29 Jan 2021

Bagaimana Prospek Saham BRIS Setelah Merger Bank Syariah?

,

Judul di atas adalah judul yang diambil dari pertanyaan yang paling sering muncul, baik di sosial media saham, blog, youtube atau sekedar japri. All right fellas! BRIS..BRIS..BRIS lagi, emang ada apa sih dengan BRIS?

BRIS akan merger dengan tiga perusahaan bank syariah. Betul. Apa saja? Yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah (BNIS), Bakal jadi besar donk? Lebih besar iya. Seberapa besar? Sayangnya... biasa saja.

Hah? Biasa saja!. Berita heboh begini, saham sudah jadi superman dan anda bilang itu biasa saja? Ya memang biasa saja. Nyesek aku mas!! Biar gak nyesek, yuk mari lihat data-datanya.

Per 21 Oktober 2020 kemarin, BRI Syariah mengumumkan kepastian rencana mergernya, diperkuat lagi dengan statement dari Kementerian BUMN soal merger ini, plus kepastian bakal launchingnya mereka pada 1 Februari 2021 nanti. 

Bahkan mereka sudah punya visi misi, yaitu menjadi 3 besar bank syariah terbesar di dunia. Namanya Bank Syariah Indonesia (BSI). Hebat.

Menurut Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang ditunjuk, setelah merger (bergabung) ketiga Bank Syariah ini, maka Market Cap menjadi 32,1 trilyun, terdiri dari nilai pasar wajar dari BRIS, BSM dan BNIS masing-masing sebesar 7.8 trilyun (setara harga wajar di Rp 781 per lembar), 16.3 trilyun dan 8 trilyun.

Which is itu biasa banget.

Mari bandingkan dengan Market Cap dari the big four-nya bank di Indonesia, kita ambil saja yang terkecil dari empat besar itu adalah BNI. Berapa market cap BNI? Pada laporan keuangan kuartal 4 tahun 2020, Market Cap BNI sebesar 144 trilyun. Berapa BCA? 815 trilyun.

Sehingga, nilai 32.1 trilyun itu biasa banget. B i a s a. Oke lanjut.

Setelah merger, ekuitas bersama menjadi 20,4 trilyun rupiah, sehingga PBV menjadi 1.57 kali (32.1 dibagi 20.4) yang mana ini masih dalam range harga wajar. Dan dengan total saham yang beredar menjadi 40,8 milyar lembar saham, maka nilai buku menjadi 499.4 rupiah per lembar saham, turun dari nilai buku BRIS saat ini yang sebesar 534 rupiah per lembar saham.

Lantas bagaimana prospeknya?

Pertama, yang harus kita lihat adalah prospek laba. Terus terang, BRIS ini meskipun menyandang nama BRI, namun nilai return on equity (ROE) nya kecil sekali. Tercatat sejak 2015 hingga 2020, ROE BRIS tidak pernah mencapai di atas 7%, paling besar itu 6.81% pada tahun 2016, selebihnya di kisaran 1.4% - 5%. 

Bandingkan dengan "bapaknya" BRI atau BNI yang ROE selalu nyaris selalu di atas 10%.
Rata-rata pertumbuhan laba bersih (Earning growth rate) tidak stabil, pernah mencapai 38.83% pada tahun 2016 dibanding 2015, namun setahun berikutnya anjlok minus 40% pada tahun 2017 terhadap 2016 dst, baru melonjak pada 2020 dengan laba bersih (disetahunkan) 254 miliar. Mari lihat tabel:


Jadi, secara teknis fundamental, BRIS bisa dikatakan perusahaan yang biasa-biasa saja. Malah bisa dibilang perusahaan kagetan, alurnya mungkin mirip perusahaan start-up. Untuk sekelas grup bank BUMN laba 200 milyar itu kelas biasa banget.

Bagaimana setelah merger nanti pak?

Setelah merger, artinya keuntungan ketiga bank syariah tersebut dilebur jadi satu, dimana kedua bank lain, Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah (BNIS) dinilai lebih profitable. BSM mencatat laba bersih mencapai 1 trilyun sampai kuartal III 2020 dan jika dengan asumsi target laba bersih pada laporan akhir tahun tercapai, maka BSM akan mencatat laba bersih 1.3 trilyun.

BNIS sendiri mencatat laba bersih 387 milyar hingga kuartal III 2020, jika disetahunkan maka menjadi 516 milyar, which is ini lebih ciamik ketimbang BRIS.

So, mari kita tambahkan semuanya. Total laba BRIS, BSM dan BNIS (disetahunkan) menjadi 2.7 trilyun rupiah, jika dibanding dengan ekuitas setelah merger maka di dapat angka ROE sebesar 10.15% (laba dibagi ekuitas = 2.7 dibagi 20.4). Yang mana angka ROE ini menjadi menarik.

Dengan kata lain, merger ketiga bank ini mengangkat derajat saham BRIS dari saham "ordinary" menjadi saham yang "good enough". Cukup bagus, tapi bukan wonderful.

Lalu bagaimana prospek sahamnya?

Setelah merger nanti, menurut KJPP, harga wajar saham BRIS adalah di Rp. 786 per lembar, itu dengan ROE 10.15%, sehingga PER nya menjadi 15.5 dan PBV di 1.57. Sangat wajar.

Dengan kondisi yang sama, jika kita menghitung nilai intrinsik (mempertimbangkan risiko) menggunakan prinsip discounted cash flow (DCF), maka nilai intrinsik saham BRIS di kisaran Rp 699 per lembar, dengan asumsi BI rate di 7.5% dan Risk Premium negara kita masih di angka 12.88%.
Dengan kata lain, penilaian nilai wajar KJPP pun masih kemahalan, belum mempertimbangkan tingkat risiko perbankan di Indonesia.  

Apalagi untuk harga saat ini di Rp 2,450 per lembar, secara fundamental saham BRIS sudah sangat sangat kemahalan. For long term investor, jangan coba-coba masuk di harga sekarang.

Lantas, mengapa saham BRIS terbang sangat tinggi?

Jawabannya hanya satu, yaitu bandar. Dengan memanfaatkan histeria pasar terhadap ekspektasi saham syariah, bandar mulai memainkan perannya untuk mengeruk keuntungan dari investor retail. Kalau kata band Utopia di lagu Baby Doll "Ku ajak kau melayang tinggi, dan ku hempaskan ke bumi"

Ya, bandar memang kejam, tidak peduli anda pakai uang sekolah anak anda untuk main saham, atau pakai uang operasi orang tua anda, atau anda gadaikan rumah satu-satunya anda. Bandar tidak peduli.

Kapan sebaiknya beli saham BRIS?

Anggap kita memakai nilai wajar dari KJPP, maka di dapat PER BRIS di 15.5x. Angka PER ini masih cukup realistis jika dibanding empat besar bank lain. Sebagai contoh, BCA memiliki PER 35.4x, Mandiri di 15.9x, BNI di 11.36x dan BRI di 20.3x. Jika kita rata-rata maka PER ke empat bank tersebut ada di 20.7x.

Lantas, apakah BRIS bisa ke angka PER tersebut? Jawabannya sangat mungkin. Hanya dengan mempertahankan ROE di 10%-12% per tahun, maka dengan PER di 20.7x di dapat EPS disetahunkan menjadi Rp 50.94 per saham dan harga wajar BRIS ada di Rp 1,124 per lembar. Jika menggunakan rumus DCF dengan memasukkan BI rate di 7.5% dan Risk Premium di 12.88%, maka di dapat intrinsik value di kisaran Rp 858 per lembar. Kedua cara ini angkanya lebih tinggi dari hitungan wajar KJPP

Namun jika menggunakan rumus Benjamin Graham Valuation, maka di dapat intrinsik value saham BRIS ada di Rp 1,465 per lembar (1,500-an masih oke), jauh lebih tinggi lagi. Mengapa demikian?

Berikut perhitungannya:

Nilai Intrinsik (V) Ben Graham = (EPS disetahunkan x (8.5+(2*g)) x BI rate / yield)

dimana:
g = Tingkat pertumbuhan, menggunakan ROE 10.5% (sesuai perhitungan hasil merger)
BI rate = 7.5%
yield = imbal hasil obligasi korporasi, jika AAA menggunakan angka 8.5

Angka Graham Valuation lebih tinggi karena memasukkan unsur imbal hasil obligasi korporasi, yang mana pada laporan keuangan BRIS, di dapat rating AAA. Dan angka 8.5 di awal rumus adalah konstanta Ben Graham yang mencerminkan angka yang optimis dengan perhitungan respon pelaku pasar. Jika saham tersebut kurang diminati/kurang berprospek biasanya dipakai angka konstanta 7.

Lalu kesimpulannya pak? 

Saham BRIS dengan harga di saat ini sangat tidak layak. Bahkan jika nanti pada tanggal 1 Februari besok (which is tinggal 2 hari lagi) merger berjalan lancar, harga saham BRIS sudah sulit untuk dinaikkan lagi.

Harapan investor telah di naikkan bandar jauh sebelum proses mergernya sendiri terjadi, padahal BRIS adalah sebuah entitas bank. Yang mana bisnisnya gitu-gitu aja. Tidak ada bank yang revolusioner seperti Tesla, atau Iphone.

Perkara bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesar adalah soal lain. Bank-bank syariah berdiri sudah sejak tahun 1991 dengan nama Bank Muammalat Indonesia, namun sudah berjalan 3 dekade (30 tahun hingga saat ini), konsumen bank syariah masih jauh di bawah bank konvensional, per Juni 2020 pangsa pasar syariah hanya 9.89%. Untuk negara mayoritas muslim seperti Indonesia, angka tersebut masih sangat jauh.

Bahkan bisa dikatakan bank syariah masih menjadi pelengkap. Tidak sebanding dengan peningkatan masyarakat yang beragama Islam di Indonesia. Salah satu sebabnya adalah bukan rahasia lagi bahwa "bunga" atau keuntungan (nisab) di bank syariah jauh di atas bank konvensional. 

Jika kita mengambil KPR di bank syariah pasti harganya menjadi jauh diatas bank konvensional, faktor risiko di bank syariah terlalu diperhitungkan karena mereka menggunakan tarif flat (tanpa bunga). 

Itulah mengapa sistem syariah belum terlalu merakyat, populer iya, tapi belum bisa jauh berkembang. Jikapun berkembang, misal berhasil jadi 3 bank syariah terbesar di dunia, maka perkembangannya dalam ketegori "aman dan bertahap", tidak akan terlalu progresif.

