31 Mei 2015

Magic Formula untuk memilih Saham Ramadhan (bagian 2)

,
Setelah membahas Magic Formula untuk memilih saham Ramadhan bagian satu disini, dimana pada artikel sebelumnya kita hanya membahas pemilihan saham untuk sektor retail. Untuk itu disini kita akan bahas penggunaan Magic Formula untuk pemilihan saham sektor makanan dan minuman.

Tidak banyak emiten sektor makanan yang listing di bursa, sehingga kita tidak bisa membatasi seleksi pada nilai minimal kapitalisasi pasar, namun di batasi pada penjualan produk produk halal. Untuk itu cukup fair jika mengeluarkan emiten bir MLBI (Multi Bintang) dan DLTA (Delta Djakarta) dari list.

Hasilnya adalah sebagai berikut:


SymbolEBIT (TTM) (B)Enterprise Value (TTM) (B)Earning Yield (TTM)Return on Capital (TTM)EY RankROC RankEY+ROCMagic Formula Rank
CEKA108 406 26.53%19.09%1231
STTP244 4,638 5.25%20.61%7182
SIDO457 7,497 6.10%16.95%5493
SKLT28 319 8.64%14.30%2793
ICBP3,257 79,180 4.11%16.98%83115
ROTI322 6,099 5.28%15.24%66126
AISA674 8,743 7.70%11.28%39126
ULTJ418 10,622 3.94%16.79%95148
INDF6,998 94,402 7.41%10.91%410148
MYOR928 26,986 3.44%12.75%1081810
ALTO33 1,229 2.69%3.40%11112211

Ada beberapa komentar kawan investor tentang likuiditas saham yang dihitung dengan magic formula terkadang tidak likuid dan susah untuk masuk. Mungkin saya sedikit mengulang bahwa metode-metode yang digunakan oleh para Guru (sebutan para investor jago di US) dari mulai Benjamin Graham, Peter Lynch, Warren Buffet hingga Joel Greenblatt adalah sarana untuk menilai apakah perusahaan layak untuk di investasi, bukan untuk di tradingkan.

Jika anda berpikir bahwa anda bisa trading menggunakan metode para guru, maka anda salah. Untuk trading anda tidak perlu repot-repot menganalisa bagaimana efektifitas perusahaan dalam mengelola aset, ekuitas dan hutang dalam menjadi laba. Anda cukup melihat likuiditas dan chart.

Joel Greenblatt sendiripun tidak mencapai hasil luar biasa dengan Magic Formula dengan satu-dua hari, tapi berbulan, tahun bahkan belasan tahun. Sebagai contoh, jika anda lihat saham STTP saat ini mungkin anda berpikir tidak akan masuk karena sahamnya tidak likuid, tapi jika anda lebih jeli melakukan tracking sahamnya sejak 2012, maka saham STTP sudah naik 350%.

Andikan anda menggunakan Magic Formula sejak 2012 lalu, hmmm..berapa kekayaan anda sekarang?
Read more →

27 Mei 2015

Magic Formula untuk Memilih Saham Ramadhan

,
Memasuki bulan puasa atau Ramadhan yang kurang dari satu bulan lagi di Indonesia selalu terjadi yang namanya euforia. Ada dua euforia yang membuat sendi perekonomian Indonesia bergerak berkali-kali lipat: Pertama; euforia pulang kampung menjelang lebaran yang mungkin tidak perlu lagi dijelaskan penyebab dan efeknya. Kedua; euforia konsumsi, dibanding pulang kampung, ternyata euforia ini 6x lebih besar efeknya dikarenakan;
  1. Terjadi satu bulan penuh mengikuti jadwal puasa hingga lebaran.
  2. Adanya pembagian Tunjangan Hari Raya yang bukan hanya diperuntukan bagi umat muslim, tetapi juga bagi non-muslim. Sehingga terjadi peningkatan konsumsi secara masive untuk semua kalangan. Sekedar catatan, pendapatan orang Indonesia jika di rata-rata meningkat 2.5 kali lipat hanya dalam waktu satu bulan, sedangkan konsumsi orang Indonesia, termasuk bbm dan elpiji meningkat rata-rata 52% juga dalam satu bulan. 
Bisa dibayangkan betapa besar aliran uang yang berputar di meja perdagangan negeri ini, dari mulai makanan enak, pakaian baru, hp baru, mobil baru, motor baru, dsb. Dari data 2014 yang paling besar persentase kenaikannya adalah penjualan pakaian, makanan dan hp (smartphone).

