dibawah harga pada saat IPO sebesar Rp 750/lembar. Saat ini harga saham GIAA sebesar Rp 437/lembar atau bernilai 0.96x dari nilai bukunya. Melihat harganya yang dijual jauh di bawah harga IPO, pastilah harga saat ini sudah sangat murah tapi belum tentu ketika kita melihat PERnya karena laba masih belum stabil sesuai periode turn-around.

Lalu bagaimana untuk memastikan masalah diatas?. Disini kita memakai apa yang disebut:

Cash per Share to Price Ratio (CPR). Yaitu melihat rasio saham dari uang kas. Dari laporan keuangan Q2 2015 GIAA memiliki kas dan setara kas 463 juta USD atau setara 6,185 trilyun rupiah (1 USD = Rp. 13.330) . Dengan jumlah saham beredar sebanyak 25,9 juta lembar maka GIAA memiliki Cash per Share sebesar 283.3 rupiah. Dengan demikian CPR GIAA = Rp. 283.3 / Rp. 437 = 54.65%.

Rasio diatas 50% mengindikasikan saham tersebut dijual dengan cukup murah, metode ini mendekati metode Benjamin Graham dengan Net-Net Value (Kami bahas disini) dimana Ben Graham menginginkan saham yang dijual dibawah uang kas-nya. Analisa seperti ini cukup efektif  jika diterapkan pada bisnis yang sedang melakukan turn-around. Tak heran jika CT sampai memborong saham GIAA pada saat right issue waktu lalu.

Hutang GIAA turun secara USD namun naik secara Rupiah. Secara likuiditas, rasio lancar GIAA yang masih dibawah 1 merupakan sinyal yang kurang baik, ditambah DER yang masih berkisar 1.64x ekuitasnya. GIAA masih rentan dengan hutang.

Prospek GIAA Kedepan

Jika bicara prospek, tak ada yang perlu diragukan saya rasa dengan melihat komitmen GIAA dalam layanan full service, apalagi di tahun 2015 ini, GIAA akan memakai Terminal 3 Ultimate sebagai basis penerbangan full service. Dengan kondisi bandara yang lebih nyaman, GIAA lebih terkesan eksklusif dengan hanya bergabung pada pesawat yang masuk kelompok full service airline.

Kita lihat prospek pertumbuhan airline di Indonesia:

Pertumbuhan airline kita malah lebih pesat dari China, meskipun secara nasional GIAA masih kalah dari Lion Air akibat low cost dan jumlah pesawat. Namun saya rasa tidak ada yang menjawab ragu ketika ditanya lebih terasa nyaman dan aman mana naik pesawat?

Selanjutnya yang terpenting dari bisnis penerbangan adalah on time schedule performance. Ini mengindikasikan apakah maskapai memiliki sense of service terhadap penumpang. GIAA memiliki rasio yang tidak main-main dalam hal on time schedule, rasionya mencapai 89.1 persen. Angka ini jauh sekali di atas maskapai lain di Indonesia, bahkan jauh lebih baik dari maskapai negara tetangga kita.

Untuk berinvestasi di GIAA memang tidak sembarangan, saya pribadi sangat tertarik masuk ke saham GIAA (tentunya untuk jangka waktu sangat panjang) setelah selama ini merasakan service yang paripurna dari sebuah airline. Saya selalu mendapat head-set yang baik untuk mendengarkan musik, film yang cukup baru, member card,  dan tentunya makanan yang enak tanpa hanya sekedar basa basi. 

Persoalannya adalah beberapa kalangan masih belum yakin sistem turn-around management GIAA dengan Quantum Leap bisa membawa GIAA sehat kembali. Perlu kejelian lebih untuk melihat hasil turn-around seperti itu. Toh, bisnis airline adalah bisnis yang tidak pernah mati, bukan bisnis cycle namun membutuhkan biaya investasi yang besar. So, dibutuhkan kesabaran extra keras.

Salam Investasi
Read more →

26 Jul 2015

Boom and Bust Theory Bagian 3: Antara Beijing dan Jakarta

,
Dear rekans, sebelumnya izinkan saya untuk mengucapkan Minal Aidzin Wal Faidzin, mohon maaf lahir batin bagi seluruh pembaca setia blog Srimaya ini, semoga seluruh ibadah di bulan puasa lalu mendapat berkah yang maksimal bagi yang menjalankannya.

Masih menyambung artikel sebelumnya tentang terjadinya Boom and Bust, untuk mempermudah pemahaman bagi para rekan terutama yang baru masuk dunia pasar modal / investasi dan masih kebingungan dengan turunnya nilai investasi secara ekstrim yang diikuti munculnya istilah bubble di berita. Berikut saya sederhanakan secara umum 10 tahap terjadinya Boom and Bust dalam suatu negara:


China dan Gelembung Pasar Saham.

Dari infografis diatas kita sebetulnya bisa menilai secara masing-masing kondisi investasi yang kita ikuti berada dalam fase apa, sayangnya  kita tidak pernah betul-betul mengetahui kita berada dalam fase apa karena semua individu memiliki persepsi. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa persepsi manusia adalah bias / salah. Namun kita diajak untuk membenarkan persepsi bias tadi dengan mengumpulkan satu per satu persepsi individu menjadi persepsi massal. Caranya: memuat artikel di media, email berlangganan, dan e-book. Dan persepsi dari banyak individu tersebut akhirnya mempengaruhi kita yang awalnya menyadari secara logika. Ini pula yang saat ini sedang melanda China.

The Chinese market is the wild wild west version of the stock market.

Tak berlebihan jika bursa saham China dijuluki wild wild west bursa saham. Istilah wild wild west adalah ungkapan orang Amerika untuk sesuatu yang liar dan tak terkendali. Ibarat koboi yang belum matang tapi sudah mengendarai kuda rodeo.

Di Amerika, bursa saham adalah bursa yang sudah sangat matang, sudah melalui beragam kondisi boom and bust yang seperti infografis jelaskan di atas dan sudah teruji dalam setiap gejolak ekonomi dunia. Itulah mengapa di Amerika tersedia 'pengaman' sekaligus 'pelecut' untuk orang tetap bertrasaksi di Wall Street, diantaranya: shorting, options, circuit breakers, futures, index dan re-balancing, yang dikelola oleh perangkat profesional (hedge funds, institutional funds, pension funds, dan retail investor).

Sebaliknya, pasar saham China masih muda, seperti di Indonesia, kondisi pasar modal China belum memiliki mekanisme pasar selayak Amerika (tidak ada options, shorting hanya diijinkan terbatas) dan lebih penting lagi, masyarakat China belum memiliki pengetahuan akan pasar modal dengan baik, termasuk pengetahuan akan resiko pasar modal (disini Indonesia lebih baik).

Periode Boom dimulai tahun 2013, bahasa sederhananya ketika itu China sebagai pemilik predikat negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia mulai tertarik mengembangkan pasar modalnya, Dimulai dengan suntikan dana besar pemerintah China kedalam pasar, terutama pada perusahaan BUMN dimana bertujuan agar ada peningkatan modal untuk menunjang berbagai proyek infrastruktur, teknologi, manufaktur dan perbankan yang meningkat sangat pesat.

Meskipun awalnya pasar mengalami stuck tetapi cenderung bergerak naik secara wajar sesuai dengan fundamental ekonomi ditambah dengan adanya kebijakan perbaikan likuiditas dan kelonggaran pinjaman. Namun katalis terbesarnya justru ketika pemerintah China mulai membuka akses hubungan langsung dengan pasar modal Hong Kong untuk menarik minat investor international pada April 2015 lalu.

Tahapan Boom and Bust di China sebagai berikut:

2013, Pasar saham China mulai naik secara perlahan, dari mulai Shenzhen Stock ExchangeShanghai Stock Exchange,  dan Hong Kong Exchange. Kenaikan ini masih sesuai dengan kondisi fundamental China yang dinilai sebagai negara dengan pertumbuhan tercepat.

Sumber: Bloomberg

Dari grafik di atas, coba bandingkan antara Shenzen dan Shanghai Stock Exchange yang naik secara Boom! dengan IHSG dan Dow Jones yang naik secara 'normal' dan bertahap.

2014, bursa China terus menerus naik dengan selalu mencetak all time high-nya. Koran dan majalah lokal maupun asing selalu berisi tentang gembar-gembor ekonomi China yang tumbuh pesat. Ini membuat masyarakat China terpancing menciptakan harapan untuk menjadi lebih cepat kaya dan jalan satu-satunya ialah masuk bursa saham, siapa yang tidak tergiur keuntungan lebih dari 20% dalam satu bulan?