So, kembali lagi, bagi anda baik investor long term, short term ataupun trader, lebih baik wait and see, dan action apabila minimal harga BRIS sudah mencapai level 1,500-an (Graham valuation). That's worth it

Saya tidak akan memakai target konservatif di 785 atau 1,100-an, karena memperhitungkan ekspektasi pasar terhadap BRIS, dan juga laporan imbal hasil obligasi yang dinilai sangat baik (AAA).

Be careful, be brave, be healthy, be smart, pakai uang dingin, jangan pakai uang istri apalagi uang judi, jadilah investor yang cerdas.

Read more →

2 Feb 2020

Strategi Investasi 2020 dan Saham Legacy

,

Halo kawan-kawan investor, apa kabar? Lama sudah tidak menulis lagi (menulis tentang fundamental perusahaan terakhir tahun 2015) dimana tahun 2018 saya "hanya" meng-update info kenapa Value Investing lebih unggul.

Kenapa kok vakumnya lama sekali? Jujur saja, satu hal, saya merasa amat sangat jenuh dengan kondisi market di Indonesia. Saya update blog ini terakhir adalah tahun 2015 dan ketika itu saya sedang membahas prospek Garuda Indonesia.

Selain karena pekerjaan, kondisi market Indonesia betul-betul jenuh, saya hampir lelah menemukan saham bagus yang berharga murah, bukan tidak ada, bukan. Ada, cukup banyak malah, salah satu diantaranya adalah ERAA. Dimana berselang dua tahun sejak tulisan dimuat, ERAA melambung cukup jauh, yak selamat bagi anda yang sudah mengakumulasi.

Selain itu, praktis hanya SIDO dari Sido Muncul, MAPI Mitra Adiperkasa dan segelintir perusahaan yang kinerjanya moncer, selebihnya saham berharga murah yang nyatanya hanya jadi saham murahan/gorengan meskipun perusahaan tersebut adalah perusahaan yang solid.

Contoh nyata adalah SRIL atau Sritex. Sritex itu perusahaan bagus dan bonafit, tapi tetap saja jadi saham gorengan.

Lalu Lippo group. Padahal saya pernah membahas bahwa saham Lippo baik itu LPCK maupun LPKR adalah saham yang berkualitas, tapi ternyata kasus Meikarta mencoreng nama besar Lippo group dan kasus Meikarta sedari awal sifatnya politis, gencarnya pemasaran yang tidak biasa menjadi sebuah pertanyaan, kenapa Meikarta dipaksakan? Mengejar prospek Kereta Cepat Jakarta-Bandung?

Apalagi selentingan informan yang berkata miring soal manajemen Lippo. "Hah, Lippo? you know laah"..seperti itu..

Ditambah baru-baru ini dengan adanya kasus Jiwasraya dan Asabri yang menyeret aktifitas saham gorengan seperti sahamnya Hanson bersaudara (MYRX). Yup, saham gorengan, mau dipoles seperti apapun, tetap saja gorengan. Dan sekarang terbukti.

Disini saya hanya ingin menegaskan bahwa di Indonesia, saham yang baik (setidaknya untuk anda investasi long-term) haruslah betul-betul saham yang baik. Baik dari sisi bisnis fundamental perusahaan, baik dari sisi good corporate government dan tentunya baik dari sisi manajemen.

Sayangnya di Indonesia, perusahaan yang baik-baik ini sudah tidak dihargai secara murah. Dengan PER rata-rata di atas 20 dan PBV rata-rata di atas 2 atau 3. Dan perusahaan baik-baik ini telah berkategori long-term, alias berkinerja baik lebih dari 10 tahun.

Contoh nyata ya Ultrajaya (ULTJ), Unilever (UNVR) atau bahkan Telkom (TLKM) ketika masih jaman unyu-unyu. Sekarang? Ya sudah mahal. Mahal dalam arti sebenarnya. Mahal karena memang mereka pantas dihargai mahal. Nike tidak mungkin dihargai seharga sepatu lokal, kan?

Jadi itulah kenapa saya memutuskan untuk vakum dari penulisan saham dan fokus mengelola aktifitas investasi saya sendiri di Srimaya Investment, dimana Srimaya hingga saat ini sudah membukukan kenaikan +75% sejak 2015. Tahun dimana saya melakukan restrukturisasi saham (jual semua, mulai dari nol).

Itu belum termasuk imbal hasil UNVR yang saya beli di tahun 2008 dan kemudian saya jual di tahun 2017 (+673%).

Sebagai investor fundamental saya paham bahwa angka +75% tidaklah amazing. "Hanya" 15% per tahun. Tapi cukup untuk sekedar mengalahkan market IHSG yang naiknya 23% dan setidaknya cukup untuk menahan Srimaya dari resiko yang besar.

Ada beberapa saham beresiko yang saya beli di tahun-tahun sebelumnya yang justru turun, tapi ada juga yg naik signifikan.

Berikut profil saham Srimaya s.d Januari 2020:


Jika digabungkan dengan UNVR, maka gain Srimaya mencapai 105%. UNTR sendiri saya jual tepat ketika harga turun dari puncaknya ketika itu di 40 ribuan pada tahun 2018, bertepatan dengan anjloknya harga batubara. Selain UNTR dan UNVR, saham-saham di atas saya jual di tanggal 27 Januari 2020.

Dari Portfolio di atas mungkin pembaca bisa simpulkan bahwa awalnya saya mengedapankan mencari saham berkualitas baik dengan harga yang murah (value investing). Namun di Indonesia, ternyata tidak selamanya yang tampak baik itu betul-betul baik.

Contohnya PGN, ternyata menjadi anggota holding Migas dengan Pertamina Gas tidaklah terlalu menggembirakan, terlalu banyak hal (lagi-lagi) politis disitu, beban pun bertambah, sehingga ya gak heran kalo sahamnya gitu-gitu aja, anjlok susah naiknya.

Di 2020 ini, saya memutuskan untuk merevisi total, hanya BBRI yang saya hold, BBRI bahkan mungkin menjadi saham saya selamanya (legacy stock), selama fundamental perusahaan dan bisnisnya gak kenapa-kenapa.

Itulah juga yang menjadi insight saya di 2020 ini, saya menyadari bahwa Indonesia bukanlah pasar Amerika yang sangat dinamis, saham disana sangat liquid. Pergerakan saham betul-betul mencerminkan fundamental perusahaan, lihat saja Apple atau Boeing. Kondisinya nyaris mengikuti konsep pasar seimbang ala Markowitz.

Sedangkan di Indonesia, pasar saham adalah pasar yang sangat kotor, jual beli ngawur ala gorengan sana-sini bergerak liar tanpa OJK bisa mengendalikan.

OJK hanya dianggap satpam tanpa seragam, senjatanya pentungan. Ada atau tidak ada OJK seperti sama saja. Ketika OJK beraksi, maka saat itulah para broker nakal sudah kabur membawa untung, OJK persis polisi di film India, selalu terlambat.

Lho, artinya anda sekarang sudah berubah? Hmm, enggak juga. Saya tetap menganut aliran value investing tapi juga menggabungkan dengan moderate investing, hal ini harus dilakukan jika ingin berinvestasi jangka panjang di Indonesia.

Bukan hanya soal mencari saham di bawah nilai intrinsik, tapi juga mencari saham perusahaan yang baik. Dan yang baik-baik inilah yang sudah tidak murah.

Mencari saham di Indonesia mirip-mirip mencari jodoh, jika ingin meminang Maudy Ayunda, pastikan anda punya prestasi, selera humor yang baik, pintar dan (tentunya) mapan. Susah kan?

Itulah kenapa Warren Buffet menyadari bahwa saat ini kondisi pasar telah mencapai kemapanannya. Perusahaan yang bagus telah di hargai secara pantas, dan Warren Buffet memutuskan untuk membeli saham Apple yang saat di beli harganya juga sudah tidak murah.

Untuk itulah juga kenapa di 2020 ini saya berubah lebih konvensional, saya berprinsip di Indonesia saham yang bagus ya harus betul-betul bagus meksipun harganya tidak terlalu bagus.

Perusahaannya bonafit, profitable, management terpercaya, punya reputasi yang baik, historis yang baik dan konsumen yang setia, pasti di hargai premium juga. Ya, ada rupa, ada harga. Itulah prinsip saya dalam memilih saham di 2020 ini.

Dan inilah portfolio Srimaya 2020.

1. BBRI

Posisi BBRI tetap saya hold, seperti yang sudah saya tulis di atas, BRI mungkin akan menjadi investasi Srimaya selamanya. Selama fundamental bisnisnya baik-baik saja dan tidak terjadi gejolak politik yang signifikan seperti era 98. Bahkan jika karena gejolak ekonomi terjadi seperti tahun 2008, mungkin Srimaya justru akan menambah posisi.

Kenapa kok BRI? Kok bukan Mandiri (BMRI) ataupun BNI (BBNI). Pertama, saya suka semangat bisnisnya, BRI terdepan di pelosok Indonesia.

Kedua, Net Interest Margin (NIM) BRI paling tinggi diantara bank-bank lain, bahkan dari BCA atau Mandiri. NIM adalah selisih antara bunga yang didapatkan oleh bank dengan bunga ke nasabah, dibagi total aset yang menghasilkan bunga. Maka semakin tinggi NIM semakin profitable sebuah bank.

Bahkan saya heran, mengajukan cicilan KPR rumah di BRI bunganya lebih rendah daripada di BTN, serius lho ini.

2. TLKM

Hanya satu kata: I'm waited too long

Ya, saya menunggu Telkom sudah terlalu lama, padahal saya sadar lebih dari 50% orang Indonesia memakai provider Telkomsel sejak 10 tahun yang lalu mungkin. 

April 2018 saja, pelanggan Telkomsel itu 150 juta, bandingkan dengan posisi kedua, yaitu XL Axiata di 45 juta dan Indosat 34 juta, dibawah itu menjadi kue rebutan antara Tri dan Smartfren.

Bagaimana di 2019? Pelanggan XL mencapai 59 juta, dan Telkomsel menyentuh angka 170 juta. Telkomsel tetap menjadi yang terdepan. Apalagi Telkomsel justru mengakuisisi jumlah tower milik pesaing-pesaingnya yang membuat bisnis telekomunikasi Telkomsel menjadi nomor wahid.