Dari atas bisa disimpulkan bahwa saham sektor retail adalah saham paling potensial pada saat menjelang dan selama bulan puasa. So, sangat menarik untuk di ikuti saham retail apa saja yang terkait bulan ramadhan ini agar kita sebagai investor bisa berinvestasi dengan momerntum yang tepat pada perusahaan yang potensial. Untuk itu saya memakai pendekatan magic formula untuk mendeteksi mana perusahaan yang memiliki kinerja yang layak.

Sekilas Magic Formula 

Magic Formula adalah formula seleksi saham yang dikenalkan oleh Joel Greenblatt dengan pendekatan Return on Capital dan Earning Yield. Return on Capital adalah rasio yang cukup powerfull dalam melihat efektifitas perusahaan dalam mengelola aset dan modal kerjanya hingga menjadi laba (dalam hal ini digunakan EBIT - laba sebelum pajak). Sedangkan Earning Yield adalah tolak ukur seberapa hebat perusahaan dalam mengelola ekuitas dan hutangnya (disebut juga enterprise value) hingga menjadi laba (EBIT). 

Untuk referensi pendetailan tentang Magic Formula bisa anda lihat disini 

Mengapa Magic Formula?

Ada beberapa alasan mengapa menggunakan magic formula:
  1. Magic Formula cocok digunakan untuk membandingkan perusahaan dengan sektor sejenis dengan tipe yang sama karena memakai sistem ranking.
  2. Menggunakan ROC dan Earning Yield yang cocok untuk perusahaan jenis retail, karena perusahaan retail cenderung menggunakan modal kerja dan hutangnya secara cepat untuk perputaran bisnisnya yang continues.
  3. Fluktuatif rendah, sehingga cenderung lebih mudah diprediksi.
Seleksi awal dilakukan dengan menyaring perusahaan retail yang memiliki kapitalisasi pasar di atas 1 trilyun rupiah, dan berikut hasilnya:


SymbolEBIT (TTM) (B)Enterprise Value (TTM) (B)Earning Yield (TTM)Return on Capital (TTM)EY RankROC RankEY+ROC RankMagic Formula Rank
MIDI279.663,163 8.84%24.15%3471
GLOB142.351,721 8.27%24.62%5382
CSAP233.722,426 9.63%21.89%2793
ACES701.8911,490 6.11%27.11%82104
ERAA474.133,812 12.44%14.61%110115
LPPF2095.8450,824 4.12%211.17%111126
TELE594.378,755 6.79%22.77%76137
TRIO1023.7014,731 6.95%17.62%69158
ECII87.921,019 8.63%4.76%413179
MPPA740.9420,250 3.66%23.73%1351810
AMRT1169.5328,630 4.08%21.54%1282011
RALS252.174,993 5.05%7.02%9122112
MAPI519.9812,464 4.17%10.77%10112112
Data source: www.stockbit.com

Sebagai penjelasan mari kita ambil contoh ekstrim. Pertama, adalah ERAA (Erajaya) diperingkat 5, walaupun muncul dari sektor retail telekomunikasi, ERAA tampaknya sangat baik dalam pengelolaan ekuitas dan hutang sehingga DER dibawah 1 dan earning yield diatas 10%, namun kalah jauh dalam hal pengelolaan aset dan modal kerja. Berbeda dengan LPPF (Matahari) diperingkat 6 yang lebih banyak menggunakan hutang sebagai modal kerja sehingga earning yield hanya 4.12% (DER lebih dari 1) namun sangat sukses memaksimalkan penggunaan aset.

Sedangkan juara dan runner-up adalah MIDI (Alfamidi) dan GLOB (Global Teleshop), karena kedua perusahaan itu memiliki kemampuan yang lebih seimbang antara pengelolaan aset, modal kerja dan juga hutangnya.

Bagaimana dengan ACES? meskipun DER dibawah 1, namun karena laba yang dihasilkan termasuk tidak maksimal (menurun) sehingga earning yield-nya pun kurang maksimal dan hanya mendapat peringkat 8 dari 13 perusahaan. 

Untuk memaksimalkan metode magic formula ini, anda harus gabungkan dengan melihat laju operating margin perusahaan, sehingga anda bisa lebih akurat memprediksi arah dan perkembangan bisnis.