2015, masyarakat China semakin berlomba untuk membuka rekening baru di sekuritas lokal, beberapa analis menyebut angka 20 juta rekening baru dibuka dalam periode April hingga Juni 2015. Hal ini tidak menjadi masalah apabila rekening dibuka secara wajar tanpa ada pertaruhan. Yang menjadi masalah ialah ketika sekian banyak  rekening itu dibuka oleh masyarakat China dengan hanya sedikit uang cash, alias berhutang, bukan hanya mempertaruhkan tabungan sebagai jaminan tetapi juga aset; rumah, apartemen, kendaraan dan lebih gila lagi beberapa pengusaha menjaminkan pabriknya untuk masuk ke bursa saham. Entah bagaimana pola pikirnya otoritas jasa keuangan disana, yang pasti rasio margin mencapai 10:1.

Lupakan Fundamental

Pasar China dominasi oleh investor yang belum atau bahkan tidak berpengalaman, ini membuat hanya sedikit dari mereka yang melakukan valuasi terhadap rasio harga terhadap laju laba emiten di pasar. Bahkan muncul anekdot "Forget the fundamental, just follow the algorithm". Maksudnya jelas, tidak perlu melihat fundamental emiten seperti apa, yang penting adalah lihat chart, dan selalu beli ketika harga break. Tentu saja teknik Darvas sangat berguna disini.  Selengkapnya Tentang Darvas dan ini

Akibatnya price earning ratio (P/E) di Shanghai Stock Exchange mencapai kisaran 20x dan di Shenzen Stock Exchange mencapai 50 - 60x dari rata-rata kenaikan laba bersih emiten-emitennya. Bahkan ChiNext, kumpulan saham-saham small-cap memiliki trailing P/E hingga mencapai 90x. Angka ini dua kalinya dari kejadian bubble dot.com di Amerika.

Mania berlangsung beberapa saat sebelum banyak dari Investor China maupun asing yang berpengalaman mulai menyadari bahwa gelembung sudah nyata di depan nyata. Pada April 2015, dua bulan sebelum gelembung pecah, Teng Bingsheng dosen dari Cheung Kong Graduate School of Beijing sudah memperingatkan "The bubble is making and valuations are extremely expensive".

Antara Beijing dan Jakarta

Bagaimana sebetulnya ekonomi China sebelum menghadapi pecahnya gelembung pasar saham? Apakah berpotensi seperti Amerika 1929? Lalu yang terpenting, bagaimana dampak kepada Indonesia?

Kita tahu bahwa erat kaitan ekonomi China dengan Indonesia, karena sebagian besar barang-barang konsumsi, dari mulai gelas plastik hingga skala pembangkit listrik melakukan kerjasama dengan China.

Mari kita lihat chart di bawah ini.


Perhatikan garis lurus berwarna orange di atas, itu adalah garis delta mean atau garis laju rata-rata pertumbuhan tahunan GDP (Gross Domestic Bruto) antara China dan Indonesia. Terlihat telah terjadi perlambatan perekonomian yang bukan hanya China tetapi juga Indonesia. Kabar baiknya, angka pertumbuhan GDP kita masih lebih tinggi dari 5 tahun yang lalu, berbeda dengan China yang angkanya sudah lebih rendah dari 5 tahun yang lalu. 

Sekilas memang terlihat bahwa ekonomi Indonesia dan China sedang sakit. Namun apakah seperti itu? Seperti kita tahu bahwa faktor pembentuk GDP ialah konsumsi (masyarakat dan pemerintah), investasi dan nilai ekspor impor. Karena hubungan China dan Indonesia adalah perdagangan, mari kita mulai dari yang terakhir, yaitu melihat laju neraca perdagangan ekspor impor yang biasa disebut Balance of Trade (BOT).

Silahkan simak chart Balance of Trade di bawah ini:

Balance of Trade ialah indikator yang menunjukkan perkembangan dari ekspor dan impor suatu negara. Sehingga jika kita perhatikan, baik China maupun Indonesia sama-sama memiliki laju BOT yang positif setahun terakhir dimana nilai ekspor lebih besar dari nilai impor. Meskipun jika dirunut dalam 10 tahun terakhir  BOT kedua negara terutama Indonesia masih cenderung menurun dan masih dibawah garis mean tapi posisi Indonesia sedang merangkak naik (perhatikan lingkaran).

Yang kedua, cara simple melihat apakah China dan Indonesia bermasalah ialah dengan melihat laju consumer confident, yaitu indikator yang menggambarkan kepercayaan diri dari konsumen (masyarakat) terhadap daya beli, pendapatan dan lapangan pekerjaan.



Grafik yang mengejutkan, sebagian besar dari anda pasti mengira bahwa Indonesia yang di dominasi oleh berita-berita pesimis dalam negeri memiliki indikator konsumen yang rendah, tapi justru negara kita ini memiliki tingkat kepercayaan konsumen yang lebih tinggi dari China dan bahkan Amerika.

Data ini memang diambil dari survey terhadap golongan mid-low hingga high-end atau berarti golongan bergaji 3 juta ke atas. Golongan ini merupakan bagian dari 78% pembentuk nilai GDP Indonesia sehingga dari golongan inilah sebetulnya ekonomi kita berjalan.

Anda tidak perlu heran sebetulnya, grafik ini sudah cukup menjawab mengapa Mall di hampir seluruh kota di Indonesia selalu ramai setiap weekend? ataupun mengapa antrian tol Cipali bisa luar biasa panjangnya ketika musim mudik, padahal mudik membutuhkan biaya besar. Justru saya akan lari dari negeri ini kalau tiba-tiba jalur mudik menjadi sepi.

Indikasi berikutnya adalah melihat kenaikan tingkat hutang negara. Dan kita akan coba bandingkan external debt (Hutang yang dibiayai pihak luar negeri) antara China dan Indonesia.

Pada tahun 2004, China memiliki external debt sebesar 2,629 hundred million USD dan meningkat menjadi 8,955 hundred million USD pada 2014, hutang China meningkat 202% selama 10 tahun. Indonesia memiliki external debt sebesar 139 hundred million USD pada 2004 dan meningkat menjadi 292 hundred million USD pada 2014. Atau meningkat 117% pada periode yang sama. Jadi jika bandingkan dari tingkat hutang, Indonesia masih jauh di bawah China,  lebih baik dari Malaysia yang hutang luar  negerinya bertambah sebanyak 8000% (yes tidak kelebihan nol, delapan ribu persen) hanya dalam waktu 6 tahun, bahkan lebih baik dari Jepang yang disebut sebagai negara paling maju di Asia.

Kesimpulan

Apakah di China sudah terjadi Bust? Ya. Apakah Indonesia juga indikasi terjadi Bust? Boom saja belum, coba perhatikan table ini.






Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik:
  1. Jumlah investor lokal Indonesia hanya sekitar 408 ribu investor, atau masih kurang dari 1% total populasi. Sedangkan di China sudah hampir mencapai 7% dari total populasinya. Dari sisi jumlah investor ataupun trader, Indonesia masih sangat jauh dari yang namanya MANIA.
  2. Index consumer confident Indonesia tergolong baik, kita hanya kalah dari India, artinya negara kita di gerakkan oleh sumberdaya yang produktif dengan etos kerja yang baik. Keinginan orang Indonesia itu banyak (konsumtif) sehingga kerja keras (lembur, side job, dll) sudah menjadi hal yang biasa. Dan ini menjadi hal positif pada pola pikir investasi untuk tidak mengejar keuntungan besar dengan instant, sehingga masyarakat Indonesia masih terjaga untuk berpikir wajar terhadap bursa saham
  3. Sebaliknya, bagusnya neraca perdagangan China tidak diikuti oleh consumer confident masyarakatnya, terjadi anomali pada masyarakat China entah itu apa (gaji terlalu rendah? eh..).  Tak heran jika banyak dari mereka yang tergiur oleh keuntungan instant pada bursa saham, sehingga tindakan irrasional pun dilakukan. 
  4. Peningkatkan balance trade kita yang masih dibawah rata-rata 10 tahun sudah menjadi perhatian pemerintah, yaitu dengan meningkatkan nilai ekspor. Langkah yang saat ini sedang dilakukan adalah memperbaiki infrastruktur (non migas) untuk meringankan biaya produksi sehingga harga barang menjadi bersaing.
  5. Inflasi di Indonesia cukup tinggi, angka 7.26 termasuk angka yang tinggi dibanding seluruh dunia, Indonesia hanya lebih baik (rendah) dari Russia dan Brazil yang notabenenya memang sedang bermasalah dan memiliki index consumer confident negatif.
  6. Persentase pengangguran di Indonesia lebih tinggi dari China, so, jika ada isu mengenai tenaga kerja China yang akan di ekspor ke Indonesia sepertinya perlu di kaji ulang.
  7. Angka PER bursa saham China sudah overvalued. Jika angka PER bursa saham Shenzen sebesar itu, artinya rata-rata perusahaan di China harus memiliki earning growth sebesar 40% di 2015-2016 untuk sekedar mendekati nilai wajarnya. Dan hampir mustahil jika katakanlah 20 perusahaan berkapitalisasi terbesar di China kompak memiliki earning growth sebesar itu.
  8. Jikapun terjadi penurunan pada IHSG Indonesia, itu bukanlah merupakan pecahnya gelembung, melainkan koreksi. Dan jika terjadi peningkatan pada GDP ataupun balance trade Indonesia setelah infrastruktur selesai dibangun, bersiaplah menuju babak baru investasi di Indonesia.