Bukan itu saja, Telkomsel telah jauh melampaui pesaingnya dengan mengeluarkan LinkAja, aplikasi pembayaran online sebagai pesaing online payment lain seperti Dana atau Gopay. Telkomsel pun memiliki jaringan TV prabayar plus wifi internet, yaitu Indihome yang sejak saya pasang dirumah, sudah jalan setahun dan tidak pernah ada masalah, jika ada komplain operator langsung datang ke rumah. Beda dengan TV kabel sebelumnya milik satu stasiun TV yang justru sering down.

Telkomsel, seperti perusahaaan telekomunikasi/teknologi yang bersinggungan dengan IT, maka tujuan satu-satunya adalah menjadi penguasa tunggal jagad IT di Indonesia. Seperti Facebook yang mengakuisisi Whatsapp dan Instagram, Facebook pun menjadi penguasa tunggal di sosial media.

Lalu kita lihat Google, selain di Tiongkok, Google sudah menjadi penguasa tunggal di ranah dunia maya, bahkan Youtube dan "otak" nya Android sebagai pasar smartphone nomor satu pun punya Google.

So, dengan akuisisi tower komunikasi dan membuat aplikasi di depan pesaing-pesaingnya, Telkomsel menangkap strategi utama dari bisnis informasi dan teknologi, yaitu monopoli.

Dimana monopoli adalah salah satu titik point para perusahaan IT (kebanyakan startup) untuk mencetak untung. Google monopoli, Facebook monopoli dan Tokopedia pun mengarah kesitu.

Dan kabar baiknya, Telkomsel tidak perlu berdarah-darah dahulu untuk mencetak laba, karena Telkomsel mengawali sebagai provider komunikasi sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Dan bayangkan 10 tahun dari sekarang, apakah manusia masih butuh komunikasi?

Sekarang saja, komunikasi sudah menjadi 5 kebutuhan pokok manusia; Sandang, Pangan, Papan, Telepon dan Wifi. 10 tahun lagi?

Okelah saya tahun alasan bapak beli karena fundamental di atas, lalu apa lagi?

Saham TLKM turun sejak September 2018. Bahkan jika menggunakan laporan keuangan 2019 yang di setahunkan, maka PER TLKM berkisar 17.52x dengan PBV berkisar di 3.19x.

Untuk Book Value memang terlihat mahal, tapi begitu bersanding dengan PER maka harga TLKM justru masih dibawah perusahaan mapan lainnya. Contoh, perusahaan semen yang sedang sama-sama turun.

PER under 20x dengan prospek kebutuhan umat manusia membuat saya tidak ragu untuk membeli.

3. ADRO

So many reason kecuali harga batubara itu sendiri ketika membeli Adaro.

Pertama karena Adaro memiliki cadangan batubara terbukti sebesar 13 milyar ton, nomor dua setelah BUMI. Cadangan tersebut senilai 1,15 trilyun USD dengan asumsi harga batubara di 90 USD per ton.

Kedua, managemen Adaro tidak pernah aneh-aneh seperti manajemen BUMI yang sibuk bermanuver bisnis, buat perusahaan hanya untuk akuisisi dan lain sebagainya. Adaro tidak begitu, Adaro fokus pada bisnis batubara dimana batubara tersebut sebagian besar mereka salurkan lagi ke pembangkit listrik milik mereka sendiri, mereka jual ke PLN atau ekspor keluar negeri.

Salah satu yang membuat saya kepincut adalah keputusan mereka dalam membangun pembangkit listik yang mereka kelola sendiri (IPP - independence power producer) diantaranya PLTU Bhimasena 2x1000 MW di Batang, Jawa Tengah dan skala 200 MW di Kalimantan. Ini adalah semangat bisnis Adaro yang juga mengedepankan pelayanan publik, bukan hanya soal mencari untung.

Ketiga, keputusan Adaro untuk masuk ke energi baru terbarukan (EBT). Kita tahu, meskipun Adaro mengembangkan Envirocoal (batubara ramah lingkungan), tetap saja batubara adalah batubara, ada emisi kotor yang dibuang ke udara disana, belum lagi limbah dan beberapa kerusakan lingkungan.

So, ketika Adaro memutuskan untuk juga bergabung di bisnis EBT, maka disinilah niat baik dari perusahaan baik-baik. That's cool.

Tidak hanya soal untung, tapi bagaimana mengelola lingkungan secara baik, disamping juga beberapa negara mulai gencar mengembangkan energi non fosil seperti pembangkit listik tenaga air (PLTA), tenaga angin atau tenaga surya. Dan tentu saja mengancam bisnis batubara itu sendiri.

Meskipun secara finansial, tenaga uap batubara menduduki daftar tertinggi soal efisiensi dan resiko.

Mengapa demikian? Karena energi non fosil murni mengandalkan alam. Misal tenaga angin, tidak semua lokasi dapat dipasang, harus area tertentu yang sangat berangin untuk memutar turbin. Lalu PLTA, butuh debit air yang besar dan bendungan yang tinggi untuk mendapatkan power sebesar batubara.

Sedangkan batubara, dengan volume yang lebih sedikit, usaha pembangunan yang lebih ringan dan lokasi yang lebih fleksibel, bisa menghasilkan listrik beribu-ribu megawatt, cukup untuk menerangi satu kotamadya, bahkan PLTU Paiton sebagai jantung pulau Jawa.

Tapi dilain pihak, batubara keburu di cap sebagai perusak lingkungan. Okelah, sehingga ide Adaro untuk masuk ke energi terbarukan sangat saya sukai. Inilah manajemen yang bisa melihat kesempatan bisnis dan kebaikan lingkungan, bukan cuma soal jual beli.

4. UNVR

Unilever?? Kenapa anda masuk lagi ketika memutuskan untuk keluar di tahun 2017?

Itulah namanya cinta. Tak perlu banyak alasan ketika cinta lama bersemi kembali. Apa perlu saya jelaskan lebih jauh? 

Selama shampo saya masih clear, sikat gigi saya masih pepsodent, istri saya mencuci masih pakai rinso, sabun saya masih lifebuoy atau lux dan es krim kesukaan anak saya masih produk wall's, atau perkara ketiak masih pakai rexona, disitulah saya masi bergantung pada Unilever.

Ya, saya dan keluarga belum bisa move on dari Unilever, jadi ketika Unilever melakukan stock split eh ndilalah harga sahamnya turun tanpa ada berita negatif soal perusahaan, maka itu seperti mantan terindah yang tiba-tiba datang kerumah, dandan cantik, rapi dan dress-up, siap diajak nonton lalu tiba-tiba curhat kalau dia lagi galau, dan...

Siapa yang nolak?

Kesimpulan..


Jadi itu saja pak saham pilihan anda di 2020 ini? Betul karena 2020 ini selain lebih konvensional, saya ingin membeli saham legacy, saham yang sepertinya akan saya keep dalam jangka waktu yang sangat lama.

Saham yang "mungkin" dapat berkonstribusi ketika anak saya ingin kuliah ke luar negeri atau sekedar masuk SMA nanti. Lagipula saham legacy adalah saham yang layak untuk di wariskan, pun jika istri atau anak saya tidak mengerti soal saham.
Lantas apa anda meninggalkan value investing? Bisa saja iya, ketika saya melihat Warren Buffet membeli Apple :).

Tapi tenang saja, tidak seru rasanya petualangan di dunia saham jika hanya berpatok ke saham legacy, masih ada beberapa stock pick saya di Srimaya berkategori value investing yang masih dalam posisi wait and see..

Apa itu? Tunggu saja..

Salam

Read more →

19 Mei 2018

Kenapa Value Investing Lebih Unggul?

,

Srimaya is back! setelah vakum sekian lama karena kesibukan di pekerjaan dan juga mengelola investasi beberapa tahun ini, saya kembali, kembali dengan sebuah "testimoni" dari pembaca Srimaya, mengapa Value Investing lebih unggul? Nih...simak!
Read more →

2 Agu 2015

Garuda Indonesia (GIAA): Kepakan Sayap Sang Garuda

,
Sore menjelang malam kala itu di Jakarta, macet anarkis selama dua jam di tol Jorr yang biasanya terasa sangat menyiksa hari itu seperti tidak berasa, suara penyiar PAS FM Nina Amelia juga terasa berbeda, mungkin karena narasumber kali ini adalah orang yang juga bersemangat, bersemangat membawa maskapai terbesar Indonesia menjadi top five star airline di dunia. Yupp Emirsyah Satar kali ini yang sedang memberikan 'kuliah singkat' bagaimana membawa Garuda Indonesia (GIAA) dengan program prestisius "Quantum Leap" hingga mendunia.

GIAA menjadi official  partner club sepakbola Liverpool F.C (My Fave Club)
sumber: http://www.liverpoolfc.com/

Quantum Leap

Tak ada maskapai di negara ini yang menurut saya memiliki service yang sekelas GIAA, tak perlu disebutkan satu per satu karena bagi pembaca yang pernah naik Garuda pasti tahu bedanya terbang layak dengan terbang asal sampai tujuan. Meskipun harga yang dibayarkan lebih mahal tapi itulah service price, harga yang kita bayar demi pelayanan jasa paripurna.

Saya ingat ketika kuliah diajarkan tentang Blue Ocean Strategy, yaitu strategi mengalahkan pasar dengan keunggulan penuh, menciptakan brand awareness terunggul tanpa pesaing, atau apa yang kita kenal saat ini sebagai MOAT. Strategi Quantum Leap adalah cerminan dari Blue Ocean Strategy. Emirsyah, sebagai Dirut kala itu meluncurkan strategi yang di bagi dalam empat tahap:
  1. Learning & Growth : Strategi untuk belajar, melihat kelemahan diri sendiri, mencari solusi dengan reformasi organisasi dan reformasi operasional (armada dan jasa pelayanan). Disini GIAA membutuhkan dana tambahan untuk mendukung strategi ini kedepan, sehingga dilakukan IPO di bursa saham pada tahun 2011 di harga Rp. 750 per lembar.
  2. Internal Process : GIAA tidak langsung menerapkan kepada customer/ penumpang, namun terlebih dahulu melakukan perbaikan internal; Penggunaan dana IPO sebagai Capex untuk pembelian pesawat baru (Boeing 777-300ER), pembayaran hutang jangka panjang, perbaikan neraca keuangan, pengetatan jadwal maintenance, penambahan rute terbang, program insentif bagi karyawan hingga perbaikan flow process perusahaan. Maklum, sebagai emiten BUMN, sebelumnya GIAA sangat di intervensi oleh pemerintah sehingga flow process-nya kaku dan terbatas.
  3. Customer : GIAA lebih fokus pada full airline service. Konsep ini justru bertolak belakang dengan konsep mayoritas airline Indonesia yang menekankan pada low cost, mesipun GIAA juga meluncurkan low cost carrier dengan Citilink, namun disinilah kecerdikan manajemen, justru konsep ini yang membuat GIAA memiliki reputasi kelas dunia dan membedakan dengan airline lain. Jelas bagi customer naik Garuda terasa lebih prestise ketimbang naik airline yang lain. Dari konsep ini, GIAA mendapat predikat 5-star world airline dari Skytrax.
  4. Financial : Hasil akhir bagi kerja keras pihak GIAA adalah menghasilkan keuntungan yang konsisten dengan neraca keuangan yang sehat.
Sedangkan milestone tahunan dari konsep Quantum Leap dapat dilihat pada gambar dibawah:
Sumber: Garuda Indonesia
Saya pribadi sangat menyukai paparan Emirsyah Satar (saat ini sudah tidak di GIAA-ed) di radio kerena konsep GIAA di atas bukan hanya untuk menilai GIAA seperti apa, tapi juga sangat bisa kita terapkan di bidang usaha kita, di bidang pekerjaan kita apapun, terutama usaha di bidang jasa. Excellent service is definitely must.

