29 Apr 2015

What the differences between Day Trader and Trend Trader / Investor

,
Dear kawan investor,

Mungkin kita sudah pada kenyang di bekali perbedaan antara day trader atau yang identik ataupun lebih kurangnya disebut dengan spekulan dengan trend trader yang juga lebih kurang disebut investor (walaupun disebut 'trader' juga, tapi trend trader lebih mengutamakan pada kondisi pasar dan fundamental perusahaan ; trend bisnisnya lagi bagus, akan berkembang atau justru lagi turun)

Kita visualkan dengan gambar saja supaya lebih mendekati riil :)

Hohoho, anda termasuk yang mana?

Salam investasi
Read more →

27 Apr 2015

Arwana Citra Mulia (ARNA), Hidden opportunity?

,
Pada awal Oktober 2014 lalu saya dihubungi seorang teman yang tinggal di kawasan Batam, melalui email beliau mengatakan bahwa saham keramik akan turun dalam beberapa ke depan akibat kondisi pasanya yang lagi lesu. Setengah tidak percaya karena sesuai kebiasaan, saya tidak akan langsung membuka program broker dan meng-klik 'buy' atau 'sell' sebelum betul-betul melihat dengan pasti kondisi perusahaannya.

Hebatnya, omongannya benar adanya. Anda para kawan investor pasti sudah mengetahui bahwa minggu-minggu ini saham-saham emiten keramik mengalami downtrend dan banyak dihindari oleh kawan investor. Meanwhile, di pasar riil saya masih melihat proyek high-risk building (apartemen, perhotelan, kantor) dan tentunya cluster perumahan terus bermunculan baik itu di media maupun melihat langsung launching dan pamerannya yang ada di hampir SETIAP mall. Beberapa developer justru mencetak jumlah proyek di atas rata-ratanya. Masa iya mereka enggak pakai keramik? 

ARNA, salah satu saham di emiten keramik di BEI yang paling favorit, dan mungkin hanya satu-satunya di BEI yang kondisi sahamnya paling aktif, bila kita bandingkan dengan TOTO, AMFG, MLIA dsb. So, kita akan coba melihat bagaimana valuasi ARNA di tengah kejatuhan sahamnya apakah ini menjadi kesempatan atau tidak.


ARNA sebetulnya pemain lama di bisnis keramik lantai, sejak 1995 ARNA tidak punya bisnis lain selain keramik, jika TOTO punya bisnis kloset dan MLIA punya Mulia hotel dan Mulia property, maka ARNA hanya fokus di satu bisnis: keramik lantai. Sayangnya tidak semua dari kita mengenal produknya dengan baik, jika anda suka keliling di panglima polim, pasar rumput atau klender di Jakarta maka anda akan lebih sering mengenal merek Roman, Asia Tile, Mulia, Platinum atau Milan. Jarang sekali merek Arwana hadir di etalase terdepan toko keramik. Ini disebabkan, pasar keramik Arwana lebih mengarah ke luar Jakarta, tepatnya di pulau Jawa dan Sumatera. Arwana banyak ditemukan di pasar Umbul Harjo Jogjakarta, Surabaya, Gresik, Palembang dsb dengan sasaran kelas menengah kebawah atau lebih populer dengan mid-low.

Mungkin inilah yang menyebabkan pendapatan ARNA di tahun ini yang sebesar 1,4 trilyun hanya seperlimanya dari pendapatan MLIA dan hanya sepertiga lebih dari pendapatan AMFG alias terkecil diantara para emiten keramik lantai. Area kelas mid-low seperti ini terkenal dengan nama area killing field dimana apabila terjadi goncangan sedikit saja pada kinerjanya atau ada pergeseran pada laju bisnisnya, maka akan mengganggu kestabilan seluruh sendi perusahaan dan tentunya bisa membinasakan.

Yup, karena di dalam kelas mid-low, perusahaan biasanya tidak memiliki margin yang cukup untuk setidaknya disimpan menjadi cash, kecuali memperbesar volume penjualan dan produksi. Strategi ini membutuhkan keterampilan luar biasa dan yang terpenting adalah disiplin dari para direksi dan management untuk selalu melakukan saving dan cost management dalam kategori excellent.

