24 Nov 2014

Belajar tentang Crude Palm Oil (CPO)

,
Crude Palm Oil (CPO) atau dalam bahasa Indonesia berarti Minyak Kelapa Sawit adalah suatu komoditas yang unik di Indonesia, unik karena kelapa sawit saat ini merupakan komoditas andalan dimana Indonesia menjadi produsen terbesar kelapa sawit. Tetapi ironisnya justru Indonesia bukan dalam posisi mengendalikan harga sawit dunia melainkan harga sawit naik turun mengikuti harga dunia yang memakai harga Ringgit Malaysia atau bahkan harga di Rotterdam, Belanda.

Saat ini Indonesia merupakan produsen terbesar kelapa sawit di dunia dengan menguasai lebih dari  50% pasar.
Sumber: Indexmundi 2014 (diolah)


Kelapa Sawit sendiri merupakan produk komoditas andalan Indonesia sepanjang 2002-2013, menyalip kelapa sebagai komoditas utama dengan pertumbuhan rata-rata 13.4% pertahun. Peningkatan terbesar adalah pada tahun 2001 dan 2002 yang disebut juga dengan palm booming karena meningkat sebesar 42%. pertahun

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Tentang Sawit

Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) bukanlah tanaman asli Indonesia melainkan masuk ke Indonesia di bawa oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Pada tahun 1911 di mulailah budidaya kelapa sawit di Deli (pantai timur Sumatera) dan di Aceh oleh seorang Belgia bernama Adrien Hallet. Bertepatan terjadinya revolusi industri di Eropa, dimana banyak sekali membutuhkan asupan minyak nabati untuk menjalankan mesin-mesin dan juga keperluan memasak dengan cara menggoreng. Mungkin karena di bawa dari Belanda inilah maka Belanda berhak ikut menentukan harga sawit dunia. Entahlah penyebab pastinya.

Kelapa sawit merupakan bahan baku utama pembuat minyak goreng, margarin, sabun, kosmetik bahkan kabel hingga industri farmasi, ini di sebabkan oleh keunggulan sifatnya yang tahan terhadap oksidasi dengan tekanan tinggi dan mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya. Bukan hanya itu saja, yang paling menarik adalah tidak ada sampah di dalam proses produksi minyak sawit. Sisa produksinya di antaranya serat, cangkang, batang, tandan dan pelepah dapat diolah menjadi kompos dan yang sudah di gunakan sebagai sumber energi terbarukan, yaitu Biodiesel. 


Dari beragam keunggulan itulah mengapa sawit menjadi komoditas perkebunan yang paling menjanjikan di seluruh dunia. Terutama negara dengan konsumsi minyak nabati terbesar, yaitu Cina dan India (dua negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia).

Proses Bisnis dan Produksi Minyak Sawit

Secara sederhana, proses bisnis di bagi menjadi 2, yaitu proses hulu dimana proses bisnis meliputi penanaman bibit unggul kemudian menjadi Tandan Buah Segar (TBS). Dan proses hilir yang meliputi pengolahan TBS menjadi minyak kelapa sawit dan juga turunannya seperti minyak goreng, kosmetik dll.


Proses produksi kelapa sawit menjadi CPO dapat dilihat pada gambar diatas. Dari proses produksi, setiap 1 ton TBS rata-rata menghasilkan 140 - 220 kg CPO (sekitar 22.5% dari setiap 100% TBS) yang siap di distribusi ke pabrik pengolahan lanjutan ataupun siap ekspor. Dari total kebutuhan, hanya 10 juta ton atau sekitar 30% dari total produksi yang dimanfaatkan di dalam negeri, sedangkan sisanya di ekspor ke luar negeri, sehingga potensi Indonesia di dalam mengendalikan harga sawit dunia begitu besar.
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Besaran produksi minyak dan lemak dunia yang mencapai 236 juta ton ditopang oleh produksi minyak kelapa sawit. Dalam presentasi Thomas Mielke, Analis Oilworld yang berjudul "Oil World Supply and Demand Forecast for the year 2020" memperkirakan bahwa hasil panen minyak kelapa sawit atau CPO sebesar 78 juta ton. Bayangkan jika 50% kebutuhannya di supply dari Indonesia, apakah Indonesia tidak kaya?. Lalu bagaimana kesiapan Indonesia?