Jalan Terjal itu bernama Hutang

Jalan yang dilalui GIAA memang tidak mulus, sangat berliku dan berdarah-darah. Jika kita melihat neraca keuangan dan profitabilitas yang naik turun sepanjang 2011 hingga 2014. Di tahun 2014 GIAA mencetak rugi bersih 4.64 trilyun rupiah (330 juta USD) setelah sebelumnya di 2004 dan 2005 juga mengalami rugi hingga 811 milyar rupiah. Mari kita lihat rangkuman laporan keuangan GIAA dari 2003.

Sumber: Garuda Indonesia Financial & Annual Report 2003-2015 Q2 (dirupiahkan)
Kondisi GIAA secara neraca keuangan betul-betul mengkhawatirkan, terutama pada 2004-2007 dimana kondisi laba yang negatif ditambah dengan jatuhnya ekuitas dan aset di tahun berikutnya karena adanya penjualan aset dan penarikan armada Boeing 737 akibat gagal bayar hutang jangka panjang kepada kreditur. Akibatnya lebih dari 10 rute penerbangan ditutup karena kekurangan pesawat. Saat itu hutang GIAA mencapai 10x ekuitasnya termasuk menahan pembayaran kepada vendor senilai 150 juta USD. Dan sampai 2009, hutang GIAA justru bertambah mencapai 726 juta USD , hutang tersebut diantaranya hutang terhadap ECA mencapai 300 juta USD, hutang FRN (Floating Rate Notes) kepada kreditur di Singapura sebesar 131 juta USD serta sisa hutang lainnya kepada Angkasa Pura II dan Pertamina.

Dengan DER sebesar 10.61x, membuat GIAA saat itu dalam  kondisi gagal bayar, dimana jika kondisi itu tidak segera ditangani maka dapat membuat perusahaan tersebut bangkrut meskipun itu perusahaan BUMN. Contoh yang nyata adalah Merpati Nusantara Airlines.

Kondisi Saat Ini

Laporan keuangan GIAA adalah salah satu laporan emiten yang paling saya tunggu di kuartal kedua tahun ini, karena GIAA merupakan 'sosok' yang menarik menurut saya. Bagai Don Juan, excellent service diluar tapi bermasalah di dalam. Tak berlebihan jika kami penasaran pada laporan keuanganya (selain SRIL, tapi SRIL sudah tidak penasaran karena sahamnya sudah di goreng-ed). Karena pula tahun 2015 ini adalah tahun terakhir dari program Quantum Leap, tahun 2015 ini adalah hasil dari proses reformasi Garuda Indonesia yang dilalui dengan jatuh bangun.

Sepertinya program Quantum Leap mulai mencatat hasil bagus, dimulai dari 2012 ketika itu GIAA memprioritaskan pembayaran hutang jangka panjang dengan kreditur dan terutama hutang dengan Angkasa Pura. DER GIAA pun membaik menjadi 0.02 alias sangat berhasil. Namun hal ini belum diimbangi dengan membaiknya neraca operasional, terutama tahun 2014.

Dan saat ini GIAA mencatat laporan keuangan yang cukup baik pada kuartal 1 2015 lalu dan dilanjutkan pada laporan kuartal 2 ini dimana laba operasi GIAA tercatat positif sebesar 77,5 juta USD. Kondisi ini berbanding terbalik dengan setahun yang lalu ketika GIAA mencatat rugi besar -235 juta USD akibat bengkaknya biaya beban usaha. Biaya ini pula yang membuat kerugian GIAA pada tahun 2004-2005.

Tentu saja membaiknya kondisi ini sangat dipengaruhi turunnya biaya operasional, mari kita lihat komponen biaya-biaya yang ada.

BEBAN USAHA (USD)20152014% Bobot Delta
Operasional penerbangan 1,057,908,945 1,198,105,189 58.94%-11.70%
Pemeliharaan dan perbaikan 173,082,588 163,096,828 9.64%6.12%
Tiket, penjualan dan promosi152,467,236 171,186,100 8.49%-10.93%
Bandara146,470,065 146,979,480 8.16%-0.35%
Pelayanan penumpang 130,775,180 146,569,260 7.29%-10.78%
Lain lain134,115,053 149,217,708 7.47%-10.12%
Jumlah Beban Usaha 1,794,819,067 1,975,154,565 -9.13%

Faktor terbesar penurun biaya adalah operasional penerbangan, kita jelajahi lebih detail lagi.

Beban Operasional Penerbangan (USD)20152014% Bobot Delta
Bahan Bakar533,192,642 759,219,927 50.40%-29.77%
Sewa & Charter Aircraft423,849,897 325,962,912 40.06%30.03%
Gaji & Tunjangan55,550,856 75,306,899 5.25%-26.23%
Penyusutan32,899,945 26,003,754 3.11%26.52%
Asuransi8,589,333 7,520,684 0.81%14.21%
Beban imbalan pasca kerja2,789,751 3,291,563 0.26%-15.25%
lain-lain1,036,523 799,440 0.10%29.66%
Total1,057,908,947 1,198,105,179

Fuel atau bahan bakar memegang peranan penting dalam struktur biaya operasi, hampir sepanjang sejarah perjalanan penerbangan Indonesia apapun maskapainya, komponen biaya ini senantiasa meningkat setiap tahun, sangat menggembirakan melihat GIAA berhasil menurunkan konsumsi avtur dengan tetap meningkatkan traffic penerbangan.

Kami melihat langkah yang dilakukan GIAA diantaranya sebagai berikut:
  1. Keputusan management GIAA untuk menggunakan pesawat baru yang tentu saja lebih irit bahan bakar dan penggunaan pesawat sesuai jarak tempuhnya. Diantaranya Boeing 777 & Airbus 330-300 untuk long flights, B-738 untuk medium flights dan CRJ 100/ATR-72 untuk short flights. Jadi tidak ada lagi penerbangan Jakarta-Lampung menggunakan Boeing atau Airbus yang akan sangat boros untuk jarak pendek.
  2. Identifikasi penghematan biaya dari non-fuel cost sebesar 198 juta USD.
  3. Menutup jalur penerbangan yang tidak profit.
  4. Menambah kuota penerbangan Umrah dan tujuan luar ke China.
  5. Melakukan hedging senilai Rp 1 trilyun (total Rp 2 trilyun) untuk mengantisipasi perubahan kurs dalam sistem cross currency swap. Dari skema ini GIAA menghemat 16,4 juta USD.
Bagi sebagian investor tabel diatas menyisakan pertanyaan, yaitu naiknya biasa sewa pesawat. Apakah selama ini GIAA hanya menyewa dan bahkan tidak memiliki pesawat sendiri? Apakah ada indikasi korupsi yang terjadi karena dana expanding tidak digunakan semestinya? Mari simak tabel dibawah:
Garuda Indonesia Corporate Presentation 2015

Untuk Garuda sendiri hanya memiliki 19 pesawat dari total 150 pesawat alias sisanya sewa. Mengapa demikian? kami mendapat penjelasan dari salah satu pejabat GIAA tentang ini, point terpenting ialah bahwa GIAA memprioritaskan terhadap rata-rata umur pemakaian pesawat dan membuat kebijakan untuk hanya menggunakan pesawat paling lama berumur 5 tahun, diatas umur itu pesawat akan di ganti. Nah, untuk menghemat dana pemakaian pesawat maka akan lebih efisien jika melakukan sistem sewa, daripada beli lalu kemudian pesawatnya dilelang atau terus dipakai hingga menjadi pesawat tua seperti yang selama ini terjadi di banyak maskapai Indonesia. Ini membuat beberapa keuntungan, namun yang terpenting ialah GIAA tetap memprioritaskan keamanan dan kenyamanan penerbangan.

Analisa Saham GIAA

Saya sendiri tidak memiliki analisa tentang saham GIAA karena GIAA tengah melakukan apa yang dinamakan turn-around management. Sesuai target Emirsyah Satar, hasil turn-around itu akan bisa dilihat pada 2015. Dengan demikian kita belum bisa berharap hanya dengan melihat profitabilitasnya.

Lebih mendalam, saham GIAA saat ini masih dibawah harga pada saat IPO sebesar Rp 750/lembar. Saat ini harga saham GIAA sebesar Rp 437/lembar atau bernilai 0.96x dari nilai bukunya. Melihat harganya yang dijual jauh di bawah harga IPO, pastilah harga saat ini sudah sangat murah tapi belum tentu ketika kita melihat PERnya karena laba masih belum stabil sesuai periode turn-around.

Lalu bagaimana untuk memastikan masalah diatas?. Disini kita memakai apa yang disebut:

Cash per Share to Price Ratio (CPR). Yaitu melihat rasio saham dari uang kas. Dari laporan keuangan Q2 2015 GIAA memiliki kas dan setara kas 463 juta USD atau setara 6,185 trilyun rupiah (1 USD = Rp. 13.330) . Dengan jumlah saham beredar sebanyak 25,9 juta lembar maka GIAA memiliki Cash per Share sebesar 283.3 rupiah. Dengan demikian CPR GIAA = Rp. 283.3 / Rp. 437 = 54.65%.

