14 Des 2014

INVESTASI VERSUS SPEKULASI - THE INTELLIGENCE INVESTOR (BAB I)

,
Bab pertama dari buku legendaris The Intelligence Investornya Benjamin Graham ini merupakan bagian yang paling penulis sukai, bukan karena konten tentang investasinya, tapi lebih dari itu bab ini merupakan penjelasan tentang hal paling mendasar sebelum kita mulai menaruh uang di bursa saham. Yaitu definisi dua "tokoh" yang pastilah bertolak belakang, Investasi dan Spekulasi.

Penulis punya contoh konkrit dari teman dan pengalaman penulis sendiri. Disini bukan sama sekali copy paste dari "kisah pemuda" yang banyak ditulis di blog, walaupun kisahnya memang mirip.

Tahun 2007, seorang teman yang datang dari Kepulauan Riau tiba-tiba mengajak membuka rekening RDS di salah satu broker terkenal di Jakarta karena melihat tetangganya yang dalam satu hari bisa merubah rumah tipe 46 menjadi tipe 100 (miris sih..tapi..simsalabim!) hasil dari 'main' saham di Jakarta akibat kenaikan harga saham di akhir 2007. Dengan penuh keyakinan dia merayu penulis untuk 'berinvestasi' dengan kata-kata sakti "KEBEBASAN FINANCIAL". Akhirnya penulis pun ikut-ikutan terjun ke saham dan  kemudian bangga dengan predikat "Investor".

Ya.. I N V E S T O R..sesuai email yang dikirim oleh broker tersebut:

"Dear our valuable Investor"

Keren kan?

Sungguh absurd ketika itu kami bangga dengan titel tersebut ketika tahu apa definisinya sekarang. Hasilnya? Boom!! tahun 2008 datang dan akhirnya portofolio hanya tersisa 30%nya. 

Bingung, cemas dan panik tentu saja menghantui kami. Apa yang salah? tentu saja salah, karena kami tidak pernah tahu "akan kemana uang kami". Kami hanya membeli saham hanya berdasarkan kasak kusuk (penulis lebih suka menyebut kasak kusuk ketimbang rumor) dengan satu tipe pola yang mirip:

Time A: Wah, lihat tuh saham ABCD breakout..beli kali yah? (ragu)
Time B: Hmm...iya tuh, liat berita..saham ABCD diprediksi mulai up-trend, beli! (yakin 40%)
Time C: beli..beli...beli!! (100% beli)
Time D: lho..kok mandek, turun..kenapa? (kaget)
Time E: Waah..turun..sell..sell..! (melengos, karena cut-loss 5%)

Lima time frame itulah pola yang secara alamiah selalu berulang, dan akan selalu berulang karena saham merupakan zat yang likuid, mudah berubah bentuk tergantung dari pola jual-beli yang terjadi.

Anehnya, saham memang membuat addict - bagi yang memang doyan, dan kadar adiktifnya setara dengan kopi. Namun kali ini dengan pendalaman materi yang lebih utuh, penulis mendapati logika sederhana yang masuk akal.
  • Hanya mendengar kasak kusuk tentang grafik dan aksi korporasi perusahaan yang belum terbukti, bisa mendapatkan keuntungan di bursa saham
  • Dag-dig-dug setiap pembukaan hingga akhir penutupan jam bursa hingga bisa mendapatkan keuntungan / kerugian
  • Memakai margin atau HUTANG untuk mendapatkan keuntungan / kerugian dari saham gorengan
Apakah dari tiga cara di atas kita bisa mendapatkan kebebasan financial seutuhnya? atau malah kita akan termakan oleh kerugian. Coba lihat kembali time frame A-E, mana kemungkinan yang paling kita seutuhnya masuk bursa? Jawabannya: C!, sebagai pemain eceran, posisi kita adalah yang C, dimana saat itu para "ikan besar sedang menyantap ikan kecil". Penulis tidak menyamakan semua trader, terlebih trader yang sudah berpengalaman dan bermodal besar.

Inilah yang ditekankan oleh Benjamin Graham dimana investor memiliki definisi terbalik dengan spekulator:

"Investasi adalah sebuah operasi yang, melalui analisa yg mendalam, menjanjikan  keamanan modal pokok dan juga tingkat pengembalian (return/hasil) yg LAYAK.  Operasi yang tidak memenuhi persyaratan di atas adalah spekulasi." . Sumber: The Intelligence Investor, dari: JanganSerakah

Tujuan pokok investasi adalah menjanjikan keamanan terhadap modal, dengan tingkat hasil yang LAYAK, kata "layak" jelas didefinisikan bukan sesuatu yang superb, luar biasa, extraordinary dan sebagainya. Hasil yang "layak" oleh sebagian kalangan disebut apabila imbal hasil kita telah melebihi dari tingkat suku bunga deposito dari Bank Indonesia dan juga tingkat inflasi. So, kenaikan 15% per tahun sejatinya sudah bisa dianggap layak.

Menarik mengapa Benjamin Graham memakai kata-kata layak, tak lain ialah untuk menghindari manusia dari sifat rakus dan tamak dengan hanya mendengar rumor.