Salam Investasi   
Read more →

11 Jul 2015

Boom and Bust Theory Bagian 2: Soros dan Reflexivity

,

Prinsip Ketidakpastian Manusia

Seperti menyusun sebuah anagram ketika kita berbicara tentang filosofi investasi, bukan hanya soal untung atau buntung, tapi lebih dari itu soal pemahaman terhadap perilaku manusia. Padahal secara pengertian sederhana investasi adalah "Kegiatan membeli suatu instrument yang diharapkan akan naik nilainya di masa mendatang sehingga menimbulkan keuntungan bagi investor" Dari sini tidak ada hubungannya dengan perilaku.

Tapi coba kita lihat, Pokok kata didalam kalimat diatas adalah 'membeli', arti membeli ya biasa saja, beli ya beli karena butuh. Tetapi terdapat kata lain yang mempengaruhi unsur kata pokok sebelumnya, yaitu 'harapan'. Terlihat kata pokok kedua mengikat kata pertama dan menciptakan hubungan sinergi yang disebut perilaku. Sehingga manusia tidak akan membeli instrument investasi jika dia tahu tidak ada harapan, untuk itu manusia harus memastikan bahwa investasi 'pasti' naik nilainya sebelum ia memutuskan untuk membeli.

Kok bisa 'pasti'?

Disinilah hubungan perilaku manusia dan investasi mulai terjalin. Manusia sejatinya adalah makhluk yang selalu bermimpi akan adanya kepastian. Jika tidak, buat apa banyak sekali dukun atau fortune teller yang disewa atau di bayar mahal untuk membaca masa depan seseorang, bahkan kalau bisa merubah masa depan itu sendiri?. Jawabannya karena satu hal. Manusia butuh kepastian.

Sayangnya investasi bukanlah kepastian sehingga timbul kontradiksi antara harapan dengan investasi yang membuat ini menjadi menarik dan menjadi dasar pemikiran Soros berikutnya.

George Soros dan Teori Refleksivitas  

George Soros, big player investasi asal Hungaria yang terkenal dengan julukan "the man who broke the Bank of England" dan juga spekulator di balik krisis financial Indonesia tahun 1998 di dalam bukunya "The Alchemy of Finance" menjelaskan secara rumit tentang teori reflexivitas dan hubungannya dengan kegiatan investasi. Maklum karena Soros selain sebagai investor juga seorang filsuf ekonomi, sehingga gaya bahasanya sangatlah filosofis.

Soros berpendapat bahwa terdapat dua hal di dalam investasi, yaitu pemikiran (fungsi kognitif) dan situasi partisipan (saya lebih suka menyebut dengan kata investor). Di satu sisi para investor mencoba memahami realitas yaitu dengan cara melakukan valuasi terhadap nilai invetasi, berapa harga yang seharusnya dibayar, berapa nilai sebenarnya (intrinsik) dan di harga berapa para investor ini mulai layak masuk.

Sehingga di tahap ini disebut juga awal mula teori pasar efisien dimana harga yang ada di pasar sangat menggambarkan kondisi fundamental pasar itu sendiri.

Di sisi lain, para investor menghadapi sebuah situasi dimana mereka memiliki keinginan bahkan mereka mencoba menciptakan hasil agar seperti diharapkan. Di awal saya menyebutkan tentang harapan. Harapan investor adalah jelas: Mereka menghendaki keuntungan yang maksimal dari pasar. Kita semua mengganggap bahwa pemikiran dan keinginan kita adalah sama, padahal ini jelas jauh berbeda.

Pemikiran membentuk konstanta, sedangkan keinginan adalah campuran hasrat dan emosi. Kedua hal yang bertolak belakang namun berjalan bersamaan. Inilah yang dinamakan Refleksivitas.


Refleksivitas dalam Pasar Saham

Pasar saham adalah pasar yang cukup memberikan 'ruang' kepada intelektualitas manusia untuk berkembang, karena di dalamnya terdiri dari bentuk usaha. Tidak seperti pasar uang yang bersifat subjektif, pasar saham lebih bersifat objektif karena menyangkut sektor usaha riil.

Emiten di pasar saham dapat di valuasi dengan jelas, karena berbentuk badan usaha sehingga data-data yang ada bisa dipertanggung jawabkan. Ada otoritas jasa yang mengatur dengan beragam izin dan perundang-undangan. Dengan kondisi demikian apa yang terjadi di pasar saham menurut teori adalah hubungan satu arah, dimana fundamental perusahaan mempengaruhi nilai saham itu sendiri.

Yang menjadi masalah adalah kembali ke atas, yaitu persepsi manusia terhadap valuasi. Valuasi yang sejatinya berupa konstanta seperti 1+1 = 2 harus menghadapi kenyataan dengan penggunaan asumsi yang..lagi lagi diciptakan oleh harapan manusia, artinya valuasi disini memberikan ruang kepada harapan plus realitas manusia untuk bermain.

Contoh: Jika emiten A memiliki rata-rata pertumbuhan EPS selama 5 tahun adalah 9.5%, maka untuk menghitung Future Value berapa angka pertumbuhan yang kita gunakan? Graham menyebut 10%, saya menyebut 9.5%, tetapi teman saya yang mendengar rumor bahwa laba emiten ini akan melonjak, menggunakan angka 15% sebagai dasar perhitungan. Dari sini saja, tentu penilaian emiten di masa depan akan saling berbeda bukan?

Soros mengeluarkan dua pernyataan tentang pasar saham:
  1. Pasar selalu bias (cenderung) ke satu arah dan lainnya.
  2. Pasar dapat mempengaruhi peristiwa - peristiwa yang diantisipasi pasar itu sendiri.
Penjelasan pertama, pasar selalu bergerak dengan kecenderungan, entah positif atau negatif. Kecenderungan dibentuk karena adanya harapan investor di masa depan, Soros menggambarkan bahwa jika saat ini terdapat perbedaan yang nyata antara harga saham dengan nilai intrinsiknya, maka sebetulnya harga saham tersebut sudah mewakili harapan investor itu di masa depan. 

Penjelasan kedua akan saya ambil dari contoh kondisi pasar menjelang pemilihan presiden 2014 lalu. Pada saat itu IHSG mengalami kondisi fluktuatif menjelang Pemilu, alasan klasik yang bisa ditebak. Pasar menunggu siapa kandidat Presiden yang paling disukai rakyat. Oke stop!. Disini fungsi situasi muncul dahulu.

Mendekati Pemilu, rakyat semakin jelas arahnya akan kemana,  dimana Presiden yang di elu-elukan mulai berbicara tentang angka pertumbuhan satu tahun pertama yang ditarget mencapai 7%, disini para analis ekonomi mulai menghitung pencapaian ekonomi kita termasuk target IHSG 2015 di angka 6500. Stop! disini fungsi kongnitif baru mulai muncul.

Dunia nyata antara fungsi kognitif dengan fungsi situasi mulai bermain dan saling memotong. Mungkin pada saat itu analis sudah tahu bahwa target 7% sangat sulit tercapai, untuk awal pemerintahan GDP di angka 5.5% saja sudah termasuk sangat bagus. Namun disisi lain, calon presiden itu mulai menampilkan itikad baik, dengan langsung mendatangi gedung Bursa Efek.

Hal ini tanpa disadari mulai berefek pada fungsi kognitif, dimana para analis lansung membuang pulpen mereka dan menjawab: Yah ini presiden kita!. IHSG langsung berubah bullish dalam waktu singkat, jargon sell in may and go away tidak laku di  Indonesia kala itu. IHSG menyentuh all time high-nya di 2014 tanpa pernah melakukan retrenchment yang berarti.

