2 Feb 2020

Strategi Investasi 2020 dan Saham Legacy

,

Halo kawan-kawan investor, apa kabar? Lama sudah tidak menulis lagi (menulis tentang fundamental perusahaan terakhir tahun 2015) dimana tahun 2018 saya "hanya" meng-update info kenapa Value Investing lebih unggul.

Kenapa kok vakumnya lama sekali? Jujur saja, satu hal, saya merasa amat sangat jenuh dengan kondisi market di Indonesia. Saya update blog ini terakhir adalah tahun 2015 dan ketika itu saya sedang membahas prospek Garuda Indonesia.

Selain karena pekerjaan, kondisi market Indonesia betul-betul jenuh, saya hampir lelah menemukan saham bagus yang berharga murah, bukan tidak ada, bukan. Ada, cukup banyak malah, salah satu diantaranya adalah ERAA. Dimana berselang dua tahun sejak tulisan dimuat, ERAA melambung cukup jauh, yak selamat bagi anda yang sudah mengakumulasi.

Selain itu, praktis hanya SIDO dari Sido Muncul, MAPI Mitra Adiperkasa dan segelintir perusahaan yang kinerjanya moncer, selebihnya saham berharga murah yang nyatanya hanya jadi saham murahan/gorengan meskipun perusahaan tersebut adalah perusahaan yang solid.

Contoh nyata adalah SRIL atau Sritex. Sritex itu perusahaan bagus dan bonafit, tapi tetap saja jadi saham gorengan.

Lalu Lippo group. Padahal saya pernah membahas bahwa saham Lippo baik itu LPCK maupun LPKR adalah saham yang berkualitas, tapi ternyata kasus Meikarta mencoreng nama besar Lippo group dan kasus Meikarta sedari awal sifatnya politis, gencarnya pemasaran yang tidak biasa menjadi sebuah pertanyaan, kenapa Meikarta dipaksakan? Mengejar prospek Kereta Cepat Jakarta-Bandung?

Apalagi selentingan informan yang berkata miring soal manajemen Lippo. "Hah, Lippo? you know laah"..seperti itu..

Ditambah baru-baru ini dengan adanya kasus Jiwasraya dan Asabri yang menyeret aktifitas saham gorengan seperti sahamnya Hanson bersaudara (MYRX). Yup, saham gorengan, mau dipoles seperti apapun, tetap saja gorengan. Dan sekarang terbukti.

Disini saya hanya ingin menegaskan bahwa di Indonesia, saham yang baik (setidaknya untuk anda investasi long-term) haruslah betul-betul saham yang baik. Baik dari sisi bisnis fundamental perusahaan, baik dari sisi good corporate government dan tentunya baik dari sisi manajemen.

Sayangnya di Indonesia, perusahaan yang baik-baik ini sudah tidak dihargai secara murah. Dengan PER rata-rata di atas 20 dan PBV rata-rata di atas 2 atau 3. Dan perusahaan baik-baik ini telah berkategori long-term, alias berkinerja baik lebih dari 10 tahun.

Contoh nyata ya Ultrajaya (ULTJ), Unilever (UNVR) atau bahkan Telkom (TLKM) ketika masih jaman unyu-unyu. Sekarang? Ya sudah mahal. Mahal dalam arti sebenarnya. Mahal karena memang mereka pantas dihargai mahal. Nike tidak mungkin dihargai seharga sepatu lokal, kan?

Jadi itulah kenapa saya memutuskan untuk vakum dari penulisan saham dan fokus mengelola aktifitas investasi saya sendiri di Srimaya Investment, dimana Srimaya hingga saat ini sudah membukukan kenaikan +75% sejak 2015. Tahun dimana saya melakukan restrukturisasi saham (jual semua, mulai dari nol).

Itu belum termasuk imbal hasil UNVR yang saya beli di tahun 2008 dan kemudian saya jual di tahun 2017 (+673%).

Sebagai investor fundamental saya paham bahwa angka +75% tidaklah amazing. "Hanya" 15% per tahun. Tapi cukup untuk sekedar mengalahkan market IHSG yang naiknya 23% dan setidaknya cukup untuk menahan Srimaya dari resiko yang besar.

Ada beberapa saham beresiko yang saya beli di tahun-tahun sebelumnya yang justru turun, tapi ada juga yg naik signifikan.

