18 Mar 2015

Laba Pemilik - Harta tersembunyi para Investor

,
Laba pemilik atau owner earnings bisa diartikan sebagai laba perusahaan dalam bentuk cash yang dimiliki penuh oleh para pemegang saham. Disini laba pemilik berbeda dengan laba bersih, dimana laba bersih merupakan perhitungan akutansi yang tidak mempertimbangkan belanja modal sedangkan laba pemilik sudah memperhitungkan belanja modal dan juga depresiasi aset yang dimiliki perusahaan.

Sehingga dengan laba pemilik maka para pemilik modal bisa mengetahui secara lebih nyata, berapa sebenarnya keuntungan yang mereka miliki saat ini untuk mereka habiskan di klub atau kongkow Jumat malam.

Mari kita lihat rumus laba bersih:

Laba bersih = Penjualan bersih - Beban pokok penjualan - Beban usaha - Pajak - Bunga - beban lain-lain.

Sedangkan rumus laba pemilik,

Laba Pemilik = Laba bersih + Depresiasi / Amortisasi + Biaya non tunai - Belanja modal / Capital Expenditure*


* Disini penulis tidak memakai rata rata belanja modal, namun memakai angka belanja modal saat ini sesuai laporan keuangan, agar terlihat lebih nyata antara kegiatan perusahaan dan laba pemilik termasuk mengetahui fluktuasi kapan perusahaan melakukan banyak ekspansi dan kapan sedang vakum.

Mari kita bedah satu per satu:

Laba pemilik atau istilah kerennya owner earnings muncul pada laporan tahunan Berkshire Hathaway tahun 1986, disitu Warren Buffet menulis bahwa untuk  melihat secara nyata berapa keuntungan sebenarnya yang di miliki oleh pemilik saham adalah dengan melihat antara laba bersih dengan bagaimana perusahaan tersebut berkompetisi dan berkembang, artinya pemilik saham harus melihat tentang kebijakan belanja modal / capital expenditure yang di keluarkan oleh manajemen.

Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang sedang berkembang pesat, maka pemilik saham pun harus maklum jika laba bersih (hasil akutansi) yang dilaporkan sebetulnya tidak sejumlah itu. Mereka harus mempertimbangkan kebijakan manajemen untuk misalnya: menambah mesin, akuisisi lahan pengembangan, perluasan pabrik dan sebagainya. Yang mana dari semua itu pastilah mengambil sisi dari laba bersih, karena laba bersih bisa dianggap sebagai komponen yang paling likuid untuk di gunakan.

Depresiasi / Amortisasi digunakan dalam perhitungan sebagai bagian dari perhitungan aset.  Karena depresiasi adalah bagian dari beban operasional non tunai, sehingga harus di tambahkan kedalam perhitungan laba.

Apakah Perusahaan Untung?


Contoh: Katakanlah si A dalam bulan ini memiliki laba bersih Rp 1000, tetapi bulan ini si A membeli sebuah printer seharga Rp 5000 sebagai aset untuk bekerja (capex). Disini si A memiliki (-) Rp 5000 yang harus dia penuhi dari pendanaan external jika ia ingin tetap untung Rp 1000 tanpa mengambil modal kerjanya.

Lho, harusnya uang beli printer masuk kedalam beban pengeluaran donk? Secara logika: Ya,  tapi perhitungan akutansi tidak seperti itu. Itulah mengapa Buffet memakai laba pemilik sebagai acuan dasar: Apakah perusahaan sebenarnya untung?.


Mari kita lihat laba pemilik dari Astra Graphia (ASGR). Sahamnya sudah pernah dibahas di: Astra Graphia: 10 saham layak beli saat ini


Sumber: Astra Graphia Financial Report
ASGR mencatat pertumbuhan laba pemilik dari tahun 2006 hingga 2014 secara rata-rata sebesar 90% dan secara compound sebesar 24.45%, jika kita mengambil tingkat suku bunga Bank Indonesia selama 30 tahun (non resiko) sebesar 9.02%, maka dengan hanya melihat laba pemilik, ASGR sudah unggul.

Jika kita memakai angka compound earning sebagai patokan dalam perhitungan nilai wajar saham, maka nilai wajar saham ASGR adalah Rp 3,491 per lembar atau terdiskon sebesar 79% dari harga hari ini di Rp 1,940 per lembar.