Salam Investasi  
Read more →

21 Mei 2015

PGAS - The Falling Giant

,
Di sore itu, duduk kami berlima di sebuah kafe di dalam TIS square, saya, seorang dari Deutsche Bank, seorang investor relation, seorang waras yang tidak ingin disebut, dan bung Clif-Art yang duduk persis di samping saya. Topik kami jelas, yaitu apakah kami akan mengambil keputusan untuk menaruh uang kami di saham PGAS. Terkesan berat, bagai ingin mengakuisisi perusahaan BUMN. Tapi yah, meskipun masih jauh bahkan dari 0.0001% pemegang saham PGAS, namun kami tidak mau gegabah ataupun asal jual-beli bagai penjudi, yang dengan mudah berbicara tentang "kalah" dan "menang".


Saham PGAS, yang turun cukup dalam lebih dari 50% sejak Maret lalu telah membuka hati saya terhadap saham BUMN. Terus terang selama ini hanya BRI yang menarik minat saya terhadap BUMN, tentunya karena pola kerja BUMN dan mental profesional para manajemen yang saya alami selama bekerja di dalamnya sangat jauh berbeda dengan swasta. Namun dengan adanya penurunan ini, seperti para value investor kebanyakan, kami melihat adanya peluang sehat untuk masuk.

Mengapa Saham PGAS turun?

Itulah pertanyaan perdana saya kepada investor relation dan dijawab bahwa saham sedang banyak dilepas oleh asing. Merasa mendapat jawaban e-paper seperti para pengamat saham di media, saya sontak menjawab 'ya memang saham kalau gak ada yang lepas ya gak bakal turun', saya ingin INSIGHT penurunan ini bagaimana, bukan klise.

PGAS sebetulnya sedang mengalami masa-masa downtrend dalam 5 tahun terakhir, bukan dari sisi pendapatan, bukan pula dari sisi laba operasi ataupun Ebitda, namun dari sisi laju bisnis operasi, atau yang pernah kita bahas sebagai Operating Margin (Untuk lebih jelas, klik disini).

Sumber: Laporan Keuangan PGAS (diolah)

Terlihat dari grafik bahwa laju trend PGAS sedang mengalami masa-masa fed-up atau jenuh, tergores sedikit saja karena penurunan pendapatan maka seketika akan anjlok nilainya. Dan saat ini terbukti, dan saat ini pula yang banyak dinanti oleh para Investor. Mari kita lihat latar belakangnya.

Latar Belakang Pondasi PGAS Indonesia

PGAS tidak bisa dipungkiri adalah salah satu perusahaan di Indonesia yang memiliki jangka waktu sangat lama dalam beroperasi, yaitu sudah 50 tahun semenjak 1965, bahkan sudah 156 tahun jika kita menghitung semenjak PGN masih bernama Firma I.J.N. Eindhoven & Co yang didirikan tahun 1859 sebagai monopoli penyuplai gas kota menggunakan sumber batubara. Dan hingga tahun 2013 PGAS beroperasi atas dasar monopoli distribusi gas yang diberikan pemerintah semenjak mulai beroperasi tahun 1965. 

Konsumsi gas bukan hanya untuk gas elpiji untuk rumah tangga, namun yang utama ialah listrik (Power) yang dioperasikan oleh PLN. Sebagai monopoli distribusi energi yang tidak akan habis dimakan waktu, maka sudah semestinya PGAS menjadi yang terbesar di bidang ini, namun ternyata bisnis distribusi gas ke PLN dan publik terganggu dengan masuknya swasta semenjak 2010, yaitu Rukun Raharja, Sugih Energy dan lain lain akibat adanya kebijakan Open Access dari BPH Migas. Dimana kebijakan ini melepaskan PGAS dari monopoli distribusi, karena semua produsen gas tidak diwajibkan lagi menyalurkan gas via PGAS namun diperbolehkan langsung ke konsumen dan hanya membayar fee kepada PGAS sebagai penyedia pipa distribusi. Meskipun open access diberlakukan mulai 2013, namun kenyataannya efek tersebut sudah terasa sejak 2010.

Mulainya Penurunan

kebijakan Open Access menyebabkan PGAS yang sudah terlalu enak dimanja oleh pemerintah dengan segunung kontrak monopoli saat itu harus berpikir ulang bagaimana melakukan renewal kontrak dan mendapatkan kontrak baru. Bukan hanya dari sisi hilir distribusi, PGAS juga mendapat tantangan dari hulu, dimana harus dihadapkan pada kenyataan bahwa PGAS bukan lagi prioritas. Ini yang menyebabkan PGAS harus mencari sumur / ladang sumber gas sendiri.