Kondisi IHSG saat itu mempengaruhi peristiwa yang sedang terjadi, karena indeks, calon Presiden semakin dielu-elukanLalu bagaimana jika ternyata di masa depan hasilnya tidak memuaskan? Ingat kasus South Sea Bubble? Tetapi seperti kata Soros, pasar selalu melakukan antisipasi.

Sayangnya pasar melakukan antisipasi tidak saat itu, tetapi saat ini ketika pertumbuhan ekonomi tidak seperti yang dijanjikan. Jika saya perhatikan, ada dua jenis antisipasi pasar:
  1. Antisipasi positif, pasar cenderung bergerak ke arah positif akibat berita dan isu yang berkembang mendapat apresiasi positif. Jenis antisipasi ini biasanya muncul mendahului fakta.
  2. Antisipasi negatif, kebalikan dari antisipasi positif. Antisipasi ini muncul belakangan. Meskipun terdapat berita buruk pada emiten, selama itu belum terbukti, antisipasi positif masih berlaku.
Soros mendapat untung yang luar biasa hanya dengan memerhatikan antisipasi pasar. Bahkan dia sendiri yang menciptakan situasi pasarnya.


Siklus dan Bias Persepsi

Persepsi manusia selalu tampak salah (bias) karena kita tidak bisa untuk tidak menggunakan informasi dan hanya fokus pada valuasi, padahal informasi yang kita terima sangatlah minim. Sedangkan pasar memiliki prinsip yaitu pasar selalu benar. Pasar dibentuk bersama-sama berdasarkan fundamental, informasi dan harapan, otomatis pasar memiliki informasi yang jauh lebih besar dari individu.

Sayangnya informasi itu selalu diterjemahkan salah oleh para pelaku pasar, pasar selalu bertindak terlebih dahulu berdasarkan informasi yang minim tersebut.

Itulah mengapa begitu banyak saham berfundamental bagus yang dijual dengan harga jauh diatas nilai wajarnya. Memang betul bahwa harga saham merefleksikan fundamental, tetapi yang dilakukan individu jauh melampaui itu . Dan itu terjadi berulang-ulang di dalam sistem investasi kita.


Bagaimana simplifikasi terjadinya boom and boost? nantikan di artikel selanjutnya pada: Antara Beijing dan Jakarta.

Salam Investasi

Read more →

9 Jul 2015

Boom and Bust Theory Bagian 1: Mengenal skema Boom and Bust

,
Sebelumnya, tulisan ini terinspirasi dari cerita batu akik yang di alami oleh kawan saya baru-baru ini. Sekitar delapan bulan lalu fenomena batu akik yang melanda Indonesia sungguh luar biasa, dalam waktu kurang dari empat bulan, pasar batu akik yang tadinya hanya di pasar Rawa Bening, Jatinegara bisa kita temukan secara dadakan di setiap pasar tradisional, bahkan samping alfamart yang biasanya berjualan tempe mendoan sekarang disulap menjadi dagang batu akik.

Demam ini juga melanda kawan saya yang dengan alasan investasi membeli batu akik (entah jenis apa) hingga puluhan juta dalam jumlah yang cukup banyak. Satu batu kalau saya bagi yah harga belinya di sekitar dua ratus hingga tiga ratus ribuan rupiah. Rencananya batu-batu itu akan diperdagangkan kembali di Festival Batu Akik Nusantara di Gorontalo tiga bulan kemudian dengan keyakinan bahwa batu-batu ini akan berharga lima ratus ribu hingga satu juta rupiah per batu. Atau mengalami kenaikan 150% dalam tiga bulan saja.

Ternyata apa yang terjadi? Anda bisa baca artikel Antara News tentang Festival Batu Akik Nusantara di Gorontalo untuk tahu hasilnya. Batu akik tersebut ternyata malah di obral lima ribu rupiah per batu karena sepi pembeli. Alhasil investasinya rugi hampir 100%.

Dari situ saya teringat juga tentang demam tanaman gelombang cinta yang harganya mencapai jutaan rupiah, namun setahun berikutnya justru saya mendapat gratis dari tetangga.

Fenomena seperti diatas dikenal sebagai fenomena Boom and Bust yang senantiasa berulang dan seperti sengaja diulang, entah oleh siapa. Namun yang pasti penting bagi kita untuk mengenal fenomena demikian untuk selalu waspada dalam berinvestasi, karena investasi bukan hanya soal meletakkan uang, namun juga filosofi dibalik itu ialah tentang keserakahan manusia.

Boom and Bust adalah  karateristik yang selalu muncul di dalam siklus ekonomi kapitalis seperti sekarang ini, keduanya adalah hasil proses ekspansi (perkembangan) dan kontraksi (gejolak) yang datang berulang kali akibat dua hal:  Ekspektasi masyarakat dan Realita yang disadari kemudian.



Di bawah ini beberapa legenda tentang Boom and Bust yang melanda dunia.

1. Gelembung Bunga Tulip (1623 - 1637)

Bisa dikatakan, fenomena bunga tulip merupakan fenomena Boom and Bust pertama di era ekonomi modern, dipicu oleh meningkatnya perekonomian Belanda yang tumbuh pesat diikuti oleh meningkatnya jumlah kelas atas dan juga tentunya meningkatnya selera akan komoditas. Tulip yang sejatinya berasal dari Turki saat itu menjadi primadona karena keindahannya dan serta-merta menjadi rebutan para kelas elit saat itu. Bahkan beberapa dari mereka rela untuk membayar mahal bahkan seharga rumah untuk satu set (40 tangkai) bunga Tulip yang bernama Semper Augustus.


Satire on Tulip Mania. Jan Breughel the Younger, ca 1640, Frans Hals Museum, The Netherlands


Semper Augustus dijual seharga 1000 gulden pada 1623, 1200 gulden pada 1624, 1500 gulden pada 1625 dan mencapai puncaknya pada harga 6700 gulden pada 1937. Harga itu pada waktu itu setara dengan sebuah rumah di Amsterdam. Bandingkan dengan penghasilan masyarakat Belanda yang saat itu rata-rata setahun 'hanya' 150 gulden.

Kenaikan harga Tulip ini menimbulkan efek yang disebut efek megalomania yang segera menjalar dari kaum elit (kaum yang pertama memulai efek) hingga kaum pedesaan. Ada ungkapan saat itu bahwa tidaklah menjadi warga Belanda jika tidak berinvestasi pada tulip. Banyak diantara mereka yang rela menjual tanah, rumah dan warisannya demi tulip.

Charles Mckay dalam bukunya Memoirs of Extraordinary Popular Delusions 1841 mengilustrasikan kondisi saat itu melalui percakapan dua warga Belanda;

Gaergoedt: “kamu dengan susah payah mendapatkan keuntungan 10% dengan uang yang kamu investasikan pada pekerjaanmu (seorang penenun), tetapi dengan berdagang bunga tulip, kamu dapat membuat keuntungan 10%, 100%, ya, sampai 1000%”.
Waermondt: “Tetapi saya takut, jika saya memulai dari sekarang, itu terlambat, karena sekarang harga bunga tulip sangat mahal, dan saya takut bahwa saya akan sukses dengan air liur sebelum merasakan daging panggang”.
Gaergoedt: “Tidak ada kata terlambat untuk membuat keuntungan, kamu menciptakan uang sambil tidur. Saya bepergian dari rumah untuk empat atau lima hari, dan saya pulang kerumah pada malam hari, tetapi sekarang saya tahu bahwa bunga tulip yang saya miliki nilainya telah naik tiga atau empat ratus golden; dimana kamu bisa mendapatkan keuntungan seperti ini dari barang lainnya?”
Waermondt: "Saya bingung saat mendengar kamu bercerita seperti itu. Saya tidak tahu apa yang dilakukan; apakah banyak orang menjadi kaya dengan perdagangan seperti ini?”
Gaergoedt:  “Pertanyaan macam apa ini? Lihat pada semua tukang kebun yang mengenakan pakai                              kumal, dan sekarang mereka mengenakan pakaian baru. Banyak penenun memakai                                  pakaian bekas. Ya, banyak dari mereka yang berdagang bunga tulip mengendari                                        seekor kuda” 

Percakapan diatas sangat mewakili kondisi masyarakat Belanda saat itu dimana angin surga mulai ditiupkan, angin tersebut menciptakan kondisi yang disebut Boom, dan memicu terjadinya gelembung (bubble). Ditambah lagi dengan tindakan pemerintah Belanda yang menciptakan Futures Market, atau kontrak berjangka. Disini kontrak tulip diperjualbelikan layaknya komoditas yang lain.

