3 Mar 2015

Look Insight: Sekilas saham Konstruksi

,
Saham Konstruksi adalah salah satu kelompok saham yang terus booming atau menjadi favorit masyarakat investor dalam 5 tahun terakhir, tidak heran kalau saham konstruksi hampir selalu menjadi pegangan di setiap portfolio teman-teman baik investor maupun trader. Ibarat batu akik, saham konstruksi sedang di buru dan menjadi primadona hingga saat ini, terutama bagi teman-teman trader karena tak jarang jika hoki saham konstruksi bisa tiba-tiba melonjak hingga 3% - 5% dalam sehari. Dan itu beberapa kali terjadi sejak 2013 lalu. 

Lalu bagaimana dengan teman-teman investor pencari harga murah? saham konstruksi justru belakangan ini banyak dihindari untuk long-term investment karena tidak sesuai dengan kaidah Buffet. What?? Simple, saham konstruksi mayoritas sudah very over-valued. Kriteria umum: punya Pbv di atas 3x dan PER di atas 20x, apalagi setelah utak atik dihitung dengan DCF margin of safety saham konstruksi sudah minus. alias mahal. 

So, apakah yang terjadi dengan saham konstruksi sehingga menjadi mahal? benarkah memang 'mahal'? apa bedanya saham konstruksi dengan saham property? mengapa PER keduanya bagai bumi dan langit?. Mari kita ikuti Look insight: sekilas saham konstruksi berikut.

Konstruksi

Emiten konstruksi di Indonesia kami bagi menjadi dua: pertama adalah konstruksi kelas A, terdiri dari 5 besar: WIKA, ADHI, PTPP, WSKT dan TOTL, kelas B terdiri dari ACST, NRCA, DGIK dan SSIA, selebihnya masuk kelas C. Sedangkan emiten-emiten lain seperti ASRI, MDLN, MTDL dll disebut emiten property & real estate. Emiten yang bergerak di bidang konstruksi di definisikan sebagai perusahaan pelaksana konstruksi dan bangunan yang bekerja sesuai kontrak kerjasama dengan pemilik proyek. Sedangkan emiten property & real estate adalah emiten yang memiliki lahan pengembangan untuk dikomersilkan sebagai hunian, perkantoran dan kawasan industri terpadu. Jadi disini jelas perbedaan antara emiten konstruksi dan property murni.

Emiten konstruksi berkembang sudah sangat lama, untuk menunjang REPELITA yang dicanangkan orde baru membuat pemerintah kala itu membentuk BUMN khusus sektor konstruksi untuk menggarap proyek-proyek pemerintah khususnya infrastruktur yang di komando oleh Departemen PU. Tersebutlah emiten-emiten konstruksi dengan akhiran Karya, dimulai dari Wijaya Karya, Adhi Karya, Waskita Karya, Hutama Karya, Nindya Karya dan Istaka Karya. Kemudian munculah Pembangunan Perumahan (PP) yang awalnya berfokus untuk menggarap proyek perumahan rakyat.

Setelah runtuhnya orde baru, emiten-emiten konstruksi tersebut menjadi bersaing, jika dulu mereka di beri proyek pada porsi masing-masing dengan monitoring pusat, maka setelah orde reformasi 1998, runtuhlah tembok itu. Para karya-karya plus PP tersebut saling bersaing untuk menjadi pemuncak. Karya yang tidak sanggup bertahan akan berguguran dengan sendirinya, dimulai dari pailitnya Istaka Karya pada 2011 yang tidak sanggup membayar hutangnya akibat korupsi jajaran direksinya dan Nindya Karya yang gaungnya sangat tipis terdengar, namun untungnya masih lolos dari pailit pada 2013.