Bisa anda lihat dari grafik Capital Expenditure PGAS dan Oil & Gas Asset dibawah yang menjelaskan tentang ekspansi PGAS dalam mencari sumber gas sendiri. Kegiatan hulu gas dimulai pada tahun 2013, setelah PGAS menyadari sepenuhnya bahwa alur pasokan gas stagnan setelah 2010.
Sumber: Stockbit.com
Cara membaca Capital Expenditure: Semakin besar nilai minus, maka semakin besar Capex yang dikeluarkan, grafik semakin kebawah.











Capital Expenditure yang dikeluarkan PGAS cukup signifikan pada 2013 - 2014. Diantaranya yang terbesar:
  1. Pembangunan FSRU (Floating Storage Receiving Unit). FSRU adalah unit penyimpanan dan pengolahan LNG (gas alam cair) menjadi Gas yang dibangun di atas kapal untuk di distribusikan langsung ke pembeli.
  2. Akuisisi blok-blok migas, yang terbesar adalah akuisisi 75% saham blok Ujung Pangkah dari Hess. Corp. melalui anak usaha PT Saka Energi, sebelumnya PGAS sudah memiliki 25% saham di blok ini.
  3. Eksplorasi langsung: cth: Blok Sesulu Selatan.
     Cadangan gas di SES masih dalam perdebatan, sehingga tidak kami tampilkan

Apakah Investasi Layak?

Dengan sistem production sharing contract (PSC) digabungkan antara data cost dan tentunya prediksi harga gas dunia, maka bisa digambarkan dengan grafik forecasting terhadap laju rencana produksi vs cash flow ratio yang akan di hadapi PGAS.


Pertanyaan terpenting selanjutnya, apakah investasi PGAS diatas tersebut layak? dari data sejak 2008 hingga 2015 (ttm), PGAS telah menghabiskan Capex sebesar 23,4 trilyun, dan kami lakukan perhitungan Cash flow yang flow-nya disesuaikan dengan grafik diatas, termasuk didalamnya:

  • REC (recoverable cost)
  • GT (bagian pemerintah+tax) sebesar 0.7 untuk gas (angka 0.7 berdasarkan makalah Prof. Widjajono Partowidagdo - mantan wakil menteri ESDM).
  • Revenue dan cost production.  
  • MARR: Minimum Attractive Rate of Return (biaya modal+profit margin+risk premium)

Nilai NPV PGAS ada di kisaran 1.552 trilyun dan memiliki initial rate of return (IRR) sebesar 33.7%, jauh lebih besar dari required return sektor migas yang rata-rata ada di kisaran 23%. Artinya, investasi yang dilakukan PGAS sudah memenuhi syarat kelayakan.

Kita lihat kembali dari grafik bahwa aset migas yang di miliki PGAS sejak 2013-2014 tidak serta merta menunjukkan hasil dalam setahun atau tiga tahun, namun selalu di atas 3 tahun dan di prediksi akan mulai stabil pada tahun 2020. Prediksi kami, walaupun tidak signifikan PGAS tetap akan meningkatkan distribusi gasnya pada akhir 2015 dan akan meningkat lagi sejalan dengan hasil yang didapat dari penambahan sumber gas. 

Satu hal menarik, penurunan pendapatan PGAS tidak dipengaruhi dari penurunan konsumen, karena 
sesuai hukum ekonomi energi bahwa konsumen energi terus bertambah secara eksponensial dari masa ke masa. Hanya karena stok sumber gas terbatas dan dua pemasok gas terbesar (Conoco dan Santos) mengurangi produksinya, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan membatasi penyaluran.

Valuasi saham PGAS dan "3700"

Lantas bagaimana valuasi saham PGAS? Saham PGAS yang terjun 53% dari titik tertinggi 6075 rupiah hingga 3900 rupiah per saham adalah bukan satu-satunya, saham PGAS pernah turun hingga 198% pada 2008, turun 88% pada 2011 dan turun 44% pada 2013. Saat tulisan ini dibuat, saham PGAS berada pada harga 4200 rupiah dengan PER sebesar 13.84x (ttm) - saham PGAS sebaiknya dihitung dengan ttm dan bukan annualized karena PGAS termasuk bersiklus - PER ini masih diatas PER (ttm) pada Q1 2014. So, dengan melihat grafik production rate diatas dan ditambah penurunan pendapatan dan laba operasi yang terjadi, saham PGAS yang saat ini memiliki margin of safety sebesar 63% belum begitu menarik. Lho?