Meskipun di dalam kontrak ini para trader tidak melalui bursa dan tidak memerlukan initial margin melainkan langsung antar individu, tetap saja tidak ada bunga tulip secara fisik yang diperjualbelikan, melainkan murni spekulasi. Perdagangan ini dikenal dengan "wind-trade" atau dagang angin. Kebijakan uang yang longgar dan suku bunga yang rendah sama-sama mendukung timbulnya peningkatan permintaan akan tulip dan membuat harganya semakin melambung.

Akibatnya terciptalah apa yang disebut over-trading. Tentu saja akan terjadi over-trading karena semua orang saat itu berjualan tulip! harga melambung sangat tinggi dan...Pada 1637, ketika para spekulan yang sudah mengira bahwa harga sudah over-priced mulai menjual kontrak-kontrak tulip di harga yang lebih tinggi untuk mendapat untung besar. Dengan segera terjadilah yang dinamakan over-supply yang memicu penurunan harga secara drastis. Dari situ masyarakat baru sadar bahwa harga tulip tidaklah semahal itu. Harga tulip segera turun dari rata-rata 200 gulden menjadi 10 gulden (harga awal). Bayangkan depresi yang menjalar Belanda pada masa itu.

2. South Sea Bubble (1719 - 1722)

Pada abad 17, Eropa memasuki masa keemasan dalam ranah Revolusi Industri. Dengan kalimat simbolisnya Gold, Gospel, Glory, Eropa khususnya Inggris dan Belanda dengan pasti mulai melakukan perluasan koloni dimana Inggris saat itu diberi kebebasan untuk melakukan monopoli perdagangan melalui hak dagang monopoli Treaty of Ultrech's kepada perusahaan dagang Inggris, South Sea Company (SSC). SSC diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan budak di Karibia, Amerika Utara. Sedangkan East India Company atau VOC Belanda diberi hak monopoli di Hindia Belanda (Indonesia).

Dengan latar belakang sebagai penjamin emisi hutang negara Inggris Raya akibat biaya perang yang membengkak dengan Perancis, SSC butuh dana besar dengan cara menerbitkan saham untuk menarik minat Investor pada tahun 1719. Namun baru pada tahun 1720 saham SSC mulai bergerak aktif akibat pihak SSC yang selalu mengeluarkan informasi publik akan besarnya nilai kontrak di Karibia, adanya dana tambahan untuk melakukan ekspansi usaha ditambah kemenangan Inggris Raya atas Prancis. Ini memicu terjadinya spekulasi besar-besaran terhadap sahamnya.

Saham SSC naik dari £100 pada bulan Januari 1720 menjadi £550 pada Mei 1720. Saham tersebut terus naik menjadi £1000 pada Juli 1720 akibat adanya permainan para politikus yang memiliki saham SSC. Namun belakangan diketahui bahwa ternyata SSC tidak bisa menampilkan performa yang bagus untuk memenuhi target penjualan dan laba di dalam laporan keuangannya. Dengan adanya kontradiksi ini para investor mulai menyadari bahwa nilai wajar SSC sangat jauh dibawah harganya ditambah pula dengan mulai terkuaknya adanya permainan politikus dan juga fakta bahwa SSC menanggung hutang yang banyak. Hal ini dengan segera menyeret saham SSC kembali ke harga £100.

Cukup banyak korban pada peristiwa ini, terutama bagi para investor yang sudah menjaminkan asetnya dan menggunakan dana kredit usaha untuk membeli saham SSC di harga £1000.

Apakah tindakan ini rasional?  


How the News Broke: South Sea Bubble. Angus McBride

3. Depresi Besar 1929

Great depression atau depresi besar pada tahun 1929 yang melanda bursa saham wall street bukan saja 'mematikan' bursa saham New York, namun lebih jauh dari itu, great depression telah membunuh optimisme yang sedang dialami oleh masyarakat Amerika pada saat itu dan baru terobati hingga 30 tahun kemudian.

Great depression muncul ditengah-tengah gelombang optimisme setelah perang dunia pertama, revolusi industri menyebabkan Amerika mulai mengembangkan industri manufaktur dan ini membuka begitu banyak lapangan pekerjaan. Pekerjaan ada dimana saja dan masa depan terlihat sangat cerah. Meningkatnya taraf hidup menyebabkan meningkatnya pula kesadaran akan berinvestasi di bursa saham. Wall Street mengalami kondisi bullish, bahkan super bullish dan New York menjadi kota metropolis dan pusat bisnis dunia.

Kondisi bullish ini menyebabkan masyarakat kala itu berpikir bahwa saham merupakan jaminan hidup, ini didukung oleh banyak pialang saham yang secara rutin memberikan dana secara kredit kepada masyarakat untuk masuk ke bursa saham bahkan hingga 2/3 dari nilai investasi mereka (margin). Nilainya hampir lebih dari 8.5 milar USD yang disalurkan, bahkan angka ini melebihi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Ini memicu terjadinya boom spekulatif dari jutaan masyarakat ke bursa saham dalam waktu singkat, akibatnya Dow Jones Industrial Exchange (DJIA) naik tajam hingga di harga 381.17 dengan Price Earning Ratio indeks S&P sebesar 32x. Angka ratio yang sudah sangat mahal.

Kondisi demikian selalu menuntun pasar menuju titik gelembung, entah siapa pihak pertama yang melakukan big selling (beberapa mengatakan Jesse Livermore lah orang pertama yang melakukan selling), yang pasti pada 3 September 1929, nilai saham turun hingga 17% dan turun terus hingga tersisa 41.22 pada 1932. Efek tersebut menjadi luas dampaknya disebabkan sedikit sekali cash money yang mengalir saat itu, uang para nasabah sejatinya adalah hutang berupa jaminan rumah, tanah, kendaraan, toko dan juga uang pensiun. Akibatnya banyak orang kehilangan rumah mereka, ratusan pengusaha menutup pabriknya untuk mendapatkan uang sehingga terjadi PHK massal terhadap ribuan orang.


Masa pelik ini sedemikian parahnya sehingga Amerika kehilangan banyak tenaga kerja produktif akibat bunuh diri, ibu rumah tangga ikut bekerja dan tak ketinggalan anak-anak yang bisa membantu ekonomi keluarga. Amerika baru bisa keluar dari masa sulit ini setelah Amerika turut serta dalam perang dunia II pada 1941. Dengan adanya perang maka dibangunlah banyak pabrik-pabrik senjata, peralatan militer dan supply pertanian yang menyerap banyak tenaga kerja.

Irrasional dan Rasional

Ketiga hal diatas menjadi contoh yang bagus bagi dua kubu ekonom untuk berdebat apakah pasar sebetulnya digerakkan oleh fundamentalnya atau ada hal lain. Apakah boom and bust yang terjadi disebabkan oleh tindakan irrasional manusia yang merubah pasar bentuk efisien menjadi pasar tidak efisien dalam behavioral finance? Ataukah sebaliknya?

Aliran ekonomi ilmiah, dalam hal ini diwakili oleh Peter M. Garber (1990) menyatakan bahwa tidak ada yang namanya 'gelembung' karena manusia selalu bertindak rasional berdasarkan fundamentalnya. Fundamental dalam hal ini adalah informasi.

Sedangkan aliran filosofi ekonomi, Charles P. Kindleberger (2000) dalam tinjauan buku Famous First Bubbles: The Fundamental of Early Manias menyatakan:

“Apakah investor yang membeli saham South Sea pada harga £1.000 adalah berperilaku rasional? Jawabannya adalah tidak. Pertama, terdapat informasi publik yang mencukupi yang menyatakan bahwa harga saham telah mengalami overvalue yang serius. Kedua, memasuki periode gelembung yang sudah akut, investor dihadapkan pada resiko yang lebih besar daripada imbal hasil: mereka memburu potensi keuntungan yang kecil dan berresiko untuk menderita kerugian akan lebih besar. Ketiga, ‘fundamental’ (prospek jangka panjang perusahaan) tidak mengalami perubahan dalam tahun tersebut” (diterjemahkan dari Kindleberger, 2000, hal.3)

Dengan kata lain Kindleberger menyatakan bahwa penyebab terjadinya boom and bust tak lain bermula dari tindakan irrational investor yang tak terbendung,

Contohnya adalah kasus great depression 1929. Saat itu terdapat publikasi bahwa angka PER indeks S&P sudah menyentuh angka 32x yang artinya termahal sepanjang sejarah ditambah fakta bahwa hutang investor lebih besar dari uang yang beredar saat itu. Namun lagi-lagi psikologis pasar selalu berlaku over-reacting yang menyebabkan pasar sudah jadi tidak sempurna dan peringatan itu jadi tidak ada gunanya.