Dari sini sekaligus bisa dilihat di tabel bahwa ASGR pada tahun 2008 melakukan banyak ekspansi (pembukaan pabrik, lahan, akusisi dsb), namun disisi lain tetap bisa mempertahankan laba pemiliknya yang meningkat dari tahun sebelumnya. Dan hal ini menjadi alasan utama kami untuk masuk ke saham ini di akhir tahun lalu.

Ada contoh berikutnya dengan kasus berbeda di dalam portfolio kami, yaitu Pakuwon Jati (PWON). Valuasi bisa dilihat di Geliat cantik Pakuwon Jati.

Sumber: Pakuwon Jati Financial Report
* Data disetahunkan
Melihat sekilas, PWON bukanlah tipe perusahaan yang konsisten dengan pertumbuhan laba pemilik tetapi tipe perusahaan ekspansi sesuai kultur emiten properti. Disini terlihat bahwa dengan kegiatan ekspansi yang besar pada tahun-tahun yang acak, PWON masih mampu membukukan laba pemilik yang positif. Meskipun pada tahun 2008 laba sempat minus, namun di tahun-tahun berikutnya khususnya 2012 - 2014 laba pemilik PWON berada di angka positif bahkan meningkat signifikan.

Secara compound, laba pemilik PWON tumbuh sebesar 26.47% dan rata-rata pertumbuhan laba pemilik sebesar 17.56%, dengan menggunakan angka 26.47% maka nilai wajar PWON berada pada kisaran Rp 1,422 per saham atau terdiskon 187% dari harga saat ini. Jikalaupun kita gunakan angka pesimis 17%, maka nilai wajar saham PWON masih terdiskon 32%. Masih cukup baik mengingat laba bersih PWON yang meningkat sangat tinggi sejak pembenahan tahun 2008.

Berapa uang anda?

Laba pemilik merupakan komponen 'hidden treasure' untuk melihat secara lebih nyata keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Sayangnya banyak para investor yang masih terpaku pada laba bersih ataupun EBITDA dengan tidak menyentuh sama sekali laba pemilik.

Memang laba bersih dan EBITDA hingga saat ini masih di anggap sebagai perhitungan akutansi yang valid untuk memprediksi kinerja perusahaan, namun jangan lupa bahwa perusahaan kadangkala ber-ekspansi ria tanpa melihat kepentingan pemilik saham.


Berapa sebenarnya uang yang mengalir dari perusahaan ke pemilik saham, itulah point utama pemikian Warren Buffet sebelum beliau membeli saham.


So, jika setelah perhitungan laba pemilik ternyata bernilai negatif (padahal laba bersih positif) maka mudah disimpulkan bahwa perusahaan memakai dana talangan (bahasa halusnya: hutang) sebagai belanja modal, dimana uang cash yang di catat sebagai laba bersih langsung menguap untuk menutupi belanja modalnya. Anda harus berhati-hati jika perusahaan ini melakukan hal demikian lebih dari 3 periode.

Salam Investasi
Read more →

8 Mar 2015

Elnusa (ELSA) : Impression of Spinning Velocity

,
Elnusa (ELSA) merupakan anak perusahaan Pertamina yang bergerak dalam bidang pelayanan hulu dan hilir dalam bidang minyak dan gas bumi (Oil and Gas Upstream and Downstream Services).


Bisnis inti ELSA dibagi menjadi tiga:

  1. Servis Hulu Migas (upstream). Mencakup; 
    • Geoscience / seismic data, pada tahap ini terjadi kegiatan survey dan studi geologi untuk menentukan titik dimana saja terdapat kandungan minyak & gas, apakah benar terdapat kandungan minyak & gas dan juga kelayakan terhadap kualitas kandungan untuk dapat di explorasi lebih lanjut. 
    • Drilling. Setelah layak, kemudian dilakukan tahap drilling / pengeboran untuk mengambil minyak atau gas dari dalam bumi, tahap inilah yang menjadi kontribusi terbesar pendapatan ELSA di 2014 melalui electric wireline logging sebesar 544 milyar. 
      • Electric wireline logging sendiri adalah teknologi kabel elektrik yang digunakan operator minyak & gas untuk membaca data log yang berisi data tentang keadaan di dalam sumur (wellbore) a.l resistivitas, konduktivitas, tekanan dan dimensi sumur.
    • Oilfield Service and Maintenance, Servis ELSA dalam bidang pemeliharaan lapangan sumur migas.
  2. Servis Hilir Migas (downstream). Kegiatan ini dilakukan oleh dua anak perusahaan:
    • PT Elnusa Petrofin (EPN) untuk storage, distribusi dan marketing hasil minyak & gas setelah terjadi kegiatan eksplorasi pada point 1, kegiatan ini mencakup manajemen transportasi BBM dari pemasok ke pelanggan, termasuk ke SPBU-SPBU yang kita konsumsi sehari-hari. 
    • PT Elnusa Patra Ritel (EPR) yang mengurusi bagian perdagangan ritel BBM industri, namun EPR saat ini tidak beroperasi sehingga BBM industri diambil alih oleh EPN. 
  3. Servis pendukung Migas (support). Mencakup kegiatan;
    • Fabrikasi konstruksi (pipa ulir dan alat-alat konstruksi perminyakan) dan agen perdagangan melalui PT Elnusa Fabrikasi Konstruksi (EFK). 
    • Penyedia lisensi dan izin kegiatan hulu hilir migas melalui PT Patra Nusa Data (PND). Information & Technology (IT) melalui PT Sigma Cipta Utama (SCU). 
    • Dan terakhir jasa penyewaan kapal untuk operasional hulu migas melalui PT Elnusa Trans Samudra (ELTS).
Dengan bisnis sebanyak itu, ELSA menjadi satu-satunya perusahaan penyedia jasa minyak & gas hulu - hilir terlengkap untuk dalam negeri.

Struktur Saham ELSA

Sumber: Elnusa

Saham ELSA saat ini tidak ada yang istimewa, selain Pertamina yang dari dulu hingga kini tetap memegang 41,10%, dan menjadi 58,90% setelah masuknya dana pensiun, selebihnya adalah publik. Struktur saham ini berubah setelah keluarnya Benakat Integra (BIPI) sebesar 24,60%. Tidak ada yang perlu di cemaskan dari keluarnya BIPI, karena BIPI memiliki hutang 592 miliar yang harus dilunasi pada 2015, dan ini dapat membebani keuangan ELSA. 

Alasan utama keluarnya BIPI ialah ELSA tidak memberikan konstribusi signifikan setelah performa ELSA yang buruk pada 2011, padahal ELSA telah sukses dalam program turnaround-nya dan menghasilkan laba semenjak 2012.

BIPI membeli ELSA sejatinya adalah strategi mempermulus langkah BIPI untuk mendapatkan proyek oil drilling di Pendopo, Sumut pada 2010 dimana BIPI diharuskan melakukan joint operation dengan Pertamina sebagai penguasa konsesi. Mudah disimpukan bahwa BIPI hanya melakukan trading saham pada ELSA, beli di harga 330 lalu jual di harga 395 setelah proyek tersebut selesai. Toh, sisa dari saham Benakat dapat diserap publik yang membuat sahamnya semakin likuid.