Contoh terbaik bagi pemain mid-low adalah Avon, pemain kosmetik kelas mid-low era 90's, dimana dengan kualitas yang bagus kosmetik Avon dijual dengan harga yang murah padahal penjualan dilakukan melalui direct selling dimana harga bisa menjadi lebih tinggi, dan karena margin yang tipis, lama-kelamaan merek Avon pun lenyap dari pasaran.

Disiplin Keuangan


Untungnya kedisiplinan ini betul-betul dilakukan oleh top management ARNA, tercatat mereka selalu memiliki free cash flow positif dalam 5 tahun terakhir, bahkan ketika mereka sedang membangun pabrik baru dimana seringkali Capex menjadi lebih besar dari kas operasi. Bukan hanya free cash flow dan current ratio yang selalu dijaga, ARNA selalu menjaga Net Working Capital bahkan Net Net Working Capital (NNWC) di angka positif, ini karena keberhasilan management ARNA dalam mengelola piutang dan hutangnya. ARNA hanya tercatat memiliki pinjaman ke bank sebagai utang usaha dan ke pihak ketiga dalam hal pembelian mesin dan komponen, artinya utang ini adalah utang produktif dengan jumlah total 367 milyar. Sebaliknya piutang secara besar diberlakukan kepada distributor PT Catur Sentosa Adiprana yang terkenal dengan toko retailnya Mitra 10 dengan total piutang 402 milyar.

Masih belum cukup sampai disitu, ARNA tercatat memiliki laba ditahan (retained earning) sebesar 846 milyar yang menjadi tambahan ekuitas. Laba ini sebenarnya adalah tabungan (saving) para direksi ARNA, karena jika diteliti lagi angka ini selalu bertambah setiap tahunnya. sebagai perbandingan periode kuartal 1 2014 lalu, laba ditahan ARNA tercatat 807 milyar. Kesimpulannya, dengan konsep extra-disiplin inilah ARNA bisa memiliki angka Altman  Z-Score sebesar 6.58, alias sangat aman dengan rating AAA.


Namun, besarnya laba ditahan ini bisa diindikasikan bahwa perusahaan cukup strictly dalam perputaran usahanya. ROI tercatat sebesar 1,74x dimana setiap 100 rupiah uang yang di investasikan menghasilkan keuntungan 174 rupiah, ini adalah angka yang sangat besar. Sejatinya ARNA sangat mampu untuk memperbesar usahanya dan tentunya menuju jenjang market yang lebih tinggi. Ini lebih kepada usaha untuk mengamankan diri dari killing field itu tadi, meskipun ARNA memiliki produk premium bernama UNO, tetap saja di kota besar kita belum melihat produk ARNA di etalase depan.

Valuasi Saham

Dengan ekuitas 952 milyar dan jumlah saham beredar sebesar 7,34 milyar, ARNA memiliki nilai buku sebesar 129,70 rupiah per saham atau diperdagangkan dengan PBV 4.13x dengan harga sahamnya saat ini di kisaran 536 rupiah per saham. Angka ini jelas mahal karena anda sebagai investor diharuskan membayar 4.13 kali nilai bukunya. Dengan laba bersih sebesar 39 miliar di kuartal 1 2015, laba bersih ARNA anjlok 48% dari periode yang sama di 2014 sehingga price earning ratio (PER) menjadi 99x. Dengan asumsi laju laba bersih tetap sama per kuartal, maka prediksi PER ARNA di akhir 2015 ini menjadi 24.84x dari EPSnya. Wow, angka ini masih kemahalan.

Mengapa harga saham ARNA mahal (bahkan ketika harga sahamnya anjlok) hingga saat ini belum bisa saya pahami, karena sejujurnya meskipun keuangan ARNA berkategori excellent namun ini lebih dikarenakan kemampuan manajemen yang hebat dalam mengelola keuangan, bukan karena produk ARNA yang mendunia ataupun menjadi merek ikon lantai keramik.

Turunnya Saham

Turunnya saham ARNA jelas dikarenakan laporan keuangan yang dirilis mencerminkan turunnya pendapatan dan tentunya laba bersih. Pendapatan turun 12%, laba operasi turun 48% sedangkan beban penjualan naik 40%.