Lalu apa pendekatan yang menggabungkan kedua ide tadi?. Akan dibahas pada artikel selanjutnya di
Boom and Bust Theory Bagian 2: Soros dan Reflexivity

Salam Investasi
Read more →

4 Jul 2015

Why I Am Buying Unilever?

,
Ketika beberapa orang beranggapan bahwa bursa saham bukanlah investasi namun tak lebih dari sarana bermain saham atau dengan sebutan trader sehingga muncul istilah bahwa sejatinya hanya ada dua kategori "pemain" di bursa saham yaitu momentum dan positioning trader, alih-alih investor. Namun saya justru mendapatkan cukup banyak email pertanyaan soal hasil investasi Srimaya yang saya posting pada bulan Mei lalu di SINI, dimana imbal hasil yang didapat cukup lumayan untuk hasil orang biasa seperti saya (bukan instansi).

Pertanyaan rekan-rekan cukup beragam, diantaranya:
  • Very genius, Apa rahasianya pak? (kayak iklan jamu obat kuat)
  • Apa kriteria untuk bisa memilih saham seperti itu? Apa cukup dengan value investing?
  • Bagaimana anda cukup sabar menunggu selama itu (7 tahun) untuk satu saham saja?
  • Pasti bapak sudah dapat bocoran Outlook 2009 ya?
  • Dapat informan dari siapa pak? Tim bapak insider semua ya? Boleh saya gabung di tim insidernya? 
  • Kapan bapak buka pelatihan? Naah lho...Dan banyak lagi..

One Shoot One Kill

Cukup sulit ditahun 2008 untuk bergerak kembali masuk ke dunia saham setelah tiga bulan sebelumnya uang saya nyaris habis di bursa saham setelah IHSG anjlok besar, hanya satu orang yang memberikan saya pencerahan di waktu itu, ayah saya yang justru balik bertanya;

"Di kantor kamu sudah banyak pemecatan? apa ada kerusuhan sampai bakar-bakaran? Pasar emang udah enggak jual ayam?"

Apa jawabannya?

Semua jawaban itu bermuara ke satu jawaban: Tidak, dan selama kata "tidak" menjadi jawaban maka saya yakin bahwa ekonomi kita baik-baik saja, dan saya semakin yakin bahwa IHSG akan bangkit setelah melihat bapak Presiden kita yang gagah waktu itu masih wira-wiri di televisi tanpa menyinggung sama sekali kondisi ekonomi.

Toh diantara itu saya sempat berkelit dengan mengatakan dampak hutang Yunani, tapi apa yg terjadi? Tanpa ekspresi beliau hanya berkata;

"Yunani? emang kamu ngutang sama dia?". Crap!

Disitu saya yakin, kondisi kita masih aman dan di tahun itu pula akhirnya saya memutuskan untuk fokus pada mikro yang artinya fokus di dalam mencari saham. Saham yang di cari adalah saham yang BAGUS, betul betul bagus karena saham ini akan saya jadikan pondasi investasi saya nantinya.

Jika ada yang bilang di atas bahwa saya jenius, anda salah besar. Karena jargon, everybody genius when crisis, and be more genius when bullish adalah benar (anda coba buktikan berapa buku saham yang terbit di gramedia setelah drop 2008?).

Begitu banyak saham yang bernilai murah pada saat itu dan yang membuat bingung lagi adalah kondisi keuangan yang minim, sehingga target saya hanyalah mencari satu saham. Jika di dunia sniper ada ungkapan one shoot one kill, maka saatnya saya uji ungkapan itu.

Mengapa Unilever?

Jawaban saya, pertama adalah Unilever (UNVR) memiliki nilai lebih, lebih dari angka atau apapun, produk Unilever sudah menjangkau kita semua dan cukup sulit dilepaskan, mulai dari peralatan mandi, kecantikan, alat bayi, hingga es krim. Beberapa dari kita mungkin berpikir bahwa keberhasilan Unilever adalah karena dua hal:
  1. Karena iklan yang terus menerus di tayangkan sehingga sangat menancap di otak rakyat Indonesia.
  2. Menciptakan mass produk yang dapat ditemukan dari pasar becek hingga top supermarket. 
Memang benar, dengan dua hal di atas, Unilever secara kontinu menciptakan apa yang dinamakan Moat (Arti MOAT klik disini). Sebaiknya anda mencermati baik-baik juga apa arti dari Moat ini. Karena untuk sebuah kata Moat, Unilever terus menerus beriklan dan berproduksi tanpa bosan sejak era 1970an hingga saat ini. 

Konsistensi dan ROE

Pada saat itu, kerjaan saya sepulang kantor adalah merunut satu per satu laporan keuangan emiten yang cukup sulit di dapat di tahun itu dan menyusunnya dalam satu tabel excel. Selama dua bulan dan hampir setiap malam saya membandingkan satu perusahaan dengan perusahaan lain, antara ASII dengan INDF, BBRI dengan UNVR, TLKM dengan KLBF dan seterusnya hingga saya menemukan satu kata: Konsistensi.

Apa kaitan konsistensi dengan investasi?

Konsistensi pada laju pertumbuhan perusahaan mempermudah kita di dalam menilai manajemen perusahaan. Kenyataannya, manajemen yang baik selalu menekankan pada kinerja usahanya bukan kepada aksi korporasinya, sehingga para manajer dan direktur lebih sering duduk bersama untuk membahas strategi pemasaran, grafik penjualan, dan launching produk dibanding membahas kapan right issue atau kapan menerbitkan surat hutang.

Berikutnya adalah ROE atau Return on Equity (Cara menghitungnya klik disini). ROE bukan dilihat dari kemajuannya tapi dari besar dan konsistensinya. ROE adalah rasio yang digunakan untuk melihat bagaimana efektifnya modal yang disetor dalam menghasilkan laba.

Mengapa ROE?

Karena kita sebagai investor adalah pihak yang ikut menyetor dana ke perusahaan yang kita pilih dan sewajarnya jika kita menuntut hasil yang maksimal dari perusahaan itu. Semakin tinggi nilai ROE maka semakin efektif bisnis perusahaan, semakin stabil nilai ROE maka semakin bagus pondasi perusahaan.

Perhatikan tabel di bawah:

Unilever tercatat sebagai salah satu emiten yang hampir tidak pernah mengalami penurunan kinerja, baik laba bersih, laba operasi maupun pendapatan. Selama 17 tahun hanya pada tahun 2005 dimana laba operasi turun -0.3%, hanya -0.3% dibanding CAGR yang dimiliki sebesar 48.18%.

Begitu pula kinerja ROE yang tercatat memiliki rata-rata 84.5% selama '99-2015. Dan selama '99-2008, ROE rata-rata sebesar 63.16%. Angka ini jelas jauh melebihi ekspektasi para ahli dimana nilai ROE berkategori sangat baik dipatok berkisar antara 17%-25%. 

Apa artinya nilai ROE sebesar itu? 

Ini artinya jika anda meletakkan uang 100 rupiah di saham UNVR maka anda akan mendapat keuntungan bersih rata-rata 63 rupiah setiap tahun tanpa bekerja

Jika anda punya 1 milyar rupiah dan anda letakkan di UNVR, maka hampir dipastikan anda telah mencapai kebebasan finansial tanpa perlu ikut seminar.

Owner Earning dan Dividend

Jangan pernah bicara tentang investasi jika anda tidak bisa memastikan berapa uang nyata yang bisa perusahaan tunjukkan kepada anda, berapa uang kas bebas dan berapa laba sebenarnya untuk para pemegang saham. Ini adalah kunci pokok ketika kita ingin ber-investasi.

Contoh kecil, saya ingin meng-investasikan uang saya dalam bisnis tahu goreng yang dijalankan oleh teman, dalam 1-2 tahun jualan tahu goreng tersebut berubah menjadi restoran tahu goreng yang terkenal dengan keuntungan 10x lipat dari awal. 

Apa yang anda lakukan sebagai pemegang saham?