Perhitungan margin of safety diatas masih memasukkan pertumbuhan laba bersih dari tahun 2008 ke 2009 yang sebesar 882%, secara ilmu statistik data pertumbuhan di tahun itu disebut outliers data sehingga harus di keluarkan dari perhitungan.

Jika angka ini kita keluarkan, maka rata-rata pertumbuhan laba bersih PGAS selama 6 tahun terakhir hanya 8.40% dengan margin of safety sebesar 8.59%. Untuk mencapai margin aman perusahaan kelas mapan, margin of safety sebaiknya diatas 20% dan harga yang menarik untuk mencapai itu adalah 3700 rupiah per saham. Diharga itu saham PGAS dijual dengan PER sebesar 11.7x (ttm) dan margin of safety 23.26%. Cukup menarik kan?

Silahkan download file perhitungan intrinsik value dan margin of safety PGAS disini

Untuk cara perhitungan Harga Wajar Saham dan Intrinsik Value silahkan anda klik disini

Apa yang harus dilakukan?

Kembali ke paragraf pertama, dimana setelah penjelasan dan perdebatan kusir akhirnya kami menyimpulkan:
  1. Prospek bisnis PGAS saat ini sedang tidak moncer alias melambat.
  2. PGAS terlalu besar untuk di merger dengan Pertamina, so, gosip ini biasanya akan gugur dengan sendirinya. 
  3. Jangan termakan gosip, termasuk isu harga gas. Harga rata-rata pejualan Natural Gas adalah US$ 9.24/MMBtu, termurah bahkan dari LPG 12 kg yang seharga US$ 20.30/MMBtu.
  4. Direksi PGAS saat ini banyak diisi oleh orang karir PGN, bukan tunjukan dari pemerintah sehingga sangat paham hulu-hilir bisnis gas.
  5. Prospek bisnis dan saham PGAS akan bisa dilihat dalam jangka menengah (>1 tahun), kecuali anda memang trader.
  6. Dalam perjalanan, saham PGAS selalu terjadi penurunan dan kemudian naik lagi secara jangka panjang.
  7. Masuk saham PGAS ada dua cara: Versi saya, tunggu di harga 3700 rupiah per saham dan masuk secara Lumpsum. Versi Clif-Art, masuk di harga sekarang dan lakukan secara VCA ketika saham kembali turun. Untuk lebih jelas apa itu strategi Lumpsum dan VCA, silahkan baca artikel sebelumnya: Mengenal Strategi Investasi
Salam Investasi
Read more →

17 Mei 2015

Mengenal strategi DCA, VCA dan Lumpsum - Backtest

,
Dari anda pasti sudah ada yang mengenal strategi investasi dengan DCA, VCA ataupun Lumpsum. Dimana strategi investasi ini sangat populer dan powerfull dala jangka panjang dan karena toh sebetulnya sudah banyak di website, seminar ataupun website yang menjelaskan. Tetapi karena cukup lumayan banyak kawan yang bertanya tentang model nyata dari strategi ini, maka bolehkah saya bahas lebih detail di blog.

DCA atau Dollar Cost Averaging adalah metode investasi dengan cara mencicil setiap bulan kedalam instrument investasi dengan jumlah uang yang sama. Ini sebetulnya sama dengan anda membeli asuransi karena jumlah uang yang keluarkan sama setiap bulannya (kecuali anda punya dana lebih) apapun kondisi pasar yang terjadi. Keunggulannya:
  1. Strategi ini sangat cocok buat anda yang bekerja sebagai karyawan dan enggak punya waktu untuk memantau portfolio.
  2. Lebih aman dari resiko volatilitas market
Sedangkan kekurangannya:
  1. Strategi ini sebetulnya sia-sia jika anda lakukan sendiri (cari dan beli saham dari broker), lebih baik anda letakkan di reksadana dan top up setiap bulannya. Daripada anda pusing-pusing mencari dan memilih saham.
  2. Gain yang dihasilkan berkategori 'aman-aman' saja.
  3. Dividen kecil
Saham yang cocok untuk strategi ini ialah:
Saham kualitas Beringin: UNVR, BBRI, ICBP, TLKM, ASII, BMRI