Dari sisi pendapatan, pertama, seperti yang saya tulis di atas bahwa dengan segmen konsumsi kelas mid-low tanpa memperkuat kelas premium akan mempersempit ruang gerak bisnis, dan konsumen kelas mid-low adalah konsumen yang teramat fragile terhadap setiap perubahan kebijakan pemerintah. Kenaikan harga bahan pokok akibat naiknya bbm pada waktu lalu adalah inti pokok mengapa masyarakat kelas mid-low akan langsung menunda konsumsi property. Konsumsi property bukan hanya beli atau bangun rumah baru tapi juga renovasi, yang semuanya berhubungan dengan keramik.

Kedua, masih berhubungan dengan daya beli masyarakat dimana melonjaknya pembangunan property (rumah dan apartemen) oleh developer sejak era 2000's ternyata sudah menyentuh level fed-up (jenuh) pada saat ini dikarenakan harga property sudah naik gila-gilaan selama satu dekade. Market pembeli property terbesar di Indonesia adalah kelas mid-low, sedangkan dengan harga property yang sekarang ini ditambah naiknya harga bahan pokok membuat kelas mid-low lebih mementingkan perut ketimbang beli rumah atau renovasi.

Untuk developer sekelas BSDE, APLN, PWON dsb penurunan daya beli mid-low tidak berpengaruh signifikan, sebab pasar mereka mayoritas kelas mid-up yang lebih berinvestasi ketimbang jadi rumah tinggal, lagipula emiten-emiten itu memiliki recurring income yang besar dari mall. Berbeda dengan produsen keramik, apalagi dengan margin tipis, merupakan pihak yang paling rentan terkena dampaknya. Margin besar sasaran mid-up seperti MLIA pun kembang-kempis hingga merugi.

Ketiga, produksi keramik nasional mencapai 550 juta m2 per tahun sedangkan kebutuhan keramik nasional 'hanya' 500 juta m2 per tahun, sehingga terjadi over-supply (saya masih meragukan data ini, karena 550 juta bisa jadi adalah angka installed capacity, bukan produksi). Ini belum ditambah dengan masuknya produsen keramik Tiongkok akibat pasar property Tiongkok yang sedang lesu. Dari impor saja, angkanya mencapai 15% dari total kebutuhan, sehingga jalan yang paling masuk akal bagi ARNA ialah meningkatkan 'kelas'nya untuk mulai ekspansi / ekspor ke negara lain.

Operating Margin

Jika anda membaca artikel saya sebelumnya, maka anda akan paham bagaimana teman saya yang saya ceritakan di awal bisa memprediksi saham emiten keramik akan anjlok. Perhatikan grafik ini:

Sumber: Laporan Tahunan & Keuangan PT Arwana Citramulia, Tbk (diolah)
Dari tabel diatas, laju bisnis ARNA sudah bisa diprediksi tengah mengalami titik jenuh, dua lingkaran merah mengindikasikan hal itu. Entah karena daya beli masyarakat menurun ataukah over-capacity, tapi yang pasti ARNA memiliki titik rawan dalam sisi market. Dan cara yang paling cocok bagi ARNA ialah semakin meningkatkan kapasitas produksi dengan target ekspor. Jika memasuki kelas premium dengan iklan yang bagus pun, Arwana masih membutuhkan waktu untuk menggeser Roman dan Mulia, so ekspor merupakan langkah yang tepat. Dan saya rasa, melihat sisi keuangan, ARNA sepertinya mempersiapkan untuk hal itu.

Kesimpulan, saya masih menyarankan untuk wait and see. Lebih dikarenakan; Pertama, harga saham ARNA masih kemahalan, meskipun margin of safety-nya sebesar 45%, tapi cukup sayang untuk membeli dengan 4.1 kali nilai bukunya. Kedua, kita masih harus perhatikan action perusahaan seperti apa, dan ini bisa di jelaskan setelah laporan keuangan kuartal II atau kuartal III nanti. Jadi, sekarang lebih baik untuk bersabar, toh IHSG sedang turun saat ini sehingga banyak saham blue-chip di pasar yang menjadi lebih menarik.