Performa ELSA

Performa ELSA melambung sejak 2011, yang di sebut juga titik turnaround. Harap di catat bahwa kinerja ELSA anjlok drastis selama tahun 2010 ke 2011 akibat tidak performnya pengelolaan manajemen. Saat itu (2010 - 2011), ELSA melakukan beberapa kegagalan a.l: 
  1. Pembelian barang yang terlalu mahal untuk beberapa project Geodata Acquisition Land termasuk untuk proyek seismik Chevron di Papua, Dan juga pembelian Modular Rig yang disebut-sebut 'Over-investment' sedangkan beberapa proyeknya sendiri terkendala masalah izin lokal dan ganti rugi warga sehingga membebani dari sisi investasi dan depresiasi.
  2. Pembatalan beberapa project yang dilakukan secara joint operation dengan CGG Veritas, disini Elnusa melakukan kesalahan fatal dengan melakukan pembelian alat Seismic Acquisition Capacity padalah kontrak belum di tanda tangani. CGG Veritas adalah perusahaan asal Prancis yang menjadi perusahaan gabungan yang diberi nama PT Elnusa CGG Veritas. Saat ini PT Elnusa CGG Veritas sudah tidak beroperasi kembali.
  3. Tidak optimalnya operasional tiga buah drilling rig conventional pada 2010, dengan utilitas hanya 19% dan juga kerugian yang dialami oleh bisnis EPC pada PT Elnusa Fabrikasi Konstruksi.
  4. Pelepasan kepemilikan PT Elnusa Patra Ritel kepada Salamander Energy Group, sehingga pemasukan dari asset based lapangan migas dipastikan hilang, lagipula pemasukan jual beli itu tidak dilaporkan secara jelas.
  5. Kasus pembobolan deposito sebesar Rp. 161 milyar di Bank Mega, analisanya adalah terdapat fraud sistematis antara Elnusa dengan Bank Mega sehingga dana tersebut mengalir keluar. Kasus ini juga menggerus laba ELSA.
Dari beragam kasus tersebut, ELSA melakukan program turnaround yang pada intinya adalah: 
  1. Program perbaikan management keseluruhan, hampir 80% middle top management diganti.
  2. Restrukturisasi fokus divisi (Elnusa konstruksi hanya fokus pada pipa ulir), anak perusahaan dan bisnis model, termasuk review bisnis pada PT Elnusa CGG Veritas yang tidak menguntungkan.
  3. Perbaikan struktur biaya termasuk efisiensi biaya.
  4. Selective Marketing, terutama dalam bisnis penjualan BBM dan Marine Industri.
  5. Reformasi kebijakan belanja modal (Capex). Pembelian equipment hanya dilakukan ketika kontrak sudah di tanda tangani. Juga pengetatan pada proposal proyek baru.
Hasilnya, pada 2012 ELSA kembali menghasilkan laba yang terus meningkat, pendapatan yang bertumbuh  hingga akhir 2014 lalu.

Kinerja ELSA dalam 6 tahun terakhir. Sumber: Elnusa, Bloomberg
Dapat jelas terlihat titik turnaround pada 2011, sehingga menghasilkan angka yang positif pada 2012 dan hebatnya, ELSA terus bertumbuh secara signifikan hingga 2014 ini, padahal dengan kondisi harga minyak dunia yang masih anjlok.

Valuasi Saham

Saham ELSA saat ini diperdagangkan dengan harga Rp 585 per lembar saham. Dengan laba di akhir 2014 sebesar 412 milyar, ELSA memiliki PER sebesar 10.53x dan PBV 1.68x alias murah, bahkan sangat murah untuk perusahaan sekaliber ELSA.

ELSA tercatat rajin membagi dividen kepada investor, dengan angka terakhir sebesar Rp 16.31 per saham sehingga menghasilkan dividen payout ratio sebesar 28.86%. Dengan memasukkan rata-rata pertumbuhan laba sebesar 17% (angka rata-ratanya sendiri 58,91%),  BI rate 7.5% dan risk premium maka ELSA memiliki nilai wajar (fair value)sebesar Rp 1,097 per saham, atau saat ini sedang terdiskon 85% (MOS).

Sumber: Srimaya Investment

Kinerja Keuangan

Semenjak turnaround diberlakukan, ELSA berhasil melakukan refinancing pinjaman USD 113 juta yang digunakan untuk buyback Fix Rate Noted yang pernah diterbitkan pada 2011 lalu, gunanya untuk menekan suku bunga. Hasilnya pada 2014 ELSA memiliki cadangan kas yang cukup besar, sebesar Rp 1.06 trilyun disamping operational cash-flow yang lebih besar dari Capex.

Yang menariknya lagi ialah terdapat laba ditahan (retained earning) yang cukup besar, hampir Rp 1,4 trilyun. Angka sebesar ini masih cukup digunakan sebagai belanja modal dua periode. Atau lebih baik lagi jika di bagi ke investor dalam bentuk tambahan dividen.

Kinerja Keuangan ELSA

Potensi ELSA

Komposisi kontribusi pendapatan ELSA sendiri hingga saat ini masih di dominasi oleh bisnis hulu migas, terutama pada oilfield & drilling services. Ini menunjukkan bahwa ketika harga minyak dunia turun, perusahaan kontraktor usaha minyak & gas akan semakin melakukan maintenance pada sumur minyaknya (wellbore) untuk tetap menjaga produksi. 