Kondisi Kelapa Sawit di Indonesia

Hitung-hitungan kasar, jika di tahun 2020 kebutuhan dunia yang di topang dari Indonesia sebesar 39 juta ton CPO maka dibutuhkan sekitar 39 juta : 22.5% = 174 juta ton TBS. Jika 1 ha lahan sawit menghasilkan maksimal saat ini sebesar 6 ton/ha TBS, maka di 2020 dibutuhkan sedikitnya 29 juta hektar lahan sawit. Saat ini Indonesia baru memiliki 10,2 juta hektar lahan sawit yang tersebar di beberapa provinsi dan potensi terbesar ada pada provinsi Riau.

Sumber: Badan Pusat Statistik
Jika angka Thomas Mielke tadi benar, artinya Indonesia masih memerlukan tambahan lahan sebesar 19 juta hektar lagi yang sebagian besar masih harus dilakukan perizinan, pembebasan lahan, persiapan pembibitan hingga masuk dalam kategori Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) atau minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. 

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Memang, jika melihat grafik di atas perkebunan kelapa sawit tidak hanya di kuasai oleh perusahaan raksasa saja sepeti Sinarmas Agro ataupun Salim Ivomas Grup, tapi juga di dukung sepenuhnya oleh perkebunan rakyat, karena rakyat semakin sadar akan potensi keuntungan dari tanaman sawit. 

Secara angka di atas, jika di rata-rata maka pertumbuhan lahan sawit selama 13 tahun terakhir sebesar 20.85%. Jika saat ini lahan sawit sebesar 10.2 juta ton, maka dengan asumsi pertumbuhan 20.85% maka di tahun 2020, Indonesia bisa memiliki lahan sawit sebesar 39 juta hektar (angka yang fantastis jika digarap serius).   

Dengan kenaikan grafik yang begitu besar, tentunya potensi sawit akan sangat meningkatkan Produk Domestik Bruto Indonesia itu sendiri.

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah) 
Terlihat bahwa tanaman perkebunan (sawit terbesar) memiliki posisi yang penting setelah perikanan dalam menentukan laju pertumbuhan PDB Indonesia, bandingkan dengan minyak dan gas bumi yang negatif.

Kondisi harga Sawit Dunia

Saat ini kondisi global sawit dunia memang sedang lesu, pokok utamanya adalah berkurangnya permintaan kelapa sawit dari dua negara utama pengimpor sawit yaitu India dan China. Jumlah ekspor ke China menurun drastis dari 189 ribu ton menjadi hanya 138 ribu ton, memang banyak yang mengatakan bahwa ini dikarenakan kondisi ekonomi China yang sedang lesu. 

Tapi tidak berhenti sampai disitu, ekspor ke China yang turun drastis sebetulnya di imbangi oleh naiknya permintaan dari Negara Afrika, Eropa dan Amerika. Dari Afrika permintaan meningkat dari 102 ribu menjadi 175 ribu ton atau meningkat 71%, diikuti dari Amerika yang naik dari 26.5 ribu ton menjadi 37.3 ribu ton. Dari Eropa juga meningkat dari 381 ribu ton menjadi 408 ribu ton, India juga sebenarnya mengalami kenaikan walaupun tidak signifikan dari 397 ribu ton menjadi 408 ribu ton. 

Well, jika di akumulasi, turunnya permintaan dari China sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap keseluruhan jumlah ekspor sawit, hal ini menguatkan analisa beberapa pihak bahwa sebetulnya harga sawit tidaklah bermasalah, harga sawit yang jatuh adalah akumulasi dari perekonomian China yang melesat terlalu tinggi dan cepat sehingga sekarang tibalah saatnya bernafas sekaligus memberi ruang bagi masyarakat untuk menyesuaikan taraf hidupnya. 

Lagipula agak aneh jika disebut saat ini China memberi pengaruh besar bagi ekspor sawit Indonesia, sedangkan nilai ekspor ke  China yang senilai  189 ribu ton lebih kecil berbanding nilai ekspor ke India senilai 397 ribu ton, bahkan berbanding ekspor ke Eropa senilai 381 ribu ton. Nilai ekspor ke China hanya 1/2 nya lebih.

Proyeksi Harga Sawit

Sawit, seperti kebanyakan barang komoditas lainnya, harga nya cenderung tidak beraturan dan sangat dipengaruhi oleh berita yang terjadi. Sehingga untuk menghadapai kondisi volatilitas tinggi seperti ini analisa teknikal kita perlukan dalam menganalisa dalam jangka panjang untuk mengetahui pola konsumsi masyarakat dunia dan pola jangka pendek untuk persiapan terhadap berita yang muncul.