Salam investasi
Penulis

Read more →

24 Apr 2015

Operating Margin, melihat laju bisnis perusahaan secara nyata

,
Membaca beberapa annual letter Warren Buffet yang dia tulis, terdapat beberapa cuplikan tulisan dimana Warren Buffet mengakui kesalahannya dalam berinvestasi (walaupun toh kesalahan itu pada akhirnya tertutupi). Salah satunya adalah pembelian Berkshire Hathaway itu sendiri, sebuah perusahaan tekstil yang cukup kuat dan besar pada masanya, dan juga Waumbec Mills, juga perusahaan tekstil. Dengan tertatih-tatih, Buffet mencoba untuk mempertahankan Berkshire selama lebih dari 20 tahun dan pada akhirnya Berkshire harus menutup seluruh pabrik-pabrik tekstil yang dia miliki dan merubah total lini bisnis menjadi investment holding company sebagai kendaraan investasinya.

Mengapa Warren Buffet yang memiliki prinsip kuat dalam value investing ternyata salah dalam berinvestasi? Pertama, ketika pertama kali membeli Berkshire Hathaway dia belum bersama Charlie Munger. Kedua, Buffet tidaklah salah, saham yang dia beli adalah benar. Berkshire Hathaway dan Waumbec Mills adalah perusahaan yang pasti bagus, labanya tidak pernah minus, sedia uang kas, hutang kecil, termasuk leader market pada masa itu (1940's - 1960's) dan tentunya harganya di bawah nilai intrinsik. Berkshire Hathaway dibeli tahun 1962 pada harga US$ 7.5 per saham dari total nilai buku US$ 20.2 (PBV sebesar 0.37x).

Selain daripada yang ditulis Buffet bahwa kesalahannya adalah karena faktor emosi terhadap Stanton (CEO sebelumnya - emosi terhadap seseorang membawa kerugian hingga menutup semua aset pabrik? terus terang saya meragukan hal ini), kesalahan terbesarnya ialah Buffet tidak memperhitungkan masa depan industri tekstil di masa itu yang sedang bergerak ke wilayah selatan Amerika sedangkan Berkshire dan Waumbec Mills berada di wilayah utara Amerika. Buffet tidak (atau lupa?) membaca tren penurunan pada pendapatan bisnis, laba operasional dan yang penting ialah tren bisnis yang sedang dialami oleh perusahaan. Entah karena terlanjur tidak jadi menjual sahamnya ke Stanton akibat emosional (lama banget!) atukah memang Buffet berpikir bahwa industri textile di wilayah utara masih bisa terselamatkan, yang pasti Buffet justru menambah posisinya hingga menjadi pemegang saham pengendali, dan hingga saat ini

Beruntung di Indonesia, porsi bisnis secara natural sudah terbagi di dalam kotak wilayah, kecuali komoditas (perkebunan, pertambangan dan energi) semua proses bisnis bermuara di Pulau Jawa sehingga manuver bisnis tidak akan bergerak semaunya. Dengan demikian tantangan bagi kebanyakan bisnis di Indonesia adalah : Pertama, tantangan external, yaitu melemahnya rupiah, kebijakan pemerintah, menurunnya daya beli, persaingan bisnis dsb, yang sebetulnya lebih bisa diprediksi dan bisa di antisipasi oleh perusahaan. 

Mengapa demikian? Indonesia ini adalah negara infotainment, bisnistainment, semua perusahaan yang bertitel Tbk adalah perusahaan yang memang betul-betul kelas kakap merah, bahkan kelas kakap di Indonesia pun tidak semua bertitel Tbk, artinya jaringan informasi yang dimiliki sangat sangat luas. Kalau calon Kapolri gagal bisa menjadi Wakapolri dengan prediksi di 'belakang', kenapa kebijakan pemerintah tidak?. Mindfucker insider selalu ada, dan pasti ada. 

Tantangan kedua adalah tantangan dari internal (manajemen). Indonesia bukan negara persaingan murni seperti di Amerika, sehingga perusahaan lebih mudah mapan jika di dukung oleh manajemen yang mumpuni, track-record yang bagus dan selalu menjaga nama baik. Lebih sederhana lagi, perusahaan di Indonesia tidak perlu melakukan hal aneh-aneh dan ini-itu apalagi bersinggungan dengan politik (walaupun back-up politik dan faktor kedekatan tak bisa dipungkiri dimanapun pasti ada). Namun cukup kerja saja dan jaga performa. Bukti nyata? UNVR, BBRI, ICBP..bahkan 20 tahun lagi saya bisa membayangkan bahwa anak saya sedang menikmati indomie kuah rebus di sore hari, dan bershampo sunsilk..kurang apalagi?