Rasio diatas 50% mengindikasikan saham tersebut dijual dengan cukup murah, metode ini mendekati metode Benjamin Graham dengan Net-Net Value (Kami bahas disini) dimana Ben Graham menginginkan saham yang dijual dibawah uang kas-nya. Analisa seperti ini cukup efektif  jika diterapkan pada bisnis yang sedang melakukan turn-around. Tak heran jika CT sampai memborong saham GIAA pada saat right issue waktu lalu.

Hutang GIAA turun secara USD namun naik secara Rupiah. Secara likuiditas, rasio lancar GIAA yang masih dibawah 1 merupakan sinyal yang kurang baik, ditambah DER yang masih berkisar 1.64x ekuitasnya. GIAA masih rentan dengan hutang.

Prospek GIAA Kedepan

Jika bicara prospek, tak ada yang perlu diragukan saya rasa dengan melihat komitmen GIAA dalam layanan full service, apalagi di tahun 2015 ini, GIAA akan memakai Terminal 3 Ultimate sebagai basis penerbangan full service. Dengan kondisi bandara yang lebih nyaman, GIAA lebih terkesan eksklusif dengan hanya bergabung pada pesawat yang masuk kelompok full service airline.

Kita lihat prospek pertumbuhan airline di Indonesia:

Pertumbuhan airline kita malah lebih pesat dari China, meskipun secara nasional GIAA masih kalah dari Lion Air akibat low cost dan jumlah pesawat. Namun saya rasa tidak ada yang menjawab ragu ketika ditanya lebih terasa nyaman dan aman mana naik pesawat?

Selanjutnya yang terpenting dari bisnis penerbangan adalah on time schedule performance. Ini mengindikasikan apakah maskapai memiliki sense of service terhadap penumpang. GIAA memiliki rasio yang tidak main-main dalam hal on time schedule, rasionya mencapai 89.1 persen. Angka ini jauh sekali di atas maskapai lain di Indonesia, bahkan jauh lebih baik dari maskapai negara tetangga kita.

Untuk berinvestasi di GIAA memang tidak sembarangan, saya pribadi sangat tertarik masuk ke saham GIAA (tentunya untuk jangka waktu sangat panjang) setelah selama ini merasakan service yang paripurna dari sebuah airline. Saya selalu mendapat head-set yang baik untuk mendengarkan musik, film yang cukup baru, member card,  dan tentunya makanan yang enak tanpa hanya sekedar basa basi. 

Persoalannya adalah beberapa kalangan masih belum yakin sistem turn-around management GIAA dengan Quantum Leap bisa membawa GIAA sehat kembali. Perlu kejelian lebih untuk melihat hasil turn-around seperti itu. Toh, bisnis airline adalah bisnis yang tidak pernah mati, bukan bisnis cycle namun membutuhkan biaya investasi yang besar. So, dibutuhkan kesabaran extra keras.

Salam Investasi
Read more →

26 Jul 2015

Boom and Bust Theory Bagian 3: Antara Beijing dan Jakarta

,
Dear rekans, sebelumnya izinkan saya untuk mengucapkan Minal Aidzin Wal Faidzin, mohon maaf lahir batin bagi seluruh pembaca setia blog Srimaya ini, semoga seluruh ibadah di bulan puasa lalu mendapat berkah yang maksimal bagi yang menjalankannya.

Masih menyambung artikel sebelumnya tentang terjadinya Boom and Bust, untuk mempermudah pemahaman bagi para rekan terutama yang baru masuk dunia pasar modal / investasi dan masih kebingungan dengan turunnya nilai investasi secara ekstrim yang diikuti munculnya istilah bubble di berita. Berikut saya sederhanakan secara umum 10 tahap terjadinya Boom and Bust dalam suatu negara:


China dan Gelembung Pasar Saham.

Dari infografis diatas kita sebetulnya bisa menilai secara masing-masing kondisi investasi yang kita ikuti berada dalam fase apa, sayangnya  kita tidak pernah betul-betul mengetahui kita berada dalam fase apa karena semua individu memiliki persepsi. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa persepsi manusia adalah bias / salah. Namun kita diajak untuk membenarkan persepsi bias tadi dengan mengumpulkan satu per satu persepsi individu menjadi persepsi massal. Caranya: memuat artikel di media, email berlangganan, dan e-book. Dan persepsi dari banyak individu tersebut akhirnya mempengaruhi kita yang awalnya menyadari secara logika. Ini pula yang saat ini sedang melanda China.

The Chinese market is the wild wild west version of the stock market.

Tak berlebihan jika bursa saham China dijuluki wild wild west bursa saham. Istilah wild wild west adalah ungkapan orang Amerika untuk sesuatu yang liar dan tak terkendali. Ibarat koboi yang belum matang tapi sudah mengendarai kuda rodeo.

Di Amerika, bursa saham adalah bursa yang sudah sangat matang, sudah melalui beragam kondisi boom and bust yang seperti infografis jelaskan di atas dan sudah teruji dalam setiap gejolak ekonomi dunia. Itulah mengapa di Amerika tersedia 'pengaman' sekaligus 'pelecut' untuk orang tetap bertrasaksi di Wall Street, diantaranya: shorting, options, circuit breakers, futures, index dan re-balancing, yang dikelola oleh perangkat profesional (hedge funds, institutional funds, pension funds, dan retail investor).

Sebaliknya, pasar saham China masih muda, seperti di Indonesia, kondisi pasar modal China belum memiliki mekanisme pasar selayak Amerika (tidak ada options, shorting hanya diijinkan terbatas) dan lebih penting lagi, masyarakat China belum memiliki pengetahuan akan pasar modal dengan baik, termasuk pengetahuan akan resiko pasar modal (disini Indonesia lebih baik).

Periode Boom dimulai tahun 2013, bahasa sederhananya ketika itu China sebagai pemilik predikat negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia mulai tertarik mengembangkan pasar modalnya, Dimulai dengan suntikan dana besar pemerintah China kedalam pasar, terutama pada perusahaan BUMN dimana bertujuan agar ada peningkatan modal untuk menunjang berbagai proyek infrastruktur, teknologi, manufaktur dan perbankan yang meningkat sangat pesat.

Meskipun awalnya pasar mengalami stuck tetapi cenderung bergerak naik secara wajar sesuai dengan fundamental ekonomi ditambah dengan adanya kebijakan perbaikan likuiditas dan kelonggaran pinjaman. Namun katalis terbesarnya justru ketika pemerintah China mulai membuka akses hubungan langsung dengan pasar modal Hong Kong untuk menarik minat investor international pada April 2015 lalu.

Tahapan Boom and Bust di China sebagai berikut:

2013, Pasar saham China mulai naik secara perlahan, dari mulai Shenzhen Stock ExchangeShanghai Stock Exchange,  dan Hong Kong Exchange. Kenaikan ini masih sesuai dengan kondisi fundamental China yang dinilai sebagai negara dengan pertumbuhan tercepat.

Sumber: Bloomberg

Dari grafik di atas, coba bandingkan antara Shenzen dan Shanghai Stock Exchange yang naik secara Boom! dengan IHSG dan Dow Jones yang naik secara 'normal' dan bertahap.

2014, bursa China terus menerus naik dengan selalu mencetak all time high-nya. Koran dan majalah lokal maupun asing selalu berisi tentang gembar-gembor ekonomi China yang tumbuh pesat. Ini membuat masyarakat China terpancing menciptakan harapan untuk menjadi lebih cepat kaya dan jalan satu-satunya ialah masuk bursa saham, siapa yang tidak tergiur keuntungan lebih dari 20% dalam satu bulan?

2015, masyarakat China semakin berlomba untuk membuka rekening baru di sekuritas lokal, beberapa analis menyebut angka 20 juta rekening baru dibuka dalam periode April hingga Juni 2015. Hal ini tidak menjadi masalah apabila rekening dibuka secara wajar tanpa ada pertaruhan. Yang menjadi masalah ialah ketika sekian banyak  rekening itu dibuka oleh masyarakat China dengan hanya sedikit uang cash, alias berhutang, bukan hanya mempertaruhkan tabungan sebagai jaminan tetapi juga aset; rumah, apartemen, kendaraan dan lebih gila lagi beberapa pengusaha menjaminkan pabriknya untuk masuk ke bursa saham. Entah bagaimana pola pikirnya otoritas jasa keuangan disana, yang pasti rasio margin mencapai 10:1.

Lupakan Fundamental

Pasar China dominasi oleh investor yang belum atau bahkan tidak berpengalaman, ini membuat hanya sedikit dari mereka yang melakukan valuasi terhadap rasio harga terhadap laju laba emiten di pasar. Bahkan muncul anekdot "Forget the fundamental, just follow the algorithm". Maksudnya jelas, tidak perlu melihat fundamental emiten seperti apa, yang penting adalah lihat chart, dan selalu beli ketika harga break. Tentu saja teknik Darvas sangat berguna disini.  Selengkapnya Tentang Darvas dan ini

Akibatnya price earning ratio (P/E) di Shanghai Stock Exchange mencapai kisaran 20x dan di Shenzen Stock Exchange mencapai 50 - 60x dari rata-rata kenaikan laba bersih emiten-emitennya. Bahkan ChiNext, kumpulan saham-saham small-cap memiliki trailing P/E hingga mencapai 90x. Angka ini dua kalinya dari kejadian bubble dot.com di Amerika.

Mania berlangsung beberapa saat sebelum banyak dari Investor China maupun asing yang berpengalaman mulai menyadari bahwa gelembung sudah nyata di depan nyata. Pada April 2015, dua bulan sebelum gelembung pecah, Teng Bingsheng dosen dari Cheung Kong Graduate School of Beijing sudah memperingatkan "The bubble is making and valuations are extremely expensive".

Antara Beijing dan Jakarta

Bagaimana sebetulnya ekonomi China sebelum menghadapi pecahnya gelembung pasar saham? Apakah berpotensi seperti Amerika 1929? Lalu yang terpenting, bagaimana dampak kepada Indonesia?

Kita tahu bahwa erat kaitan ekonomi China dengan Indonesia, karena sebagian besar barang-barang konsumsi, dari mulai gelas plastik hingga skala pembangkit listrik melakukan kerjasama dengan China.

Mari kita lihat chart di bawah ini.


Perhatikan garis lurus berwarna orange di atas, itu adalah garis delta mean atau garis laju rata-rata pertumbuhan tahunan GDP (Gross Domestic Bruto) antara China dan Indonesia. Terlihat telah terjadi perlambatan perekonomian yang bukan hanya China tetapi juga Indonesia. Kabar baiknya, angka pertumbuhan GDP kita masih lebih tinggi dari 5 tahun yang lalu, berbeda dengan China yang angkanya sudah lebih rendah dari 5 tahun yang lalu. 