Dan inilah yang menjadi fokus utama ELSA terhadap turunnya harga minyak dunia, pertama ialah dengan mengurangi kegiatan seismik, dimana kegiatan seismik banyak dilakukan di dalam pencarian sumur baru, buat apa mencari sumur baru sedangkan harga minyak masih anjlok? 

Kedua ialah fokus pada wellbore maintenance diantaranya jasa wireline logging, slickline service dan oil recovery. Ketiga ialah memaksimalkan horizontal drilling untuk meminimasi biaya, karena dengan teknik tersebut tidak diperlukan pengeboran sumur baru, melainkan menambah kapasitas dari sumur lama. 

Sumber: Elnusa
Sumber: Elnusa
Untuk 2015, ELSA telah mengantongi kontrak USD 520 juta, sedangkan Capex yang di anggarkan sebesar Rp 597 milyar. Ini menunjukkan bahwa bisnis migas masih meyakinkan. Energi dibutuhkan manusia selamanya dan minyak bumi & gas merupakan anugerah luar biasa dari Tuhan dimana kita tinggal menggali dan mengolahnya, tanpa harus membuat kembali. 

Tugas kita adalah menjaga agar kandungan alam itu cukup untuk generasi kita selanjutnya.

Salam Investasi
Read more →

3 Mar 2015

Look Insight: Sekilas saham Konstruksi

,
Saham Konstruksi adalah salah satu kelompok saham yang terus booming atau menjadi favorit masyarakat investor dalam 5 tahun terakhir, tidak heran kalau saham konstruksi hampir selalu menjadi pegangan di setiap portfolio teman-teman baik investor maupun trader. Ibarat batu akik, saham konstruksi sedang di buru dan menjadi primadona hingga saat ini, terutama bagi teman-teman trader karena tak jarang jika hoki saham konstruksi bisa tiba-tiba melonjak hingga 3% - 5% dalam sehari. Dan itu beberapa kali terjadi sejak 2013 lalu. 

Lalu bagaimana dengan teman-teman investor pencari harga murah? saham konstruksi justru belakangan ini banyak dihindari untuk long-term investment karena tidak sesuai dengan kaidah Buffet. What?? Simple, saham konstruksi mayoritas sudah very over-valued. Kriteria umum: punya Pbv di atas 3x dan PER di atas 20x, apalagi setelah utak atik dihitung dengan DCF margin of safety saham konstruksi sudah minus. alias mahal. 

So, apakah yang terjadi dengan saham konstruksi sehingga menjadi mahal? benarkah memang 'mahal'? apa bedanya saham konstruksi dengan saham property? mengapa PER keduanya bagai bumi dan langit?. Mari kita ikuti Look insight: sekilas saham konstruksi berikut.

Konstruksi

Emiten konstruksi di Indonesia kami bagi menjadi dua: pertama adalah konstruksi kelas A, terdiri dari 5 besar: WIKA, ADHI, PTPP, WSKT dan TOTL, kelas B terdiri dari ACST, NRCA, DGIK dan SSIA, selebihnya masuk kelas C. Sedangkan emiten-emiten lain seperti ASRI, MDLN, MTDL dll disebut emiten property & real estate. Emiten yang bergerak di bidang konstruksi di definisikan sebagai perusahaan pelaksana konstruksi dan bangunan yang bekerja sesuai kontrak kerjasama dengan pemilik proyek. Sedangkan emiten property & real estate adalah emiten yang memiliki lahan pengembangan untuk dikomersilkan sebagai hunian, perkantoran dan kawasan industri terpadu. Jadi disini jelas perbedaan antara emiten konstruksi dan property murni.

Emiten konstruksi berkembang sudah sangat lama, untuk menunjang REPELITA yang dicanangkan orde baru membuat pemerintah kala itu membentuk BUMN khusus sektor konstruksi untuk menggarap proyek-proyek pemerintah khususnya infrastruktur yang di komando oleh Departemen PU. Tersebutlah emiten-emiten konstruksi dengan akhiran Karya, dimulai dari Wijaya Karya, Adhi Karya, Waskita Karya, Hutama Karya, Nindya Karya dan Istaka Karya. Kemudian munculah Pembangunan Perumahan (PP) yang awalnya berfokus untuk menggarap proyek perumahan rakyat.