So, dengan demikian, perusahaan di Indonesia cenderung lebih bisa di prediksi tren bisnisnya (kecuali komoditas tentunya), apakah perusahaan start-up, growing, established, established- growing, fed-up atau downfall. Salah satu cara yang termudah untuk melihat itu semua adalah melihat trailing growth.

Trailing Growth adalah perhitungan laju pertumbuhan perusahaan. Bisa dihitung dari ekuitas, pendapatan, laba bersih, laba sebelum pajak, EPS ataupun arus kas, tergantung kebutuhannya. Lalu untuk para investor, apa yang paling dilihat? Jawabannya adalah semuanya. Tapi, walaupun semuanya memang harus kita lihat, namun yang paling mendekati riil bisnis adalah dengan melihat laju pertumbuhan operasional dan juga pendapatan, dan gabungan keduanya disebut Operating Margin.

Sehingga Operating Margin adalah cara melihat laju pertumbuhan perusahaan secara lebih nyata melalui kegiatan operasional, baik pertumbuhan laba operasi maupun pendapatannya. 

Rumus:
Operating Margin = Operating Income / Net Sales (i)

Untuk menghitung laju percepatan dari operating margin dari satu waktu ke waktu berikutnya, kita menggunakan asumsi dasar fisika dimana Δ a (laju) = 

Subsitute rumus (i) ke (ii), sehingga di dapat:

 Δ Operating Margin =  Operating Income [t+1] - Operating Income [t] 

                                                       Net sales [t+1] - Net sales [t]

*Saya suka menggunakan ini karena esensi utama dari riil bisnis adalah bagaimana perusahaan bisa menjual barangnya dan mendapatkan laba dari hasil penjualan itu. So simple.


Sesuai dengan cara kita dalam menghitung nilai intrinsik (silahkan baca di : cara menghitung harga wajar saham), dimana laba telah menjadi variable aktif terhadap nilai sebenarnya dari suatu saham, dalam hal ini EPS. Namun yang kita gunakan disini adalah laba operasi karena menggambarkan laba sebenarnya yang diperoleh perusahaan dari aktifitas operasional.

Sebagai contoh kita akan gunakan data dari ACES, karena emiten retail cenderung memiliki data yang mudah dibaca arah lajunya dan jarang sekali terjadi fluktuatif dengan gap besar seperti komoditas.


Sumber: laporan keuangan kuartal 4, 2014 Ace Hardware, Tbk (diolah) 
Dari tabel di atas, secara sekilas kita melihat bahwa ACES selalu memiliki penjualan dan laba yang selalu meningkat, namun setelah kita lihat tren bisnisnya melalui operating margin bisa disimpulkan secara compounded bahwa operating margin ACES bernilai negatif.

Untuk melihat lebih jelas bagaimana trend tersebut terjadi, berikut grafiknya:

Sumber Srimaya Investment 2015
Secara year on year, ACES merupakan perusahaan yang stabil, kuat dalam sisi keuangan namun sedang mengalami tren menurun yang di sebabkan oleh:
  1. Perusahaan tengah dalam fase fed-up atau jenuh, ini biasa dialami perusahaan yang sedang dalam fase established atau mapan.
  2. Berkurangnya inovasi produk dan kegiatan ekspansi untuk lebih memikat konsumen.
  3. Perusahaan tidak bisa mengendalikan biaya penjualan dan beban usaha yang meningkat melalui penyesuaian harga dan peningkatan konsumen.
  4. Adanya pesaing baru (dalam hal ini ACES harus berhadapan dengan IKEA) yang memiliki inovasi.
Kami rasa, ACES melalui tahap growing pada 2000 - 2007 dan sudah mencapai titik tertingginya (established) pada 2008 - 2012 sehingga cukup riskan untuk saat ini bagi sahamnya jika laba bersihnya terpeleset sedikit saja. Saran kami, ACES harus segera membenahi diri dari sisi inovasi produk, membuat produk yang lebih menarik, berdaya-guna dan dengan harga yang lebih terjangkau (menuju tahap establish - growing) ketimbang mengadakan diskon besar-besaran dengan produk yang sama. Sekedar catatan, jika diperhatikan ACES lebih sering mengadakan diskon pada medio 2014 hingga saat ini, dan anda pun pasti bisa menebak alasannya.