Anda pasti bertanya mana keuntungan buat saya? betul? Yap, jika pada tahun pertama atau pada beberapa tahun kedepan si teman mengatakan bahwa mereka belum bisa membagi keuntungan kerena akan ekspansi tahu goreng ke Jepang, oke bisa dimaklumi karena mereka masih butuh CAPEX yang besar untuk berkembang. Tapi jika lebih banyak tahun dimana anda tidak mendapat apa-apa. Hei jangan-jangan anda sedang ditipu!

Ada dua hal yang bisa anda lihat apakah perusahaan diurus oleh pihak yang benar dan bertanggung jawab atau tidak. Pertama ialah laba pemilik atau Owner Earning  (Selengkapnya silahkan baca disini) dan kedua ialah Dividend.

Silahkan simak tabel dibawah ini


Dari tabel diatas secara konsisten UNVR terus membagi dividend kepada pemegang saham dengan angka payout ratio yang terbilang fantastis, jika melihat secara rata-rata maka Dividend Payout Ratio berkisar di angka 83%. Saat ini hanya Sidomuncul (SIDO) yang membagi dividend sebesar itu.

Bahkan pada tahun 2004, 2005 dan 2011, dividend UNVR melebihi laba bersihnya. Ini pertanda bahwa  manajemen UNVR selalu berusaha menyediakan apa kebutuhan pemegang saham. Jika dividend dirasa kurang atas permintaan pemegang saham maka pihak manajemen UNVR tidak segan-segan mengeluarkan tabungannya dari simpanan tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan sikap moral dan etos yang luar biasa dari para manajemen.

Selanjutnya tentang laba pemilik / owner earning yang terus tumbuh, ini mengindikasikan secara jelas bahwa manajemen UNVR bukanlah tipe manajemen yang asal ekspansi, asal akuisisi, asal menghambur-hamburkan uang dengan menggunakan Capex sebagai modal. Tetapi dengan perhitungan matang bahwa setiap jengkal ekspansi dan akusisi haruslah menciptakan laba pada tahun selanjutnya dan itu terbukti. Pembuktian inilah yang menimbulkan apa yang dinamakan TRUST oleh para pemegang saham.

Apa artinya?

Artinya anda sebagai pemilik saham dihormati layaknya Raja Brittania Raya.

Bagaimana dengan uang kas?

Uang kas operasi yang selalu terjaga di angka positif menunjukkan UNVR tidak pernah menemui kendala berarti dalam pembayaran ke pemasok dan tentunya dana dari pelanggan, karena kebijakan cash payment membuat UNVR sedikit memiliki piutang dan hutang.

Anomali dan Keberuntungan

Oke, kita hanya membahas tahun dimana saya memutuskan membeli saham UNVR, yaitu tahun 2008. saham UNVR yang pada saat itu seharga 6500 rupiah per saham termasuk salah satu saham yang tetap stabil pada saat anjloknya IHSG. Sebelum dan sesudah kejatuhan IHSG, CAGR saham UNVR tercatat hanya naik 15% sejak akhir 2006 hingga akhir 2008, lalu berapa CAGR laba operasi  UNVR di periode yang sama? laba operasi naik 39.78% atau lebih dari 2 kali lipat harga sahamnya. 

Mengapa demikian? 

Anda perhatikan lagi, kenaikan laba operasi jauh diatas kenaikan harga sahamnya sendiri, padahal kita tahu bahwa pasar modal kita adalah pasar efisien bentuk lemah (weak-form) atau bahkan in-efficient sehingga harga saham selalu bergerak mengikuti rumor dan pelaku pasar yang cenderung over-reaction terhadap saham-saham berfundamental bagus. 

Inilah mengapa yang membuat saham-saham yang berfundamental bagus harganya naik melebihi kenaikan laba operasinya, dan ini dialami oleh saham-saham seperti TLKM dkk di bulan-bulan sebelum IHSG drop,

Tapi yang terjadi pada UNVR saat itu adalah sebuah anomali, entah mengapa saham UNVR diperdagangkan biasa-biasa saja, PER saat itu senilai 20.5x dengan PEG ratio 0.52x. Untuk seorang Value-Growth Investor, ratio ini sudah cukup  menarik. Dan bagi saya, anomali ini adalah keberuntungan, yes! lucky is not everyday. Ini salah satu rahasia jika anda ingin nilai investasi anda outperform. Temukan anomali.

Kesabaran

Dari pertanyaan rekan-rekan diatas, ada yang menanyakan tentang kesabaran saya dalam memegang saham UNVR. Terus terang bahwa kesabaran bukanlah keistimewaan. Analogi yang menarik seperti ini:

Jika anda memiliki istri yang cantik jelita, kaya, sholeh, pintar masak, ramah, darinya anda punya anak dua yang lucu dan pintar, dan selama hidup dengan anda dia hanya melakukan sedikit sekali kesalahan. Apakah jika suatu saat istri anda melakukan kesalahan yang sama anda langsung menceraikannya?

Sebaiknya anda renungkan.

Valuasi saat ini

Untuk valuasi saat ini, sayangnya saham UNVR bukanlah merupakan tipe perusahaan yang cocok untuk Value Growth Investing, tapi tergolong perusahaan long life & everlasting karena valuasi sahamnya sudah terlalu mahal, PER sudah 40x keatas dan dengan margin of safety yang sangat kecil. 

Jika saat ini anda ingin masuk ke saham UNVR, tiga hal yang perlu anda lakukan: Jangan melakukan valuasi, beli dan tidurlah.

Kalaupun ingin bersabar, saya tidak tahu kapan Indonesia akan crash, karena saya pribadi tidak ingin seperti itu.

Lantas, apa perusahaan yang cocok saat ini, atau minimal yang setara dengan UNVR?

Memilih saham UNVR pada tahun 2008 lalu adalah puncak dari seluruh aktifitas valuasi saham. Hampir semua jenis kategori valuasi dari tingkat awam (kinerja dan neraca keuangan) hingga tingkat lanjut (DCF, likuiditas, IRR, Intrinsik Value Charles Mizrahi & Benjamin Graham, Altman-Z Score dll) dilakukan untuk studi kelayakan investasi. Dan hasilnya menakjubkan, UNVR lolos dari semua kategori diatas.

Dengan kondisi nyaris sempurna seperti itu, maka hampir tidak ada perusahaan saat ini yang selayak saham UNVR pada 2008, jika mendekati mungkin anda bisa lebih berselancar di blog ini untuk menemukan perusahaan yang sekiranya cocok dengan style anda seperti Astra Graphia (ASGR) atau BBNI dan UNTR. Beberapa sudah ada yang saya bahas jadi tinggal tugas anda menemukan 'kunci rahasia' untuk berinvestasi.

Jika anda beruntung dan jeli, maka anda bisa menemukan anomali yang saya sebutkan di atas, dan beberapa investor kawakan seperti Peter Lynch, dia banyak menemukan anomali pada pergerakan harga saham berbanding kinerja riilnya, dan itulah yang dia katakan sebagai calon ten-bagger.

Salam Investasi
Read more →

25 Jun 2015

Screening saham dengan Value Growth Investing

,
Warren Buffet dan Charlie Munger adalah dua investor luar biasa yang selalu menjadi panutan setiap investor, khususnya yang memperdalam analisa fundamental dalam screening sahamnya. Disebut luar biasa selain karena hasil yang mereka dapat di atas rata-rata mereka juga adalah investor yang berani ber-evolusi, khususnya Warren Buffet yang sebelumnya hanya mengandalkan Value Investing menjadi berbeda dengan penerapan Growth Investing atas saran Munger. Buffet mengartikan sendiri konsep tersebut sebagai cara membeli perusahaan bagus dengan harga yang pantas, artinya disini Buffet juga menekankan pada pertumbuhan laba namun tetap pada rasio harga yang wajar.
Demikian juga dengan Peter Lynch yang terkenal dengan perhitungan mengandalkan rasio PEG (Price Earning to Growth). Dari sini saya akan menggabungkan antara metode Buffet-Munger dengan Peter Lynch yang dikenal dengan nama Value Growth Investing. Tentunya dengan beberapa modifikasi untuk disesuaikan dengan kondisi market Indonesia.

1. Menentukan High Predictability Rank (Apa itu? bisa anda baca disini dan disini). 

Disini saya menggunakan teknik ranking pada semua perusahaan yang ada di BEI dengan rumus sebagai berikut: => Rank (Operating Margin) + Rank (3 years average Operating Income).