Setelah runtuhnya orde baru, emiten-emiten konstruksi tersebut menjadi bersaing, jika dulu mereka di beri proyek pada porsi masing-masing dengan monitoring pusat, maka setelah orde reformasi 1998, runtuhlah tembok itu. Para karya-karya plus PP tersebut saling bersaing untuk menjadi pemuncak. Karya yang tidak sanggup bertahan akan berguguran dengan sendirinya, dimulai dari pailitnya Istaka Karya pada 2011 yang tidak sanggup membayar hutangnya akibat korupsi jajaran direksinya dan Nindya Karya yang gaungnya sangat tipis terdengar, namun untungnya masih lolos dari pailit pada 2013.

Kinerja BUMN Konstruksi

Saat ini ada empat BUMN konstruksi yang bertahan dan mencatatkan namanya di bursa saham, WIKA, ADHI, PTPP dan WSKT. Mereka berempat di tambah TOTL sebagai satu-satunya pihak swasta dikenal di dunia konstruksi sebagai the big-five. The big-five hampir menguasai 70% pangsa pasar konstruksi besar di Indonesia. Dengan pengalaman waktu operasional yang lebih dari 40 tahun menyebabkan ke lima perusahaan itu sudah memiliki jaringan divisi di seluruh Indonesia, ini yang menyebabkan ke lima besar itu sulit dilampaui oleh perusahaan lain.

Yang unik dari perusahaan konstruksi ialah penilaian kinerjanya yang berbeda dari perusahaan pada umumnya. Jika pada perusahaan lain dapat dilihat dari pertumbuhan laba bersihnya, maka pada dunia konstruksi lebih menekankan pada pendapatan proyek. Sepertinya memang di dunia konstruksi, nilai project memegang peran utama untuk menaikkan pasar. Segera setelah perusahaan mendapatkan project (apalagi project besar, biasanya  di atas 500 Milyar), diundanglah wartawan ke kantor direksi untuk di publikasikan. Dan segera kita akan tahu di Kontan, Detik dsb bahwa baru saja ADHI mendapatkan project PLTU Kaltim atau PTPP dengan PLTGU Tanjung Uncang, WIKA untuk pembangunan pabrik Alumina atau WSKT dgn Jalan Tol di satu tempat.

Laba akan direview ketika proyek sedang berjalan dan jarang di publikasikan secara live. Jujur saja, jarang sekali dari perusahaan konstruksi tersebut yang melaporkan laba secara 'clean'. So, sepertinya publik pun sudah banyak tahu, sehingga laba tidak menjadi pemicu utama ketertarikan publik terhadap sahamnya. Yang banyak di ekspos tentu jenis project, klien dan nilai projectnya. Hidup mati perusahaan konstruksi adalah projectnya. 

Kinerja pendapatan proyek 5 besar perusahaan konstruksi (Milyar)
Dari grafik dapat dilihat dimana pendapatan keempat BUMN konstruksi meningkat secara signifikan secara gradual sejak 2005 dan peningkatan paling signfikan didapat oleh PTPP dan WSKT.

Tahun 2007 disebut juga tahun reformasi bagi BUMN konstruksi dimana mereka mulai merambah kedalam bisnis konstruksi EPC yang nyata-nyata sebelumnya bukan ranah mereka. Proyek EPC berbeda dengan proyek konstruksi sipil pada umumnya dimana pada proyek EPC, fase konstruksi dimulai dari fase Perencanaan (Engineering), Pengadaan barang & Jasa (Procurement) dan Konstruksi (Construction). Ini merupakan hal baru karena biasanya fase engineering selalu mereka berikan ke konsultan perencanaan, mereka tinggal membeli bahan baku (bulk material) untuk pekerjaan sipil dan langsung dikerjakan.