So, ketika anda melihat laju pergerakan operating margin, langsung anda bisa melihat bagaimana sebenarnya trend bisnis sedang terjadi. Jika anda hanya melihat grafik penjualan, laba dan ekuitas maka anda akan berhadapan dengan angka-angka yang begitu cantik nan menawan, namun di balik itu ada sekam yang disembunyikan oleh sang pemilik perusahaan tentang posisi bisnisnya. 

Menentukan laju bisnis perusahaan biasanya digunakan dalam tahap akhir setelah penentuan emiten dan valuasi saham sudah dilakukan. Semoga mencerahkan

Salam Investasi
Read more →

23 Apr 2015

Download Prospektus Awal PT PP Property

,
Dear kawan investor,

Seperti diketahui bahwa salah satu perusahaan BUMN bidang konstruksi yang sedang tenar, PTPP akan menggelar IPO anak usaha dalam waktu dekat ini. Yes, PT PP Property yang notabene anak perusahaan PTPP akan segera IPO. Bagi anda yang membutuhkan prospektus awalnya, silahkan download di link berikut ini:


Jadwal IPO sendiri akan dilakukan pada 19 Mei 2015 dengan sebelumnya melakukan penawaran umum pada 11 - 13 Mei 2015, so masih cukup waktu bagi kita untuk mem-valuasi sahamnya yang rencana akan di terbitkan pada kisaran harga Rp 185 - Rp 320 per saham. Tunggu postingan kami selanjutnya

Salam Investasi

Read more →

18 Apr 2015

Pakuwon Jati (PWON) - Semakin Menggeliat

,
Ketika laporan keuangan akhir tahun 2014 emiten dipublikasikan, hal yang menarik perhatian kami tentunya adalah saham Pakuwon Jati (PWON), karena PWON adalah satu dari lima belas perusahaan di dalam portfolio kami yang memiliki kinerja dan keuangan yang solid.

Dan tentunya karena PWON sudah memberikan imbal hasil diatas kenaikan IHSG kepada kami, sehingga saat ini saatnya bagi kami untuk melakukan review apakah PWON masih layak untuk investasi jangka panjang, atau setidaknya jangka menengah hingga satu tahun kedepan.


PWON mencatat kenaikan pendapatan 27,8% dari pendapatan 2013 dan kenaikan laba yang sangat luar biasa sebesar 121,8% dari laba bersih tahun 2013 dengan komposisi pendapatan adalah sbb:


Real estate tetap menempati teratas dengan komposisi 57% terhadap keseluruhan, kemudian pusat perkantoran dan perbelanjaan dengan 39.22%. Dari kenaikan pendapatan sebenarnya tidak berbeda jauh dengan tahun lalu, dimana Kota Kasablanka, Gandaria City di Jakarta dan Superblok di Surabaya masih sebagai favorit dan icon dari Pakuwon. Dan tentunya karena kami, teman-teman dan keluarga (masih) paling sering membuat janjian ketemu ya di dua mall itu di Jakarta.

Lalu apa yang membuat laba PWON naik begitu drastis? tak lain ialah keuntungan yang di dapat PWON setelah mengakuisisi Pakuwon Permai (bekas anak perusahaan dan dibeli kembali) dengan total kepemilikan saat ini menjadi 67.13% dan menambah kepemilikan di Centrum Utama Prima (CUP) menjadi 70%. Dari sini PWON mendapat laba segar sebesar 988 Milyar yang tercatat sebagai keuntungan pembelian saham dengan diskon. Apa itu?

Sekalian sedikit penjelasan, bahwa keuntungan pembelian saham dengan diskon adalah keuntungan membeli perusahaan (akuisisi, buyback dsb) di bawah nilai asetnya. Filosofinya sama persis dengan kami, para pemburu saham perusahaan bagus dengan harga wajar dan (sukur-sukur) diskon.

Apa untungnya Pakuwon Permai?