Kinerja BUMN Konstruksi

Saat ini ada empat BUMN konstruksi yang bertahan dan mencatatkan namanya di bursa saham, WIKA, ADHI, PTPP dan WSKT. Mereka berempat di tambah TOTL sebagai satu-satunya pihak swasta dikenal di dunia konstruksi sebagai the big-five. The big-five hampir menguasai 70% pangsa pasar konstruksi besar di Indonesia. Dengan pengalaman waktu operasional yang lebih dari 40 tahun menyebabkan ke lima perusahaan itu sudah memiliki jaringan divisi di seluruh Indonesia, ini yang menyebabkan ke lima besar itu sulit dilampaui oleh perusahaan lain.

Yang unik dari perusahaan konstruksi ialah penilaian kinerjanya yang berbeda dari perusahaan pada umumnya. Jika pada perusahaan lain dapat dilihat dari pertumbuhan laba bersihnya, maka pada dunia konstruksi lebih menekankan pada pendapatan proyek. Sepertinya memang di dunia konstruksi, nilai project memegang peran utama untuk menaikkan pasar. Segera setelah perusahaan mendapatkan project (apalagi project besar, biasanya  di atas 500 Milyar), diundanglah wartawan ke kantor direksi untuk di publikasikan. Dan segera kita akan tahu di Kontan, Detik dsb bahwa baru saja ADHI mendapatkan project PLTU Kaltim atau PTPP dengan PLTGU Tanjung Uncang, WIKA untuk pembangunan pabrik Alumina atau WSKT dgn Jalan Tol di satu tempat.

Laba akan direview ketika proyek sedang berjalan dan jarang di publikasikan secara live. Jujur saja, jarang sekali dari perusahaan konstruksi tersebut yang melaporkan laba secara 'clean'. So, sepertinya publik pun sudah banyak tahu, sehingga laba tidak menjadi pemicu utama ketertarikan publik terhadap sahamnya. Yang banyak di ekspos tentu jenis project, klien dan nilai projectnya. Hidup mati perusahaan konstruksi adalah projectnya. 

Kinerja pendapatan proyek 5 besar perusahaan konstruksi (Milyar)
Dari grafik dapat dilihat dimana pendapatan keempat BUMN konstruksi meningkat secara signifikan secara gradual sejak 2005 dan peningkatan paling signfikan didapat oleh PTPP dan WSKT.

Tahun 2007 disebut juga tahun reformasi bagi BUMN konstruksi dimana mereka mulai merambah kedalam bisnis konstruksi EPC yang nyata-nyata sebelumnya bukan ranah mereka. Proyek EPC berbeda dengan proyek konstruksi sipil pada umumnya dimana pada proyek EPC, fase konstruksi dimulai dari fase Perencanaan (Engineering), Pengadaan barang & Jasa (Procurement) dan Konstruksi (Construction). Ini merupakan hal baru karena biasanya fase engineering selalu mereka berikan ke konsultan perencanaan, mereka tinggal membeli bahan baku (bulk material) untuk pekerjaan sipil dan langsung dikerjakan.

Pada proyek EPC, karena yang mereka bangun adalah proyek integrasi antara sipil, mekanikal, elektikal, instrument dan pipa, sehingga mereka tidak bisa memberikan begitu saja desain perencanaan kepada pihak lain, karena pekerjaannya saling terkait sejak dari permulaan (desain proses dan kalkulasi mekanikal). Llain halnya jika proyek tersebut merupakan join operation, contoh: WIKA dan Technip untuk proyek Gas Matindok Pertamina atau ADHI dan Sinohydro China untuk proyek PLTU Kaltim.

Proyek-proyek EPC antara lain proyek Migas, pembangkit listrik dan pabrik. Dari jenisnya saja terlihat bahwa proyek EPC memiliki prestise tersendiri dan tentunya memiliki harga yang tinggi. Hampir mayoritas proyek EPC nilainya mencapai trilyunan. Contoh terbaru adalah proyek 2014 WIKA untuk Gas Matindok Facilities milik Pertamina senilai 2,7 trilyun dan proyek ADHI untuk Petrokimia Gresik senilai 1.81 trilyun.

Nilai ini jelas jauh di atas perolehan proyek sipil semacam gedung, hunian, jalan layang, renovasi rumah sakit atau sekolah yang jarang nilainya lebih dari 300 milyar.