Pada proyek EPC, karena yang mereka bangun adalah proyek integrasi antara sipil, mekanikal, elektikal, instrument dan pipa, sehingga mereka tidak bisa memberikan begitu saja desain perencanaan kepada pihak lain, karena pekerjaannya saling terkait sejak dari permulaan (desain proses dan kalkulasi mekanikal). Llain halnya jika proyek tersebut merupakan join operation, contoh: WIKA dan Technip untuk proyek Gas Matindok Pertamina atau ADHI dan Sinohydro China untuk proyek PLTU Kaltim.

Proyek-proyek EPC antara lain proyek Migas, pembangkit listrik dan pabrik. Dari jenisnya saja terlihat bahwa proyek EPC memiliki prestise tersendiri dan tentunya memiliki harga yang tinggi. Hampir mayoritas proyek EPC nilainya mencapai trilyunan. Contoh terbaru adalah proyek 2014 WIKA untuk Gas Matindok Facilities milik Pertamina senilai 2,7 trilyun dan proyek ADHI untuk Petrokimia Gresik senilai 1.81 trilyun.

Nilai ini jelas jauh di atas perolehan proyek sipil semacam gedung, hunian, jalan layang, renovasi rumah sakit atau sekolah yang jarang nilainya lebih dari 300 milyar.

Proyek EPC memang belakangan ini menjadi primadona, bahkan menjadi mayoritas di dalam perolehan proyek 2014-2015. Sebagai contoh untuk ADHI sendiri, perolehan kontrak baru di 2014 dengan total 9,2 trilyun dimana 8.2 trilyunnya adalah dari proyek EPC, begitu pula dengan PTPP dengan PLTU Tanjung Uncang 125 MW yang baru rampung, pun dengan WSKT. Sedangkan WIKA, selain masih serius menggarap proyek pembangkit milik PLN, mereka juga serius dalam menggarap mega-project dari Saudi Arabia.

Sepanjang tahun 2007 hingga 2010, para emiten konstruksi tersebut sibuk membenahi ladang baru mereka. Baru pada 2010-2013 ketika divisi baru emiten-emiten ini yang bernama divisi EPC sudah 'nyetel' dan terus mendapatkan banyak project prestisius untuk Pembangkit Listrik dan Migas plus ditunjang dengan realisasi dari proyek-proyek swasta dan semakin membesarnya pendapatan project. Saham ke-empat emiten tersebut langsung terbang ke langit. Sejalan dengan predikat mereka yang 'naik kelas'.

Grafik pergerakan ke 5 saham konstruksi
Ada yang menarik dari grafik di atas sekaligus menjawab postingan Jhon Veter dan kawan-kawan dalam grup saham Junior_Trader, mengapa dalam grafik tersebut TOTL terlihat sangat ketinggalan? padahal jika kita cek laporan keuangannya, labanya cukup bagus dan naik signifikan. Jawabannya kembali keatas. Proyek!. TOTL tidak memiliki proyek yang masuk kategori mega-project atau prestisius yang bisa menaikkan kelas mereka. Proyek TOTL bisa dibilang itu-itu saja; gedung perkantoran, kawasan industri, hotel, jalan dan rumah sakit. Ya respon pasar pun biasa-biasa saja terhadap TOTL, ingat: respon pasar akan sesuai dengan fundamental emiten, cepat atau lambat.

Proyek jugalah yang menyebabkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap price earning ratio antara emiten konstruksi dan emiten property murni. WSKT memiliki PER 35.01x dengan pertumbuhan laba hanya 4.88% dibanding tahun 2013 lalu namun memiliki pendapatan 2014 sebesar 10 trilyun. Bandingkan dengan LPKR yang memiliki PER 19.24x, dengan pertumbuhan laba yang tinggi sebesar 17.21% dibanding tahun yang sama, namun dengan pendapatan 2014 'hanya' sebesar 6 trilyun.

LPKR, PWON, ASRI dkk merupakan emiten property murni yang mengandalkan pengembangan lahan sebagai recurring income dibanding mengerjakan mega proyek yang trilyunan, sehingga respon pasar terhadap emiten property lebih 'realistis' dibanding terhadap emiten konstruksi. Ditambah lagi efek dari suku bunga dan naik turunnya nilai property. Berbeda dengan konstruksi yang memiliki jangkauan lebih luas, bukan hanya mengerjakan proyek trilyunan, mereka juga mampu untuk memiliki recurring income dari hunian, hotel dan apartemen dengan memiliki divisi hotel dan properti sendiri.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa harapan pasar terhadap pencapaian proyek-proyek prestisius emiten konstruksi memang besar, sebesar nilai proyek dan resikonya. Inilah yang menyebabkan PER mereka menjadi begitu tinggi.