Sekilas memang terlihat bahwa ekonomi Indonesia dan China sedang sakit. Namun apakah seperti itu? Seperti kita tahu bahwa faktor pembentuk GDP ialah konsumsi (masyarakat dan pemerintah), investasi dan nilai ekspor impor. Karena hubungan China dan Indonesia adalah perdagangan, mari kita mulai dari yang terakhir, yaitu melihat laju neraca perdagangan ekspor impor yang biasa disebut Balance of Trade (BOT).

Silahkan simak chart Balance of Trade di bawah ini:

Balance of Trade ialah indikator yang menunjukkan perkembangan dari ekspor dan impor suatu negara. Sehingga jika kita perhatikan, baik China maupun Indonesia sama-sama memiliki laju BOT yang positif setahun terakhir dimana nilai ekspor lebih besar dari nilai impor. Meskipun jika dirunut dalam 10 tahun terakhir  BOT kedua negara terutama Indonesia masih cenderung menurun dan masih dibawah garis mean tapi posisi Indonesia sedang merangkak naik (perhatikan lingkaran).

Yang kedua, cara simple melihat apakah China dan Indonesia bermasalah ialah dengan melihat laju consumer confident, yaitu indikator yang menggambarkan kepercayaan diri dari konsumen (masyarakat) terhadap daya beli, pendapatan dan lapangan pekerjaan.



Grafik yang mengejutkan, sebagian besar dari anda pasti mengira bahwa Indonesia yang di dominasi oleh berita-berita pesimis dalam negeri memiliki indikator konsumen yang rendah, tapi justru negara kita ini memiliki tingkat kepercayaan konsumen yang lebih tinggi dari China dan bahkan Amerika.

Data ini memang diambil dari survey terhadap golongan mid-low hingga high-end atau berarti golongan bergaji 3 juta ke atas. Golongan ini merupakan bagian dari 78% pembentuk nilai GDP Indonesia sehingga dari golongan inilah sebetulnya ekonomi kita berjalan.

Anda tidak perlu heran sebetulnya, grafik ini sudah cukup menjawab mengapa Mall di hampir seluruh kota di Indonesia selalu ramai setiap weekend? ataupun mengapa antrian tol Cipali bisa luar biasa panjangnya ketika musim mudik, padahal mudik membutuhkan biaya besar. Justru saya akan lari dari negeri ini kalau tiba-tiba jalur mudik menjadi sepi.

Indikasi berikutnya adalah melihat kenaikan tingkat hutang negara. Dan kita akan coba bandingkan external debt (Hutang yang dibiayai pihak luar negeri) antara China dan Indonesia.

Pada tahun 2004, China memiliki external debt sebesar 2,629 hundred million USD dan meningkat menjadi 8,955 hundred million USD pada 2014, hutang China meningkat 202% selama 10 tahun. Indonesia memiliki external debt sebesar 139 hundred million USD pada 2004 dan meningkat menjadi 292 hundred million USD pada 2014. Atau meningkat 117% pada periode yang sama. Jadi jika bandingkan dari tingkat hutang, Indonesia masih jauh di bawah China,  lebih baik dari Malaysia yang hutang luar  negerinya bertambah sebanyak 8000% (yes tidak kelebihan nol, delapan ribu persen) hanya dalam waktu 6 tahun, bahkan lebih baik dari Jepang yang disebut sebagai negara paling maju di Asia.

Kesimpulan

Apakah di China sudah terjadi Bust? Ya. Apakah Indonesia juga indikasi terjadi Bust? Boom saja belum, coba perhatikan table ini.






Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik:
  1. Jumlah investor lokal Indonesia hanya sekitar 408 ribu investor, atau masih kurang dari 1% total populasi. Sedangkan di China sudah hampir mencapai 7% dari total populasinya. Dari sisi jumlah investor ataupun trader, Indonesia masih sangat jauh dari yang namanya MANIA.
  2. Index consumer confident Indonesia tergolong baik, kita hanya kalah dari India, artinya negara kita di gerakkan oleh sumberdaya yang produktif dengan etos kerja yang baik. Keinginan orang Indonesia itu banyak (konsumtif) sehingga kerja keras (lembur, side job, dll) sudah menjadi hal yang biasa. Dan ini menjadi hal positif pada pola pikir investasi untuk tidak mengejar keuntungan besar dengan instant, sehingga masyarakat Indonesia masih terjaga untuk berpikir wajar terhadap bursa saham
  3. Sebaliknya, bagusnya neraca perdagangan China tidak diikuti oleh consumer confident masyarakatnya, terjadi anomali pada masyarakat China entah itu apa (gaji terlalu rendah? eh..).  Tak heran jika banyak dari mereka yang tergiur oleh keuntungan instant pada bursa saham, sehingga tindakan irrasional pun dilakukan. 
  4. Peningkatkan balance trade kita yang masih dibawah rata-rata 10 tahun sudah menjadi perhatian pemerintah, yaitu dengan meningkatkan nilai ekspor. Langkah yang saat ini sedang dilakukan adalah memperbaiki infrastruktur (non migas) untuk meringankan biaya produksi sehingga harga barang menjadi bersaing.
  5. Inflasi di Indonesia cukup tinggi, angka 7.26 termasuk angka yang tinggi dibanding seluruh dunia, Indonesia hanya lebih baik (rendah) dari Russia dan Brazil yang notabenenya memang sedang bermasalah dan memiliki index consumer confident negatif.
  6. Persentase pengangguran di Indonesia lebih tinggi dari China, so, jika ada isu mengenai tenaga kerja China yang akan di ekspor ke Indonesia sepertinya perlu di kaji ulang.
  7. Angka PER bursa saham China sudah overvalued. Jika angka PER bursa saham Shenzen sebesar itu, artinya rata-rata perusahaan di China harus memiliki earning growth sebesar 40% di 2015-2016 untuk sekedar mendekati nilai wajarnya. Dan hampir mustahil jika katakanlah 20 perusahaan berkapitalisasi terbesar di China kompak memiliki earning growth sebesar itu.
  8. Jikapun terjadi penurunan pada IHSG Indonesia, itu bukanlah merupakan pecahnya gelembung, melainkan koreksi. Dan jika terjadi peningkatan pada GDP ataupun balance trade Indonesia setelah infrastruktur selesai dibangun, bersiaplah menuju babak baru investasi di Indonesia.

Salam Investasi   
Read more →

11 Jul 2015

Boom and Bust Theory Bagian 2: Soros dan Reflexivity

,

Prinsip Ketidakpastian Manusia

Seperti menyusun sebuah anagram ketika kita berbicara tentang filosofi investasi, bukan hanya soal untung atau buntung, tapi lebih dari itu soal pemahaman terhadap perilaku manusia. Padahal secara pengertian sederhana investasi adalah "Kegiatan membeli suatu instrument yang diharapkan akan naik nilainya di masa mendatang sehingga menimbulkan keuntungan bagi investor" Dari sini tidak ada hubungannya dengan perilaku.

Tapi coba kita lihat, Pokok kata didalam kalimat diatas adalah 'membeli', arti membeli ya biasa saja, beli ya beli karena butuh. Tetapi terdapat kata lain yang mempengaruhi unsur kata pokok sebelumnya, yaitu 'harapan'. Terlihat kata pokok kedua mengikat kata pertama dan menciptakan hubungan sinergi yang disebut perilaku. Sehingga manusia tidak akan membeli instrument investasi jika dia tahu tidak ada harapan, untuk itu manusia harus memastikan bahwa investasi 'pasti' naik nilainya sebelum ia memutuskan untuk membeli.

Kok bisa 'pasti'?

Disinilah hubungan perilaku manusia dan investasi mulai terjalin. Manusia sejatinya adalah makhluk yang selalu bermimpi akan adanya kepastian. Jika tidak, buat apa banyak sekali dukun atau fortune teller yang disewa atau di bayar mahal untuk membaca masa depan seseorang, bahkan kalau bisa merubah masa depan itu sendiri?. Jawabannya karena satu hal. Manusia butuh kepastian.

Sayangnya investasi bukanlah kepastian sehingga timbul kontradiksi antara harapan dengan investasi yang membuat ini menjadi menarik dan menjadi dasar pemikiran Soros berikutnya.

George Soros dan Teori Refleksivitas  

George Soros, big player investasi asal Hungaria yang terkenal dengan julukan "the man who broke the Bank of England" dan juga spekulator di balik krisis financial Indonesia tahun 1998 di dalam bukunya "The Alchemy of Finance" menjelaskan secara rumit tentang teori reflexivitas dan hubungannya dengan kegiatan investasi. Maklum karena Soros selain sebagai investor juga seorang filsuf ekonomi, sehingga gaya bahasanya sangatlah filosofis.

Soros berpendapat bahwa terdapat dua hal di dalam investasi, yaitu pemikiran (fungsi kognitif) dan situasi partisipan (saya lebih suka menyebut dengan kata investor). Di satu sisi para investor mencoba memahami realitas yaitu dengan cara melakukan valuasi terhadap nilai invetasi, berapa harga yang seharusnya dibayar, berapa nilai sebenarnya (intrinsik) dan di harga berapa para investor ini mulai layak masuk.

Sehingga di tahap ini disebut juga awal mula teori pasar efisien dimana harga yang ada di pasar sangat menggambarkan kondisi fundamental pasar itu sendiri.

Di sisi lain, para investor menghadapi sebuah situasi dimana mereka memiliki keinginan bahkan mereka mencoba menciptakan hasil agar seperti diharapkan. Di awal saya menyebutkan tentang harapan. Harapan investor adalah jelas: Mereka menghendaki keuntungan yang maksimal dari pasar. Kita semua mengganggap bahwa pemikiran dan keinginan kita adalah sama, padahal ini jelas jauh berbeda.

Pemikiran membentuk konstanta, sedangkan keinginan adalah campuran hasrat dan emosi. Kedua hal yang bertolak belakang namun berjalan bersamaan. Inilah yang dinamakan Refleksivitas.


Refleksivitas dalam Pasar Saham

Pasar saham adalah pasar yang cukup memberikan 'ruang' kepada intelektualitas manusia untuk berkembang, karena di dalamnya terdiri dari bentuk usaha. Tidak seperti pasar uang yang bersifat subjektif, pasar saham lebih bersifat objektif karena menyangkut sektor usaha riil.