Berikut profil saham Srimaya s.d Januari 2020:


Jika digabungkan dengan UNVR, maka gain Srimaya mencapai 105%. UNTR sendiri saya jual tepat ketika harga turun dari puncaknya ketika itu di 40 ribuan pada tahun 2018, bertepatan dengan anjloknya harga batubara. Selain UNTR dan UNVR, saham-saham di atas saya jual di tanggal 27 Januari 2020.

Dari Portfolio di atas mungkin pembaca bisa simpulkan bahwa awalnya saya mengedapankan mencari saham berkualitas baik dengan harga yang murah (value investing). Namun di Indonesia, ternyata tidak selamanya yang tampak baik itu betul-betul baik.

Contohnya PGN, ternyata menjadi anggota holding Migas dengan Pertamina Gas tidaklah terlalu menggembirakan, terlalu banyak hal (lagi-lagi) politis disitu, beban pun bertambah, sehingga ya gak heran kalo sahamnya gitu-gitu aja, anjlok susah naiknya.

Di 2020 ini, saya memutuskan untuk merevisi total, hanya BBRI yang saya hold, BBRI bahkan mungkin menjadi saham saya selamanya (legacy stock), selama fundamental perusahaan dan bisnisnya gak kenapa-kenapa.

Itulah juga yang menjadi insight saya di 2020 ini, saya menyadari bahwa Indonesia bukanlah pasar Amerika yang sangat dinamis, saham disana sangat liquid. Pergerakan saham betul-betul mencerminkan fundamental perusahaan, lihat saja Apple atau Boeing. Kondisinya nyaris mengikuti konsep pasar seimbang ala Markowitz.

Sedangkan di Indonesia, pasar saham adalah pasar yang sangat kotor, jual beli ngawur ala gorengan sana-sini bergerak liar tanpa OJK bisa mengendalikan.

OJK hanya dianggap satpam tanpa seragam, senjatanya pentungan. Ada atau tidak ada OJK seperti sama saja. Ketika OJK beraksi, maka saat itulah para broker nakal sudah kabur membawa untung, OJK persis polisi di film India, selalu terlambat.

Lho, artinya anda sekarang sudah berubah? Hmm, enggak juga. Saya tetap menganut aliran value investing tapi juga menggabungkan dengan moderate investing, hal ini harus dilakukan jika ingin berinvestasi jangka panjang di Indonesia.

Bukan hanya soal mencari saham di bawah nilai intrinsik, tapi juga mencari saham perusahaan yang baik. Dan yang baik-baik inilah yang sudah tidak murah.

Mencari saham di Indonesia mirip-mirip mencari jodoh, jika ingin meminang Maudy Ayunda, pastikan anda punya prestasi, selera humor yang baik, pintar dan (tentunya) mapan. Susah kan?

Itulah kenapa Warren Buffet menyadari bahwa saat ini kondisi pasar telah mencapai kemapanannya. Perusahaan yang bagus telah di hargai secara pantas, dan Warren Buffet memutuskan untuk membeli saham Apple yang saat di beli harganya juga sudah tidak murah.

Untuk itulah juga kenapa di 2020 ini saya berubah lebih konvensional, saya berprinsip di Indonesia saham yang bagus ya harus betul-betul bagus meksipun harganya tidak terlalu bagus.

Perusahaannya bonafit, profitable, management terpercaya, punya reputasi yang baik, historis yang baik dan konsumen yang setia, pasti di hargai premium juga. Ya, ada rupa, ada harga. Itulah prinsip saya dalam memilih saham di 2020 ini.

Dan inilah portfolio Srimaya 2020.

1. BBRI

Posisi BBRI tetap saya hold, seperti yang sudah saya tulis di atas, BRI mungkin akan menjadi investasi Srimaya selamanya. Selama fundamental bisnisnya baik-baik saja dan tidak terjadi gejolak politik yang signifikan seperti era 98. Bahkan jika karena gejolak ekonomi terjadi seperti tahun 2008, mungkin Srimaya justru akan menambah posisi.

Kenapa kok BRI? Kok bukan Mandiri (BMRI) ataupun BNI (BBNI). Pertama, saya suka semangat bisnisnya, BRI terdepan di pelosok Indonesia.

Kedua, Net Interest Margin (NIM) BRI paling tinggi diantara bank-bank lain, bahkan dari BCA atau Mandiri. NIM adalah selisih antara bunga yang didapatkan oleh bank dengan bunga ke nasabah, dibagi total aset yang menghasilkan bunga. Maka semakin tinggi NIM semakin profitable sebuah bank.