Proyek EPC memang belakangan ini menjadi primadona, bahkan menjadi mayoritas di dalam perolehan proyek 2014-2015. Sebagai contoh untuk ADHI sendiri, perolehan kontrak baru di 2014 dengan total 9,2 trilyun dimana 8.2 trilyunnya adalah dari proyek EPC, begitu pula dengan PTPP dengan PLTU Tanjung Uncang 125 MW yang baru rampung, pun dengan WSKT. Sedangkan WIKA, selain masih serius menggarap proyek pembangkit milik PLN, mereka juga serius dalam menggarap mega-project dari Saudi Arabia.

Sepanjang tahun 2007 hingga 2010, para emiten konstruksi tersebut sibuk membenahi ladang baru mereka. Baru pada 2010-2013 ketika divisi baru emiten-emiten ini yang bernama divisi EPC sudah 'nyetel' dan terus mendapatkan banyak project prestisius untuk Pembangkit Listrik dan Migas plus ditunjang dengan realisasi dari proyek-proyek swasta dan semakin membesarnya pendapatan project. Saham ke-empat emiten tersebut langsung terbang ke langit. Sejalan dengan predikat mereka yang 'naik kelas'.

Grafik pergerakan ke 5 saham konstruksi
Ada yang menarik dari grafik di atas sekaligus menjawab postingan Jhon Veter dan kawan-kawan dalam grup saham Junior_Trader, mengapa dalam grafik tersebut TOTL terlihat sangat ketinggalan? padahal jika kita cek laporan keuangannya, labanya cukup bagus dan naik signifikan. Jawabannya kembali keatas. Proyek!. TOTL tidak memiliki proyek yang masuk kategori mega-project atau prestisius yang bisa menaikkan kelas mereka. Proyek TOTL bisa dibilang itu-itu saja; gedung perkantoran, kawasan industri, hotel, jalan dan rumah sakit. Ya respon pasar pun biasa-biasa saja terhadap TOTL, ingat: respon pasar akan sesuai dengan fundamental emiten, cepat atau lambat.

Proyek jugalah yang menyebabkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap price earning ratio antara emiten konstruksi dan emiten property murni. WSKT memiliki PER 35.01x dengan pertumbuhan laba hanya 4.88% dibanding tahun 2013 lalu namun memiliki pendapatan 2014 sebesar 10 trilyun. Bandingkan dengan LPKR yang memiliki PER 19.24x, dengan pertumbuhan laba yang tinggi sebesar 17.21% dibanding tahun yang sama, namun dengan pendapatan 2014 'hanya' sebesar 6 trilyun.

LPKR, PWON, ASRI dkk merupakan emiten property murni yang mengandalkan pengembangan lahan sebagai recurring income dibanding mengerjakan mega proyek yang trilyunan, sehingga respon pasar terhadap emiten property lebih 'realistis' dibanding terhadap emiten konstruksi. Ditambah lagi efek dari suku bunga dan naik turunnya nilai property. Berbeda dengan konstruksi yang memiliki jangkauan lebih luas, bukan hanya mengerjakan proyek trilyunan, mereka juga mampu untuk memiliki recurring income dari hunian, hotel dan apartemen dengan memiliki divisi hotel dan properti sendiri.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa harapan pasar terhadap pencapaian proyek-proyek prestisius emiten konstruksi memang besar, sebesar nilai proyek dan resikonya. Inilah yang menyebabkan PER mereka menjadi begitu tinggi.

Harga Mahal

Saham-saham konstruksi papan atas di Indonesia terkenal dengan harganya yang mahal, beberapa teman investor mengeluhkan hal ini sehingga cenderung menghindar. Pbv yang di atas 3x, bahkan PER di atas 20x telah menjadi patron value investor bahwa harga tersebut mahal. Penulis pun mengakui bahwa saham-saham konstruksi papan atas memang mahal.