Harga Mahal

Saham-saham konstruksi papan atas di Indonesia terkenal dengan harganya yang mahal, beberapa teman investor mengeluhkan hal ini sehingga cenderung menghindar. Pbv yang di atas 3x, bahkan PER di atas 20x telah menjadi patron value investor bahwa harga tersebut mahal. Penulis pun mengakui bahwa saham-saham konstruksi papan atas memang mahal.

Seperti yang dijelaskan di atas, naiknya saham-saham tersebut dikarenakan respon pasar yang memang sangat meminati sektor ini, walaupun menurut penulis sendiri efek pasar terhadap konstruksi ini sudah berkategori over-whelming. Tapi, di samping 'naik kelas' itu tadi, saham-saham ini memang memiliki sisi safety yang mumpuni. Safety disini mengacu pada kontribusi pemerintah di dalam perolehan proyek. Mungkin anda masih mengingat sekitar pertengahan tahun 2013 ketika mobil menteri BUMN kala itu, Dahlan Iskan mogok di halaman gedung kementrian, tapi sejenak kemudian tiba-tiba datanglah Toyota Alphard yang berisi petinggi BUMN menjemput beliau. Di dalam Toyota Alphard itu duduk Kiswodharmawan, dirut ADHI beserta direktur operasional. Bisa dibayangkan betapa dekatnya antara BUMN konstruksi dengan kementeriannya.

Penulis sendiri pun alumni dari salah satu emiten BUMN tersebut dan mengakui bahwa sepak terjang emiten-emiten tersebut luar biasa dalam berebut proyek. Jika tender, ya lawannya itu-itu saja, paling Rekayasa Industri atau Tripatra yang menjadi saingan utama. Jika ada asing masuk maka hampir dipastikan bahwa perusahaan asing tersebut akan di gandeng menjadi joint operation. So, agaknya jalur ini akan tetap berlaku pada tahun-tahun berikutnya, sesuai dengan target presiden Jokowi yang menggenjot proyek infrastruktur darat dan laut.

Sebelum presiden Jokowi menargetkan pun, pertumbuhan laba rata-rata para emiten ini semenjak 2005 hingga 2014 berada di atas 20%, dan rata-rata pertumbuhan perolehan proyek di atas 19%. Sehingga dengan mengikuti target pemerintah maka perhitungan discounted cash flow kami optimis untuk menggunakan angka pertumbuhan 20% bukan 17% seperti metode konservatif. Jika memakai angka pertumbuhan 20%, maka WIKA akan memiliki margin of safety sebesar 16% atau masih berpotensi naik hingga Rp. 4200/saham. Catatan: dengan asumsi ini, hanya PTPP yang masih memiliki margin of safety negatif.

Kendala Konstruksi

Kendala dalam dunia konstruksi tentunya jika perekonomian Indonesia menurun, maka dipastikan proyek-proyek infrastruktur pun bakal menurun. Tetapi untuk menyiasati itu, hampir semua emiten di atas sudah memiliki recurring income pada masing-masing lini bisnisnya. WIKA dengan WTON-nya, WTON merupakan recurring income potensial karena tugas WTON adalah penyedia produk, bukan pencari proyek. Demikian juga ADHI dengan Grandhika, PTPP dengan PP Property dan WSKT dengan Waskita realty & Pre-cast.

Penulis berpendapat, bahwa sektor ini (sudah sering dibahas di blog ini, disini dan disini) adalah sektor yang menjadi salah satu pilihan di tahun 2015. Di banyak seminar-seminar saham pasti ada dua sektor yang selalu di bahas: konstruksi dan pelayaran. Dan di blog ini penulis bisa kasih bocoran bahwa sebaiknya salah satu dari lima emiten di atas layak mengisi portfolio anda untuk jangka menengah enam bulan hingga setahun kedepan. Tinggal anda curahkan waktu untuk membuat valuasi yang hati-hati sebelum memilih.    

Salam Investasi
Read more →