Pakuwon Permai saham sebelumnya dimiliki oleh private company asing EEMF Asian Development dan Pakuwon Dharma (juga anak usaha Pakuwon Group) alias bentukan bersama antara Pakuwon Group dengan EEMF. So, tindakan Pakuwon Jati ini sebenarnya adalah 'buyback' sehingga Pakuwon Permai resmi 100% menjadi milik Pakuwon Group.

Lalu apa untungnya? Pernah dengar Blok M Plaza? Kebangetan kalau anda tinggal di Jakarta tapi tidak tahu Blok M Plaza, atau Supemal Pakuwon Indah di Surabaya yang tenar dengan SSCCnya alias tempat konser. Kedua-duanya di kelola oleh Pakuwon Permai ini, sehingga dengan kepemilikan penuh maka dua tempat tadi seutuhnya menjadi tambahan recurring income alias pendapatan berulang untuk PWON. Itu baru sisi recurring income, belum jika membicarakan development income alias pendapatan dari proyek, yang bakal di dapat dari pembangunan tiga menara kondominium plus dua menara yang jadi satu; Orchard, Tanglin, Ritz, Ibis dan Pullman

Secara fisik transaksi ini jelas menguntungkan, namun PWON membeli Pakuwon Permai menggunakan penerbitan surat hutang sebesar 2.3 trilyun yang artinya liabilitas PWON meningkat 50%, tetapi hutang tersebut di imbangi dengan kenaikan ekuitas yang juga naik lebih besar, sehingga DER PWON justru menurun dari 0.59x menjadi 0.56x. Disinilah kita harus cermat mengamati apakah hutang yang muncul itu memberatkan, ataukah justru memberi nilai tambah.

Be Cheaper

Terakhir di Januari '15 saya bicara ke teman saya bahwa harga PWON masih kemahalan, PER masih di kisaran 18x dan PBV ada di kisaran 4.4x. Dibanding yang lain, PWON termasuk premium walaupun di saat itu akhirnya saya beli juga (based on true story: Charlie Munger). Karena ketika itu saya membayangkan andaikan Munger ada di Indonesia dan di melihat database PWON, maka saya yakin pasti dia pun ikut membeli.

Tapi dengan peningkatan laba dan book value yang signifikan, PWON saat ini memiliki PER hanya sebesar 9.85x (dibawah 10!!) dan PBV sebesar 2.91x. Pasti dari anda mengira bahwa harga PWON menjadi murah karena laba yang naik akibat akuisisi. Let see, mari kita hilangkan angka 988 milyar, dan kita akan mendapatkan bahwa laba PWON menjadi sebesar 1.5 trilyun, tumbuh 34% dari tahun lalu, lantas berapa PER? PER tercatat sebesar 15.79x,

Murahkah? Jika pada PER 18x saya masih yakin bahwa Charlie Munger akan membeli, bagaimana dengan PER 15x, atau bahkan 9.85x?

Posisi Keuangan

Silahkan anda download laporan keuangannya, public announcement dari websitenya (jangan malas!). Maka anda akan mendapatkan point penting:
  1. Current Ratio (Current Asset / Current Liabilities) = 1,41x, artinya aset lancar masih 140% lebih besar dari kewajiban lancarnya. Kategori: AAA
  2. Free Cash Flow (Operasional Net Cash - Capex) = 1,2 trilyun, positif. Kategori: AA
  3. Net Working Capital (Current Asset - Current Liabilities) = 1,5 trilyun, positif dan 2x dari belanja modal. Kategori: AA 
  4. Return on Investment (ROI) (Net Income /  Operasional Net Cash) = 1.26x, artinya setiap beroperasi 100 rupiah, PWON menghasilkan penjualan 226 rupiah dengan laba bersih 126 rupiah. Kategori: AAA
  5. Owner Earning (di bahas di : Laba Pemilik)= 2,2 trilyun, meningkat 171% dari 2013. Kategori: AAA
Dengan rata-rata kategori AA  dari 5 point di atas, PWON tengah mengalami masa-masa stabil dan meningkat. Yang saya suka adalah ketika mencari berita tentang PWON di internet, maka cukup masuk ke websitenya dan anda akan temukan apa yang anda cari. 

Finally, saya rasa, kami tetap akan terus keep PWON dan berencana bahwa lebih baik untuk menempatkan 40% dana tambahan yang kami punya untuk menambah posisi portfolio kami di PWON.

Salam Investasi
Read more →