Seperti yang dijelaskan di atas, naiknya saham-saham tersebut dikarenakan respon pasar yang memang sangat meminati sektor ini, walaupun menurut penulis sendiri efek pasar terhadap konstruksi ini sudah berkategori over-whelming. Tapi, di samping 'naik kelas' itu tadi, saham-saham ini memang memiliki sisi safety yang mumpuni. Safety disini mengacu pada kontribusi pemerintah di dalam perolehan proyek. Mungkin anda masih mengingat sekitar pertengahan tahun 2013 ketika mobil menteri BUMN kala itu, Dahlan Iskan mogok di halaman gedung kementrian, tapi sejenak kemudian tiba-tiba datanglah Toyota Alphard yang berisi petinggi BUMN menjemput beliau. Di dalam Toyota Alphard itu duduk Kiswodharmawan, dirut ADHI beserta direktur operasional. Bisa dibayangkan betapa dekatnya antara BUMN konstruksi dengan kementeriannya.

Penulis sendiri pun alumni dari salah satu emiten BUMN tersebut dan mengakui bahwa sepak terjang emiten-emiten tersebut luar biasa dalam berebut proyek. Jika tender, ya lawannya itu-itu saja, paling Rekayasa Industri atau Tripatra yang menjadi saingan utama. Jika ada asing masuk maka hampir dipastikan bahwa perusahaan asing tersebut akan di gandeng menjadi joint operation. So, agaknya jalur ini akan tetap berlaku pada tahun-tahun berikutnya, sesuai dengan target presiden Jokowi yang menggenjot proyek infrastruktur darat dan laut.

Sebelum presiden Jokowi menargetkan pun, pertumbuhan laba rata-rata para emiten ini semenjak 2005 hingga 2014 berada di atas 20%, dan rata-rata pertumbuhan perolehan proyek di atas 19%. Sehingga dengan mengikuti target pemerintah maka perhitungan discounted cash flow kami optimis untuk menggunakan angka pertumbuhan 20% bukan 17% seperti metode konservatif. Jika memakai angka pertumbuhan 20%, maka WIKA akan memiliki margin of safety sebesar 16% atau masih berpotensi naik hingga Rp. 4200/saham. Catatan: dengan asumsi ini, hanya PTPP yang masih memiliki margin of safety negatif.

Kendala Konstruksi

Kendala dalam dunia konstruksi tentunya jika perekonomian Indonesia menurun, maka dipastikan proyek-proyek infrastruktur pun bakal menurun. Tetapi untuk menyiasati itu, hampir semua emiten di atas sudah memiliki recurring income pada masing-masing lini bisnisnya. WIKA dengan WTON-nya, WTON merupakan recurring income potensial karena tugas WTON adalah penyedia produk, bukan pencari proyek. Demikian juga ADHI dengan Grandhika, PTPP dengan PP Property dan WSKT dengan Waskita realty & Pre-cast.

Penulis berpendapat, bahwa sektor ini (sudah sering dibahas di blog ini, disini dan disini) adalah sektor yang menjadi salah satu pilihan di tahun 2015. Di banyak seminar-seminar saham pasti ada dua sektor yang selalu di bahas: konstruksi dan pelayaran. Dan di blog ini penulis bisa kasih bocoran bahwa sebaiknya salah satu dari lima emiten di atas layak mengisi portfolio anda untuk jangka menengah enam bulan hingga setahun kedepan. Tinggal anda curahkan waktu untuk membuat valuasi yang hati-hati sebelum memilih.    

Salam Investasi

4 komentar:

  1. Tulisan yang bagus pak, keren dan mencerahkan saya yang sebelumnya memang menghindar dari saham konstruksi krn mahal, tapi ulasan ini membuka pengetahuan saya. Thx anyway

    BalasHapus
  2. Dear pak, artinya saat ini lebih realistis utk memegang PTPP ketmbang TOTL yg justru harga nya lebih wajar?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang2 prushaan premium memang susah utk di diskon..utk konstruksi kt hrus lihat prospek pak

      Hapus