Data saya ambil 3 tahun terakhir, kerena:
  • Market Indonesia terlalu cepat berfluktuatif terhadap rumor, sehingga data 3 tahun terakhir saya anggap lebih mewakili ekspektasi pasar.
  • Banyak emiten yang datanya out of range jika di ambil 5 tahun kebelakang sehingga menjadi tidak valid, range 3 tahun saya rasa cukup untuk pasar Indonesia meskipun idealnya 5 tahun.
Setelah mendapatkan hasil, emiten di urutkan dari jumlah rank terkecil hingga terbesar. Ranking digolongkan sebagai berikut:
  • 1-20 =  5-stars
  • 21-100 = 4-stars
  • 101 - 200 = 3-stars
  • 201-300 = 2-stars
  • > 300 = 1-star

2. Menentukan kriteria Value Growth Investing

Kriteria umum:
  • Perusahaan memiliki MOAT atau daya saing yang baik. Biasanya ini ditandai dengan 
    • ROE ≥ 20% - Best
    • 10% < ROE < 20% - Pass
    • 5% < ROE < 10% - Warning
    • ROE < 5% - Fail
  • DER < 1, angka ini berkategori mutlak, sebab yang kita ingin beli sahamnya adalah perusahaan yang sehat secara rasio keuangan terhadap hutang. Rasio ini dikecualikan terhadap emiten bank dan keuangan lainnya.
  • Rasio PER < 17x, PBV < 3.5x dan PEG < 1. Mengapa PER dibawah 17x? bukan 15x atau 12x seperti analisa konservatif?. Disini saya memodifikasi berdasarkan kondisi market Indonesia yang sangat in-efficientdimana ekspektasi pasar sangat tinggi terhadap saham-saham bagus sehingga hampir semua saham yang tergolong bagus memiliki rasio harga yang cukup mahal jika kita memakai asumsi PER 12x. 
NB: Asumsi PER < 12x hanya akan dipakai pada saat kondisi market crash.

Kriteria khusus:
  • Market Cap diatas 2 trilyun
  • Revenue atas 330 milyar (baca: disini)
  • Current Ratio di atas 1, angka ini mutlak karena kita menginginkan perusahaan yang memiliki aset lancar lebih tinggi dari kewajiban lancarnya. Rasio ini dikecualikan terhadap emiten bank dan keuangan lainnya.
  • Pertumbuhan rata-rata Net Income 3 tahun terakhir (3 years Average Net Income)  ≥ 10%
  • Pertumbuhan rata-rata Income before Tax (Ebit)  3 tahun terakhir (3 years average Ebit)  ≥ 10%
  • Operating Margin (Operating profit / Revenue) (baca: disini) ≥ 10%
  • Earning Yield diatas 5%. Yield obligasi 10 tahun pemerintah Indonesia = 8.3%, sehingga:
    • 5%  Earning Yield ≤ 8.3% - Best
Hasil lengkap screening saham dengan Value Growth Investing adalah sebagai berikut:

SymbolMarket Capital (B)Current Ratio (Quarter)EBIT (Avg: 3 Year)Net Income (Avg: 3 Year)Operating Profit/RevenuePE Ratio (TTM) PBV PEGEarning Yield (ttm)ROE (TTM)DER (Quarter)Rank PredictableValue Growth Screening
BSDE33,8742.4954.39%65.63%49.53%8.211.900.157.86%23.20%0.255-StarsOK
LPCK6,4732.7846.19%48.52%52.43%7.262.200.1613.21%30.34%0.025-StarsOK
PWON20,9011.4182.57%93.56%49.32%8.513.220.108.08%37.77%0.775-StarsOK
BBNI102,927021.93%22.78%40.13%9.181.720.4211.56%18.71%04-StarsOK
CTRS5,2841.2941.27%46.88%34.34%10.261.910.2511.05%18.65%0.144-StarsOK
BBRI263,763018.05%17.14%36.63%10.792.750.6010.63%25.49%04-StarsOK
BMRI232,155016.35%17.51%34.85%11.562.250.7111.22%19.46%04-StarsOK
PGAS104,2382.7216.74%14.87%27.54%12.402.670.749.80%21.54%0.724-StarsOK
ASGR2,6231.9923.24%23.11%13.18%9.542.760.4111.98%28.90%0.043-StarsOK
MNCN27,4819.5918.97%18.08%39.06%16.582.960.878.09%17.87%0.374-StarsOK
SSIA4,7991.8220.36%17.26%16.51%7.911.650.3913.05%20.90%0.493-StarsOK
BFIN4,071012.20%11.97%42.23%6.631.090.5422.42%16.40%04-StarsOK
CTRA20,3981.6751.40%59.78%34.28%15.392.670.308.04%17.35%0.565-StarsOK
LPKR25,1554.9855.39%53.21%32.29%9.581.450.179.84%15.12%0.634-StarsOK
PANS3,636021.40%21.14%62.56%11.922.660.5610.11%22.33%04-StarsOK
MTLA3,1002.5926.23%19.61%40.20%11.311.560.4311.93%13.80%0.364-StarsOK
DART2,4192.0270.68%85.62%42.87%5.720.730.0814.77%12.68%0.435-StarsOK
BEST3,9173.8744.82%48.42%57.49%10.421.340.239.58%12.87%0.525-StarsOK
PNIN3,051015.26%11.19%13.43%3.180.370.219.80%11.71%03-StarsOK
AMFG3,1256.1510.20%10.82%15.54%6.580.990.6428.25%15.04%03-StarsOK
CTRP3,5981.7635.54%35.42%39.23%9.110.830.2610.03%9.08%0.744-StarsOK
DILD6,0641.2938.58%45.27%29.59%14.171.350.377.50%9.50%0.424-StarsOK
MDLN6,5171.3393.94%97.68%36.22%12.981.180.1410.41%9.11%0.685-StarsOK
NISP14,084020.88%20.96%22.23%10.330.920.4912.87%8.89%04-StarsOK
MAYA7,031036.04%36.50%14.76%16.312.030.458.94%12.47%04-StarsOK
BTPN21,162012.50%9.79%20.62%11.421.790.9111.72%15.69%03-StarsOK
ELSA3,7221.56104.67%119.38%10.17%8.801.420.0812.05%16.18%0.194-StarsOK
NRCA2,2841.9221.01%51.28%6.47%8.102.150.399.96%26.60%0.023-StarsOK
JRPT13,1311.2127.43%27.79%42.39%16.993.220.625.82%22.02%04-StarsOK
INTP77,398712.98%13.58%30.44%14.643.011.138.56%20.58%04-StarsNO
SMGR72,6612.1911.68%12.34%25.75%13.322.861.148.79%21.48%0.164-StarsNO
PJAA3,8240.7713.43%13.25%26.37%17.072.501.277.67%14.66%0.334-StarsNO
TOTO3,7652.339.23%10.44%18.66%12.513.181.3610.24%25.43%0.123-StarsNO

Bisa kita lihat di atas hanya ada 29 saham yang lolos screening dengan Value Growth Investing, ini menandakan bahwa dari 430 saham di BEI, bahkan tidak ada setengahnya yang memiliki prospek pertumbuhan cepat dengan harga yang wajar. Apakah ini menandakan market Indonesia sudah over-valued? atau ekonomi yang melambat dari 3 tahun lalu?

*Bahkan perusahaan sekelas APPLE pun sahamnya dijual dengan PER 15.71x, masih dibawah rata-rata industrinya itu sendiri, kebayang kan bagaimana in-efficientnya market Indonesia?

Perlu di cermati bahwa saham-saham yang tidak lolos screening value growth investing memiliki kekurangan pada PEG, diantaranya INTP, meskipun sekilas terlihat bagus, namun memiliki PEG di atas 1, artinya rasio harga terhadap laba (PER) di atas nilai pertumbuhannya, yang berindikasi pasar sudah overestimated. Jika kedepannya kenaikan harga sahamnya tidak bisa diimbangi oleh pertumbuhannya akan sangat rentan terkena dampak kejatuhan. Begitu pula untuk SMGR, PJAA dan TOTO.

Mumpung IHSG sedang bergelora sehingga sangat sedikit ide investasi yang bisa di bahas, silahkan anda gabungkan dengan analisa internal anda sendiri sebelum memutuskan untuk membeli saham. Untuk detail lebih lengkap perhitungan rasio-rasio keuangan saham, silahkan klik disini

Untuk menghitung harga wajar saham dan nilai intrinsik klik disini

Salam Investasi

Disclaimer on: Keputusan untuk membeli saham merupakan keputusan anda sendiri tanpa ada paksaan pihak manapun. Kami tidak memiliki hak, wewenang dan tanggung jawab apapun atas setiap keputusan investasi yang anda ambil
Read more →