VCA atau Value Cost Averaging sebetulnya hampir sama dengan DCA, tapi anda melakukan penambahan jumlah uang ketika pasar sedang jatuh / downtrend atau sama juga dengan sistem averaging down. Jumlah uang yang anda tambah biasanya bervariasi, namun dari beberapa kawan yang memakai strategi ini, mereka rata-rata menambah 3-10 kali porsi awal.
  • Contoh: Investasi perbulan anda 2 juta rupiah. Jika saham xxxx turun 2% pada bulan ke-1, maka bulan ke-2 anda menambah dana 2 juta + (3x2%x10x 2 juta) = 3.2 juta, bulan berikutnya saham xxxx turun lagi 3% (kumulatif 5%), maka dana yang anda setor pada bulan ke-2 2 juta + (3x5%x10x 2 juta) = 5 juta. 
Anda bisa mengganti angka 3 dengan berapapun sesuai kemampuan anda (angka 10 hanya sebagai pengali), tapi pastikan bahwa semakin turun saham, anda menyetor dengan lebih banyak dana.

Keunggulan strategi ini:
  1. Potensi gain anda lebih besar dalam jangka panjang
  2. Cocok untuk karyawan yang punya minat dalam investasi saham
  3. Dividen lebih besar
Kekurangannya:
  1. Total dana yang anda masukkan lebih besar dari pada DCA
  2. Resiko volatilitas market
  3. Harus teliti perusahaan : valuasi dan strategi fundamental sebelum membeli sahamnya
Saham yang cocok: saham LQ45, saham Kompas100 atau saham Srimaya Investa

Lumpsum adalah strategi dimana investor menaruh dana sekali dalam jumlah besar ketika pasar sedang jatuh dan (biasanya) sudah menyentuh titik bottom. Strategi ini disebut real investor strategy, yang memang menaruh dananya untuk diakumulasi dalam jangka panjang. Strategi ini disebut juga kontantrian.

Jumlah dana? biasanya tak terhitung, Banyak pemakai strategi ini yang kemudian menjadi pemegang saham pengendali, cth: Warren Buffet, Sandiaga Uno. Atau berpengaruh dalam politik  seperti Gita Wirjawan ataupun menjadi milyuner seperti Lo Kheng Hong

Apakah investor retail bisa? tentu saja bisa, yang anda butuhkan hanya dua: Timing dan perusahaan yang bagus. Dana yang dibutuhkan tidak perlu milyaran atau trilyunan, anda bisa mulai dari 50-100 juta (kalau dibawah itu lebih baik anda memakai VCA), lakukan valuasi saham terbaik dan masuk ketika kondisi market sedang downtrend (jargon sell in may berbalik menjadi buy in may). Dan tunggulah dalam jangka waktu 2-5 tahun.
Keunggulan strategi ini:
  1. Potensi gain tak terbatas
  2. Dividen besar
Kekurangannya:
  1. Valuasi saham sangat ketat
  2. Dibutuhkan keyakinan dan informasi yang kuat
  3. Dana yang dibutuhkan besar
  4. Resiko tinggi
Saya coba melakukan back-testing terhadap ketiga strategi ini mengacu kepada pola IHSG dengan dividen yang di-investasikan kembali, interest rate 5.25% dan biaya admin 0.25% buy, biaya investasi perbulan 2.5 juta rupiah, kecuali Lumpsum dengan jumlah 2.5 juta x 120 bulan = 300 juta rupiah di awal. Investasi pertama dilakukan pada 2 May 2005 hingga 2 May 2015 (10 tahun).

Gain dihitung bukan dari perubahan harga saham, namun dari total dana yang sudah anda investasikan berbanding hasil investasi kumulatif selama 10 tahun
Kesimpulan dari grafik diatas:
  1. Lumpsum strategi memiliki tingkat gain yang tertinggi, namun membutuhkan kesabaran. Investor akan aktif ketika memilih saham, dan pasif setelah membeli.
  2. VCA sebagai jembatan antara Lumpsum yang berduit dengan DCA sebagai investor retail, sehingga investor diminta sebagai investor aktif untuk memantau. Seringkali strategi ini merubah investor jangka panjang menjadi semi-trader.
  3. Tingkat kestabilan tertinggi dimiliki oleh DCA, sangat cocok untuk investor pasif dengan pemasukan perbulan dan penambahan dana sesuka hati.
Untuk memprediksi berapa dana anda di tahun ke-10 dengan 3 metode diatas, anda bisa memasukkan dana investasi yang anda rencanakan, harga saham yang akan dibeli dan metode yang dipilih dengan worksheet yang tersedia. Silahkan download file excelnya disini

Salam Investasi
Read more →