Emiten di pasar saham dapat di valuasi dengan jelas, karena berbentuk badan usaha sehingga data-data yang ada bisa dipertanggung jawabkan. Ada otoritas jasa yang mengatur dengan beragam izin dan perundang-undangan. Dengan kondisi demikian apa yang terjadi di pasar saham menurut teori adalah hubungan satu arah, dimana fundamental perusahaan mempengaruhi nilai saham itu sendiri.

Yang menjadi masalah adalah kembali ke atas, yaitu persepsi manusia terhadap valuasi. Valuasi yang sejatinya berupa konstanta seperti 1+1 = 2 harus menghadapi kenyataan dengan penggunaan asumsi yang..lagi lagi diciptakan oleh harapan manusia, artinya valuasi disini memberikan ruang kepada harapan plus realitas manusia untuk bermain.

Contoh: Jika emiten A memiliki rata-rata pertumbuhan EPS selama 5 tahun adalah 9.5%, maka untuk menghitung Future Value berapa angka pertumbuhan yang kita gunakan? Graham menyebut 10%, saya menyebut 9.5%, tetapi teman saya yang mendengar rumor bahwa laba emiten ini akan melonjak, menggunakan angka 15% sebagai dasar perhitungan. Dari sini saja, tentu penilaian emiten di masa depan akan saling berbeda bukan?

Soros mengeluarkan dua pernyataan tentang pasar saham:
  1. Pasar selalu bias (cenderung) ke satu arah dan lainnya.
  2. Pasar dapat mempengaruhi peristiwa - peristiwa yang diantisipasi pasar itu sendiri.
Penjelasan pertama, pasar selalu bergerak dengan kecenderungan, entah positif atau negatif. Kecenderungan dibentuk karena adanya harapan investor di masa depan, Soros menggambarkan bahwa jika saat ini terdapat perbedaan yang nyata antara harga saham dengan nilai intrinsiknya, maka sebetulnya harga saham tersebut sudah mewakili harapan investor itu di masa depan. 

Penjelasan kedua akan saya ambil dari contoh kondisi pasar menjelang pemilihan presiden 2014 lalu. Pada saat itu IHSG mengalami kondisi fluktuatif menjelang Pemilu, alasan klasik yang bisa ditebak. Pasar menunggu siapa kandidat Presiden yang paling disukai rakyat. Oke stop!. Disini fungsi situasi muncul dahulu.

Mendekati Pemilu, rakyat semakin jelas arahnya akan kemana,  dimana Presiden yang di elu-elukan mulai berbicara tentang angka pertumbuhan satu tahun pertama yang ditarget mencapai 7%, disini para analis ekonomi mulai menghitung pencapaian ekonomi kita termasuk target IHSG 2015 di angka 6500. Stop! disini fungsi kongnitif baru mulai muncul.

Dunia nyata antara fungsi kognitif dengan fungsi situasi mulai bermain dan saling memotong. Mungkin pada saat itu analis sudah tahu bahwa target 7% sangat sulit tercapai, untuk awal pemerintahan GDP di angka 5.5% saja sudah termasuk sangat bagus. Namun disisi lain, calon presiden itu mulai menampilkan itikad baik, dengan langsung mendatangi gedung Bursa Efek.

Hal ini tanpa disadari mulai berefek pada fungsi kognitif, dimana para analis lansung membuang pulpen mereka dan menjawab: Yah ini presiden kita!. IHSG langsung berubah bullish dalam waktu singkat, jargon sell in may and go away tidak laku di  Indonesia kala itu. IHSG menyentuh all time high-nya di 2014 tanpa pernah melakukan retrenchment yang berarti.

Kondisi IHSG saat itu mempengaruhi peristiwa yang sedang terjadi, karena indeks, calon Presiden semakin dielu-elukanLalu bagaimana jika ternyata di masa depan hasilnya tidak memuaskan? Ingat kasus South Sea Bubble? Tetapi seperti kata Soros, pasar selalu melakukan antisipasi.

Sayangnya pasar melakukan antisipasi tidak saat itu, tetapi saat ini ketika pertumbuhan ekonomi tidak seperti yang dijanjikan. Jika saya perhatikan, ada dua jenis antisipasi pasar:
  1. Antisipasi positif, pasar cenderung bergerak ke arah positif akibat berita dan isu yang berkembang mendapat apresiasi positif. Jenis antisipasi ini biasanya muncul mendahului fakta.
  2. Antisipasi negatif, kebalikan dari antisipasi positif. Antisipasi ini muncul belakangan. Meskipun terdapat berita buruk pada emiten, selama itu belum terbukti, antisipasi positif masih berlaku.
Soros mendapat untung yang luar biasa hanya dengan memerhatikan antisipasi pasar. Bahkan dia sendiri yang menciptakan situasi pasarnya.


Siklus dan Bias Persepsi

Persepsi manusia selalu tampak salah (bias) karena kita tidak bisa untuk tidak menggunakan informasi dan hanya fokus pada valuasi, padahal informasi yang kita terima sangatlah minim. Sedangkan pasar memiliki prinsip yaitu pasar selalu benar. Pasar dibentuk bersama-sama berdasarkan fundamental, informasi dan harapan, otomatis pasar memiliki informasi yang jauh lebih besar dari individu.

Sayangnya informasi itu selalu diterjemahkan salah oleh para pelaku pasar, pasar selalu bertindak terlebih dahulu berdasarkan informasi yang minim tersebut.

Itulah mengapa begitu banyak saham berfundamental bagus yang dijual dengan harga jauh diatas nilai wajarnya. Memang betul bahwa harga saham merefleksikan fundamental, tetapi yang dilakukan individu jauh melampaui itu . Dan itu terjadi berulang-ulang di dalam sistem investasi kita.


Bagaimana simplifikasi terjadinya boom and boost? nantikan di artikel selanjutnya pada: Antara Beijing dan Jakarta.

Salam Investasi

Read more →

9 Jul 2015

Boom and Bust Theory Bagian 1: Mengenal skema Boom and Bust

,
Sebelumnya, tulisan ini terinspirasi dari cerita batu akik yang di alami oleh kawan saya baru-baru ini. Sekitar delapan bulan lalu fenomena batu akik yang melanda Indonesia sungguh luar biasa, dalam waktu kurang dari empat bulan, pasar batu akik yang tadinya hanya di pasar Rawa Bening, Jatinegara bisa kita temukan secara dadakan di setiap pasar tradisional, bahkan samping alfamart yang biasanya berjualan tempe mendoan sekarang disulap menjadi dagang batu akik.

Demam ini juga melanda kawan saya yang dengan alasan investasi membeli batu akik (entah jenis apa) hingga puluhan juta dalam jumlah yang cukup banyak. Satu batu kalau saya bagi yah harga belinya di sekitar dua ratus hingga tiga ratus ribuan rupiah. Rencananya batu-batu itu akan diperdagangkan kembali di Festival Batu Akik Nusantara di Gorontalo tiga bulan kemudian dengan keyakinan bahwa batu-batu ini akan berharga lima ratus ribu hingga satu juta rupiah per batu. Atau mengalami kenaikan 150% dalam tiga bulan saja.

Ternyata apa yang terjadi? Anda bisa baca artikel Antara News tentang Festival Batu Akik Nusantara di Gorontalo untuk tahu hasilnya. Batu akik tersebut ternyata malah di obral lima ribu rupiah per batu karena sepi pembeli. Alhasil investasinya rugi hampir 100%.

Dari situ saya teringat juga tentang demam tanaman gelombang cinta yang harganya mencapai jutaan rupiah, namun setahun berikutnya justru saya mendapat gratis dari tetangga.

Fenomena seperti diatas dikenal sebagai fenomena Boom and Bust yang senantiasa berulang dan seperti sengaja diulang, entah oleh siapa. Namun yang pasti penting bagi kita untuk mengenal fenomena demikian untuk selalu waspada dalam berinvestasi, karena investasi bukan hanya soal meletakkan uang, namun juga filosofi dibalik itu ialah tentang keserakahan manusia.

Boom and Bust adalah  karateristik yang selalu muncul di dalam siklus ekonomi kapitalis seperti sekarang ini, keduanya adalah hasil proses ekspansi (perkembangan) dan kontraksi (gejolak) yang datang berulang kali akibat dua hal:  Ekspektasi masyarakat dan Realita yang disadari kemudian.



Di bawah ini beberapa legenda tentang Boom and Bust yang melanda dunia.

1. Gelembung Bunga Tulip (1623 - 1637)

Bisa dikatakan, fenomena bunga tulip merupakan fenomena Boom and Bust pertama di era ekonomi modern, dipicu oleh meningkatnya perekonomian Belanda yang tumbuh pesat diikuti oleh meningkatnya jumlah kelas atas dan juga tentunya meningkatnya selera akan komoditas. Tulip yang sejatinya berasal dari Turki saat itu menjadi primadona karena keindahannya dan serta-merta menjadi rebutan para kelas elit saat itu. Bahkan beberapa dari mereka rela untuk membayar mahal bahkan seharga rumah untuk satu set (40 tangkai) bunga Tulip yang bernama Semper Augustus.


Satire on Tulip Mania. Jan Breughel the Younger, ca 1640, Frans Hals Museum, The Netherlands


Semper Augustus dijual seharga 1000 gulden pada 1623, 1200 gulden pada 1624, 1500 gulden pada 1625 dan mencapai puncaknya pada harga 6700 gulden pada 1937. Harga itu pada waktu itu setara dengan sebuah rumah di Amsterdam. Bandingkan dengan penghasilan masyarakat Belanda yang saat itu rata-rata setahun 'hanya' 150 gulden.

Kenaikan harga Tulip ini menimbulkan efek yang disebut efek megalomania yang segera menjalar dari kaum elit (kaum yang pertama memulai efek) hingga kaum pedesaan. Ada ungkapan saat itu bahwa tidaklah menjadi warga Belanda jika tidak berinvestasi pada tulip. Banyak diantara mereka yang rela menjual tanah, rumah dan warisannya demi tulip.