Bahkan saya heran, mengajukan cicilan KPR rumah di BRI bunganya lebih rendah daripada di BTN, serius lho ini.

2. TLKM

Hanya satu kata: I'm waited too long

Ya, saya menunggu Telkom sudah terlalu lama, padahal saya sadar lebih dari 50% orang Indonesia memakai provider Telkomsel sejak 10 tahun yang lalu mungkin. 

April 2018 saja, pelanggan Telkomsel itu 150 juta, bandingkan dengan posisi kedua, yaitu XL Axiata di 45 juta dan Indosat 34 juta, dibawah itu menjadi kue rebutan antara Tri dan Smartfren.

Bagaimana di 2019? Pelanggan XL mencapai 59 juta, dan Telkomsel menyentuh angka 170 juta. Telkomsel tetap menjadi yang terdepan. Apalagi Telkomsel justru mengakuisisi jumlah tower milik pesaing-pesaingnya yang membuat bisnis telekomunikasi Telkomsel menjadi nomor wahid.

Bukan itu saja, Telkomsel telah jauh melampaui pesaingnya dengan mengeluarkan LinkAja, aplikasi pembayaran online sebagai pesaing online payment lain seperti Dana atau Gopay. Telkomsel pun memiliki jaringan TV prabayar plus wifi internet, yaitu Indihome yang sejak saya pasang dirumah, sudah jalan setahun dan tidak pernah ada masalah, jika ada komplain operator langsung datang ke rumah. Beda dengan TV kabel sebelumnya milik satu stasiun TV yang justru sering down.

Telkomsel, seperti perusahaaan telekomunikasi/teknologi yang bersinggungan dengan IT, maka tujuan satu-satunya adalah menjadi penguasa tunggal jagad IT di Indonesia. Seperti Facebook yang mengakuisisi Whatsapp dan Instagram, Facebook pun menjadi penguasa tunggal di sosial media.

Lalu kita lihat Google, selain di Tiongkok, Google sudah menjadi penguasa tunggal di ranah dunia maya, bahkan Youtube dan "otak" nya Android sebagai pasar smartphone nomor satu pun punya Google.

So, dengan akuisisi tower komunikasi dan membuat aplikasi di depan pesaing-pesaingnya, Telkomsel menangkap strategi utama dari bisnis informasi dan teknologi, yaitu monopoli.

Dimana monopoli adalah salah satu titik point para perusahaan IT (kebanyakan startup) untuk mencetak untung. Google monopoli, Facebook monopoli dan Tokopedia pun mengarah kesitu.

Dan kabar baiknya, Telkomsel tidak perlu berdarah-darah dahulu untuk mencetak laba, karena Telkomsel mengawali sebagai provider komunikasi sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Dan bayangkan 10 tahun dari sekarang, apakah manusia masih butuh komunikasi?

Sekarang saja, komunikasi sudah menjadi 5 kebutuhan pokok manusia; Sandang, Pangan, Papan, Telepon dan Wifi. 10 tahun lagi?

Okelah saya tahun alasan bapak beli karena fundamental di atas, lalu apa lagi?

Saham TLKM turun sejak September 2018. Bahkan jika menggunakan laporan keuangan 2019 yang di setahunkan, maka PER TLKM berkisar 17.52x dengan PBV berkisar di 3.19x.

Untuk Book Value memang terlihat mahal, tapi begitu bersanding dengan PER maka harga TLKM justru masih dibawah perusahaan mapan lainnya. Contoh, perusahaan semen yang sedang sama-sama turun.

PER under 20x dengan prospek kebutuhan umat manusia membuat saya tidak ragu untuk membeli.

3. ADRO

So many reason kecuali harga batubara itu sendiri ketika membeli Adaro.

Pertama karena Adaro memiliki cadangan batubara terbukti sebesar 13 milyar ton, nomor dua setelah BUMI. Cadangan tersebut senilai 1,15 trilyun USD dengan asumsi harga batubara di 90 USD per ton.

Kedua, managemen Adaro tidak pernah aneh-aneh seperti manajemen BUMI yang sibuk bermanuver bisnis, buat perusahaan hanya untuk akuisisi dan lain sebagainya. Adaro tidak begitu, Adaro fokus pada bisnis batubara dimana batubara tersebut sebagian besar mereka salurkan lagi ke pembangkit listrik milik mereka sendiri, mereka jual ke PLN atau ekspor keluar negeri.