Pola harga kelapa sawit jangka panjang
Dalam jangka panjang 10 tahun, kelapa sawit tetap mengalami pola uptrend dengan beberapa koreksi:
Tahun 2008, ketika itu terjadi krisi ekonomi global dimana perekonomian Amerika anjlok -10%, kegiatan ekspor nyaris terhenti disusul krisis pangan dan tingkat suku bunga mencapai 9.5%. Apa yang terjadi dengan ekspor sawit? Volume ekspor sawit justru meningkat secara rata-rata 22.10%


Begitupula ketika terjadi koreksi tahun 2013 yang sebagian besar di pengaruhi kondisi global namun volume ekspor sawit tetap meningkat.  Dengan kata lain, kebutuhan dunia terhadap kelapa sawit tetaplah tinggi walapun bermunculan sumber minyak nabati lain seperti bunga matahari, dll. 

Ini dikarenakan beberapa keunggulan dari Minyak Sawit itu sendiri, di antaranya:
  1. Produktifitas tinggi, yaitu 3.74 ton/ha/tahun. Bandingkan dengan pesaing utama yaitu minyak kedele yang 0.38 ton/ha/thn atau minyak bunga matahari yang 0.48 ton/ha/thn.
  2. Minyak sawit mendominasi minyak nabati dunia sebagai minyak yang teraman. CODEX Alimentarius Commission (http://www.codexalimentarius.org/ ) telah menerbitkan Standart for Named Vegetables Oil dimana minyak sawit mendominasi hampir 52%.
  3. Minyak sawit memiliki potensi  aplikasi yang sangat luas. Ada 163 produk yang dihasilkan oleh CPO dan turunannya. 82% memiliki kegunaan terhadap pangan. Ini yang tidak dimiliki oleh minyak nabati lain.
  4. Minyak sawit memiliki dua fraksi utama: fraksi cair (Olein) dan Fraksi padat (Stearin). Olein digunakan sebagai bahan dasar minyak goreng ataupun campuran minyak kacang tanah. Sedangkan Stearin digunakan sebagai bahan pembuat mentega/margarin karena sifatnya yang padat pada suhu ruang, di Eropa stearing digunakan secara umum sebagai bahan pembuat butter ataupun campuran keju.
  5. Di Eropa, dengan pengolahan lanjutan minyak sawit digunakan sebagai campuran pembuatan coklat karena mengandung lemak special. Karakteristik ini juga yang tidak dimiliki oleh minyak nabati lainnya.
  6. CPO turunannya merupakan penghasil Bio-diesel = energi terbarukan. Hal inilah yang mutlak menjadikan CPO sumber energi masa depan.
  7. Minyak sawit merupakan sumber vitamin E spesial

Kesimpulan

Secara jangka panjang, minyak sawit (CPO) merupakan komoditas yang akan selalu dibutuhkan dalam konsumsi masyarakat dunia, terutama setelah kita melihat 7 keunggulan CPO dibanding minyak nabati lain. itulah mengapa secara teknikal pola uptrend terbentuk dalam 10 tahun yang menandakan bahwa CPO merupakan komoditas yang tetap potensial, apalagi untuk Indonesia yang merupakan produsen terbesar.

Tantangan pemerintah kedepan yang pertama ialah target mengembangkan 19 juta hektar lahan sawit siap pakai untuk menuju 2020, ditambah konsumsi turunan kelapa sawit sudah diaplikasi sebagai sumber energi terbarukan (bio-diesel) yang harus menjadi sektor andalan baru Indonesia. Yang kedua target pemerintah ialah menjadikan Indonesia sebagai pusat acuan harga sawit dunia, bukannya Malaysia.

Untuk itu, melihat koreksi yang terjadi kami melihat sebagai kesempatan untuk berinvestasi kembali di perusahaan sektor sawit yang potensial. Kami sudah melihat beberapa perusahaan sehat dan mapan sebagai calon emiten, dan tinggal menentukan waktu kapan entry di sektor ini. 

Meskipun di dalam tulisan ini kami menggunakan analisa Top-Down untuk analisa sektor. Namun analisa Down-Top tetap kami lakukan untuk pemilihan saham emiten (stock picking).

Salam Investasi

3 komentar:

  1. Lengkap banget ulasannya.

    Terimakasih ya, sangat menambah wawasan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mas Ron, semoga tetap bisa berbagi :)

      Hapus
  2. Wah..lengkap banget mas, izin kutip beberapa untuk bahan tugas akhir ya mas
    Salam

    Bayu

    BalasHapus