Charles Mckay dalam bukunya Memoirs of Extraordinary Popular Delusions 1841 mengilustrasikan kondisi saat itu melalui percakapan dua warga Belanda;

Gaergoedt: “kamu dengan susah payah mendapatkan keuntungan 10% dengan uang yang kamu investasikan pada pekerjaanmu (seorang penenun), tetapi dengan berdagang bunga tulip, kamu dapat membuat keuntungan 10%, 100%, ya, sampai 1000%”.
Waermondt: “Tetapi saya takut, jika saya memulai dari sekarang, itu terlambat, karena sekarang harga bunga tulip sangat mahal, dan saya takut bahwa saya akan sukses dengan air liur sebelum merasakan daging panggang”.
Gaergoedt: “Tidak ada kata terlambat untuk membuat keuntungan, kamu menciptakan uang sambil tidur. Saya bepergian dari rumah untuk empat atau lima hari, dan saya pulang kerumah pada malam hari, tetapi sekarang saya tahu bahwa bunga tulip yang saya miliki nilainya telah naik tiga atau empat ratus golden; dimana kamu bisa mendapatkan keuntungan seperti ini dari barang lainnya?”
Waermondt: "Saya bingung saat mendengar kamu bercerita seperti itu. Saya tidak tahu apa yang dilakukan; apakah banyak orang menjadi kaya dengan perdagangan seperti ini?”
Gaergoedt:  “Pertanyaan macam apa ini? Lihat pada semua tukang kebun yang mengenakan pakai                              kumal, dan sekarang mereka mengenakan pakaian baru. Banyak penenun memakai                                  pakaian bekas. Ya, banyak dari mereka yang berdagang bunga tulip mengendari                                        seekor kuda” 

Percakapan diatas sangat mewakili kondisi masyarakat Belanda saat itu dimana angin surga mulai ditiupkan, angin tersebut menciptakan kondisi yang disebut Boom, dan memicu terjadinya gelembung (bubble). Ditambah lagi dengan tindakan pemerintah Belanda yang menciptakan Futures Market, atau kontrak berjangka. Disini kontrak tulip diperjualbelikan layaknya komoditas yang lain.

Meskipun di dalam kontrak ini para trader tidak melalui bursa dan tidak memerlukan initial margin melainkan langsung antar individu, tetap saja tidak ada bunga tulip secara fisik yang diperjualbelikan, melainkan murni spekulasi. Perdagangan ini dikenal dengan "wind-trade" atau dagang angin. Kebijakan uang yang longgar dan suku bunga yang rendah sama-sama mendukung timbulnya peningkatan permintaan akan tulip dan membuat harganya semakin melambung.

Akibatnya terciptalah apa yang disebut over-trading. Tentu saja akan terjadi over-trading karena semua orang saat itu berjualan tulip! harga melambung sangat tinggi dan...Pada 1637, ketika para spekulan yang sudah mengira bahwa harga sudah over-priced mulai menjual kontrak-kontrak tulip di harga yang lebih tinggi untuk mendapat untung besar. Dengan segera terjadilah yang dinamakan over-supply yang memicu penurunan harga secara drastis. Dari situ masyarakat baru sadar bahwa harga tulip tidaklah semahal itu. Harga tulip segera turun dari rata-rata 200 gulden menjadi 10 gulden (harga awal). Bayangkan depresi yang menjalar Belanda pada masa itu.

2. South Sea Bubble (1719 - 1722)

Pada abad 17, Eropa memasuki masa keemasan dalam ranah Revolusi Industri. Dengan kalimat simbolisnya Gold, Gospel, Glory, Eropa khususnya Inggris dan Belanda dengan pasti mulai melakukan perluasan koloni dimana Inggris saat itu diberi kebebasan untuk melakukan monopoli perdagangan melalui hak dagang monopoli Treaty of Ultrech's kepada perusahaan dagang Inggris, South Sea Company (SSC). SSC diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan budak di Karibia, Amerika Utara. Sedangkan East India Company atau VOC Belanda diberi hak monopoli di Hindia Belanda (Indonesia).

Dengan latar belakang sebagai penjamin emisi hutang negara Inggris Raya akibat biaya perang yang membengkak dengan Perancis, SSC butuh dana besar dengan cara menerbitkan saham untuk menarik minat Investor pada tahun 1719. Namun baru pada tahun 1720 saham SSC mulai bergerak aktif akibat pihak SSC yang selalu mengeluarkan informasi publik akan besarnya nilai kontrak di Karibia, adanya dana tambahan untuk melakukan ekspansi usaha ditambah kemenangan Inggris Raya atas Prancis. Ini memicu terjadinya spekulasi besar-besaran terhadap sahamnya.

Saham SSC naik dari £100 pada bulan Januari 1720 menjadi £550 pada Mei 1720. Saham tersebut terus naik menjadi £1000 pada Juli 1720 akibat adanya permainan para politikus yang memiliki saham SSC. Namun belakangan diketahui bahwa ternyata SSC tidak bisa menampilkan performa yang bagus untuk memenuhi target penjualan dan laba di dalam laporan keuangannya. Dengan adanya kontradiksi ini para investor mulai menyadari bahwa nilai wajar SSC sangat jauh dibawah harganya ditambah pula dengan mulai terkuaknya adanya permainan politikus dan juga fakta bahwa SSC menanggung hutang yang banyak. Hal ini dengan segera menyeret saham SSC kembali ke harga £100.

Cukup banyak korban pada peristiwa ini, terutama bagi para investor yang sudah menjaminkan asetnya dan menggunakan dana kredit usaha untuk membeli saham SSC di harga £1000.

Apakah tindakan ini rasional?  


How the News Broke: South Sea Bubble. Angus McBride

3. Depresi Besar 1929

Great depression atau depresi besar pada tahun 1929 yang melanda bursa saham wall street bukan saja 'mematikan' bursa saham New York, namun lebih jauh dari itu, great depression telah membunuh optimisme yang sedang dialami oleh masyarakat Amerika pada saat itu dan baru terobati hingga 30 tahun kemudian.

Great depression muncul ditengah-tengah gelombang optimisme setelah perang dunia pertama, revolusi industri menyebabkan Amerika mulai mengembangkan industri manufaktur dan ini membuka begitu banyak lapangan pekerjaan. Pekerjaan ada dimana saja dan masa depan terlihat sangat cerah. Meningkatnya taraf hidup menyebabkan meningkatnya pula kesadaran akan berinvestasi di bursa saham. Wall Street mengalami kondisi bullish, bahkan super bullish dan New York menjadi kota metropolis dan pusat bisnis dunia.

Kondisi bullish ini menyebabkan masyarakat kala itu berpikir bahwa saham merupakan jaminan hidup, ini didukung oleh banyak pialang saham yang secara rutin memberikan dana secara kredit kepada masyarakat untuk masuk ke bursa saham bahkan hingga 2/3 dari nilai investasi mereka (margin). Nilainya hampir lebih dari 8.5 milar USD yang disalurkan, bahkan angka ini melebihi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Ini memicu terjadinya boom spekulatif dari jutaan masyarakat ke bursa saham dalam waktu singkat, akibatnya Dow Jones Industrial Exchange (DJIA) naik tajam hingga di harga 381.17 dengan Price Earning Ratio indeks S&P sebesar 32x. Angka ratio yang sudah sangat mahal.

Kondisi demikian selalu menuntun pasar menuju titik gelembung, entah siapa pihak pertama yang melakukan big selling (beberapa mengatakan Jesse Livermore lah orang pertama yang melakukan selling), yang pasti pada 3 September 1929, nilai saham turun hingga 17% dan turun terus hingga tersisa 41.22 pada 1932. Efek tersebut menjadi luas dampaknya disebabkan sedikit sekali cash money yang mengalir saat itu, uang para nasabah sejatinya adalah hutang berupa jaminan rumah, tanah, kendaraan, toko dan juga uang pensiun. Akibatnya banyak orang kehilangan rumah mereka, ratusan pengusaha menutup pabriknya untuk mendapatkan uang sehingga terjadi PHK massal terhadap ribuan orang.


Masa pelik ini sedemikian parahnya sehingga Amerika kehilangan banyak tenaga kerja produktif akibat bunuh diri, ibu rumah tangga ikut bekerja dan tak ketinggalan anak-anak yang bisa membantu ekonomi keluarga. Amerika baru bisa keluar dari masa sulit ini setelah Amerika turut serta dalam perang dunia II pada 1941. Dengan adanya perang maka dibangunlah banyak pabrik-pabrik senjata, peralatan militer dan supply pertanian yang menyerap banyak tenaga kerja.

Irrasional dan Rasional

Ketiga hal diatas menjadi contoh yang bagus bagi dua kubu ekonom untuk berdebat apakah pasar sebetulnya digerakkan oleh fundamentalnya atau ada hal lain. Apakah boom and bust yang terjadi disebabkan oleh tindakan irrasional manusia yang merubah pasar bentuk efisien menjadi pasar tidak efisien dalam behavioral finance? Ataukah sebaliknya?

Aliran ekonomi ilmiah, dalam hal ini diwakili oleh Peter M. Garber (1990) menyatakan bahwa tidak ada yang namanya 'gelembung' karena manusia selalu bertindak rasional berdasarkan fundamentalnya. Fundamental dalam hal ini adalah informasi.

Sedangkan aliran filosofi ekonomi, Charles P. Kindleberger (2000) dalam tinjauan buku Famous First Bubbles: The Fundamental of Early Manias menyatakan:

“Apakah investor yang membeli saham South Sea pada harga £1.000 adalah berperilaku rasional? Jawabannya adalah tidak. Pertama, terdapat informasi publik yang mencukupi yang menyatakan bahwa harga saham telah mengalami overvalue yang serius. Kedua, memasuki periode gelembung yang sudah akut, investor dihadapkan pada resiko yang lebih besar daripada imbal hasil: mereka memburu potensi keuntungan yang kecil dan berresiko untuk menderita kerugian akan lebih besar. Ketiga, ‘fundamental’ (prospek jangka panjang perusahaan) tidak mengalami perubahan dalam tahun tersebut” (diterjemahkan dari Kindleberger, 2000, hal.3)

Dengan kata lain Kindleberger menyatakan bahwa penyebab terjadinya boom and bust tak lain bermula dari tindakan irrational investor yang tak terbendung,

Contohnya adalah kasus great depression 1929. Saat itu terdapat publikasi bahwa angka PER indeks S&P sudah menyentuh angka 32x yang artinya termahal sepanjang sejarah ditambah fakta bahwa hutang investor lebih besar dari uang yang beredar saat itu. Namun lagi-lagi psikologis pasar selalu berlaku over-reacting yang menyebabkan pasar sudah jadi tidak sempurna dan peringatan itu jadi tidak ada gunanya.

Lalu apa pendekatan yang menggabungkan kedua ide tadi?. Akan dibahas pada artikel selanjutnya di
Boom and Bust Theory Bagian 2: Soros dan Reflexivity

Salam Investasi
Read more →