Salah satu yang membuat saya kepincut adalah keputusan mereka dalam membangun pembangkit listik yang mereka kelola sendiri (IPP - independence power producer) diantaranya PLTU Bhimasena 2x1000 MW di Batang, Jawa Tengah dan skala 200 MW di Kalimantan. Ini adalah semangat bisnis Adaro yang juga mengedepankan pelayanan publik, bukan hanya soal mencari untung.

Ketiga, keputusan Adaro untuk masuk ke energi baru terbarukan (EBT). Kita tahu, meskipun Adaro mengembangkan Envirocoal (batubara ramah lingkungan), tetap saja batubara adalah batubara, ada emisi kotor yang dibuang ke udara disana, belum lagi limbah dan beberapa kerusakan lingkungan.

So, ketika Adaro memutuskan untuk juga bergabung di bisnis EBT, maka disinilah niat baik dari perusahaan baik-baik. That's cool.

Tidak hanya soal untung, tapi bagaimana mengelola lingkungan secara baik, disamping juga beberapa negara mulai gencar mengembangkan energi non fosil seperti pembangkit listik tenaga air (PLTA), tenaga angin atau tenaga surya. Dan tentu saja mengancam bisnis batubara itu sendiri.

Meskipun secara finansial, tenaga uap batubara menduduki daftar tertinggi soal efisiensi dan resiko.

Mengapa demikian? Karena energi non fosil murni mengandalkan alam. Misal tenaga angin, tidak semua lokasi dapat dipasang, harus area tertentu yang sangat berangin untuk memutar turbin. Lalu PLTA, butuh debit air yang besar dan bendungan yang tinggi untuk mendapatkan power sebesar batubara.

Sedangkan batubara, dengan volume yang lebih sedikit, usaha pembangunan yang lebih ringan dan lokasi yang lebih fleksibel, bisa menghasilkan listrik beribu-ribu megawatt, cukup untuk menerangi satu kotamadya, bahkan PLTU Paiton sebagai jantung pulau Jawa.

Tapi dilain pihak, batubara keburu di cap sebagai perusak lingkungan. Okelah, sehingga ide Adaro untuk masuk ke energi terbarukan sangat saya sukai. Inilah manajemen yang bisa melihat kesempatan bisnis dan kebaikan lingkungan, bukan cuma soal jual beli.

4. UNVR

Unilever?? Kenapa anda masuk lagi ketika memutuskan untuk keluar di tahun 2017?

Itulah namanya cinta. Tak perlu banyak alasan ketika cinta lama bersemi kembali. Apa perlu saya jelaskan lebih jauh? 

Selama shampo saya masih clear, sikat gigi saya masih pepsodent, istri saya mencuci masih pakai rinso, sabun saya masih lifebuoy atau lux dan es krim kesukaan anak saya masih produk wall's, atau perkara ketiak masih pakai rexona, disitulah saya masi bergantung pada Unilever.

Ya, saya dan keluarga belum bisa move on dari Unilever, jadi ketika Unilever melakukan stock split eh ndilalah harga sahamnya turun tanpa ada berita negatif soal perusahaan, maka itu seperti mantan terindah yang tiba-tiba datang kerumah, dandan cantik, rapi dan dress-up, siap diajak nonton lalu tiba-tiba curhat kalau dia lagi galau, dan...

Siapa yang nolak?

Kesimpulan..


Jadi itu saja pak saham pilihan anda di 2020 ini? Betul karena 2020 ini selain lebih konvensional, saya ingin membeli saham legacy, saham yang sepertinya akan saya keep dalam jangka waktu yang sangat lama.

Saham yang "mungkin" dapat berkonstribusi ketika anak saya ingin kuliah ke luar negeri atau sekedar masuk SMA nanti. Lagipula saham legacy adalah saham yang layak untuk di wariskan, pun jika istri atau anak saya tidak mengerti soal saham.
Lantas apa anda meninggalkan value investing? Bisa saja iya, ketika saya melihat Warren Buffet membeli Apple :).

Tapi tenang saja, tidak seru rasanya petualangan di dunia saham jika hanya berpatok ke saham legacy, masih ada beberapa stock pick saya di Srimaya berkategori value investing yang masih dalam posisi wait and see..

Apa itu? Tunggu saja..

Salam

Read more →