Yang berikutnya, adalah definisi "Investor" yang oleh banyak kalangan didefinisikan bebas "semua orang yang menaruh uang di bursa saham".

Sederhananya:

Apakah mau jika Saratoga yang membeli saham Tower Bersama Infrastruktur dengan mempelajari perusahaan. melakukan pembenahan manajemen disana -sini lalu menghasilkan kinerja bagus, laba meningkat dan kemudian harga sahamnya naik disamakan dengan penulis and the gank yang membeli saham ketika pembukaan jam bursa tanpa tahu perusahaannya, dag-dig-dug menanti ketidakpastian hasil dan kemudian mendapatkan hasil hari ini untung dan kemudian hari besok rugi. Lalu kedua hal itu dianggap sebagai satu kata yang sama: "investor"?

Definisi salah kaprah yang coba di luruskan oleh Benjamin Graham bahwa seharusnya Wall Street - di Indonesia adalah BEI - seharusnya menginformasikan kepada masyarakat tentang perbedaan antara investor dan spekulan, agar di kemudian hari tidak timbul kerugian yang besar yang diakibatkan oleh tindakan spekulatif. Ben mengkritik penggunaan kata "Investor" yang diobral dengan mudahnya, dan sayangnya itu masih berlanjut hingga hari ini.

Graham juga menambahkan bahwa memang tidak bisa dihindari faktor spekulatif yang ada di dalam seorang investor, dimana tugas lainnya dari investor ialah membatasi diri seminimal mungkin terhadap faktor spekulasi tersebut.

Contohnya: Mungkin kita masih ingat ketika beberapa waktu lalu saham BWTP anjlok ketika terjadi right issue yang kemudian tentunya membuka peluang bagi para pemilik dana untuk masuk membeli sahamnya.

Kasus ini mengandung 2 hal:
  1. Investasi: Ketika kita melihat saham tersebut anjlok, kita langsung meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi anjloknya harga saham, apakah semata-mata hanya right issue? sekedar PER yang dibawah 10x? Atau memang laba dan kinerjanya juga menurun? Bagaimana dengan hutangnya? Cash flownya?, Jika memang tidak terjadi apapun pada BWPT maka kita yakini bahwa sahamnya akan naik sejalan dengan kinerjanya. Perhatikan, bahwa disinipun ada unsur spekulasi, karena kita memanfaatkan momentum dengan berharap bahwa selisih titik tertinggi sebelumnya dengan titik terendah ketika anjlok dapat menjadi faktor margin of safety. Hanya saja, kita sudah meminimalisir resiko kita dengan mempelajari terlebih dahulu kinerjanya. Seorang investor tidak serta merta memborong saham jatuh, dia akan mencicil sedikit demi sedikit karena tahu, resiko saham tersebut akan anjlok lebih dalam sangatlah terbuka.
  2. Spekulasi: Kebalikannya, kita langsung memborong saham yang jatuh dengan dugaan bahwa inilah bottom-nya, bahkan dengan menggunakan MARGIN, dengan kasak kusuk yang beredar bahwa sahamnya pasti akan segera rebound. Memang betul saham tersebut pasti akan rebound, tapi kapan? anybody knows? 
Jujur saja, hanya menjadi investor bagi penulis sangatlah membosankan, karena memang yang kita prospekkan adalah hasil riil dari perusahaan tersebut, bukan sekedar tebak-tebak buah manggis. Sehingga hasilnya baru bisa di petik dalam beberapa tahun kedepan. Sedangkan ada keasyikan tersendiri ketika kita melakukan spekulasi dengan melihat..entah itu chart, kasak kusuk gosip atau apapun, yang terpenting bagi penulis adalah proporsinya yang jelas di dalam portofolio.

Benjamin Graham pun dalam akhir babnya mengatakan bahwa bisa saja seorang investor pun menjadi spekulan, hanya proporsi yang harus di atur, Ben mengusulkan angka  20% spekulasi dan 80% investasi. Angka ini cukup masuk akal, namun saat ini penulis lebih suka angka 30% spekulasi atau trading dan 70% investasi dengan membagi ke dua rekening terpisah. Alasannya? agar kita bisa selalu fokus dalam mengatur portofolio. Sedangkan alasan persentasenya, tidak ada.

Angka ini bisa berbeda pada tiap orang, asalkan yang perlu dicatat bahwa spekulasi bedanya setipis kertas dengan emosi. Ada seorang teman yang memiliki buku investasi satu rak penuh, link sederet, S2 manajemen investasi..tetapi panik ketika melihat INDF turun ke 6500..dan menjual TSPC di harga 2900 karena dua alasan: 1. Nggak kuat lihat cuan, 2. Nggak kuat lihat warna merah.

Jangan pernah mencampurkan dana untuk investasi dan dana untuk spekulasi anda! Juga jangan pernah mencampurkan investasi dan spekulasi dalam otak anda! - Edison

The mother of all evil is speculation.  - Gordon Gekko

Salam Investasi

0 komentar to “INVESTASI VERSUS SPEKULASI - THE INTELLIGENCE INVESTOR (BAB I)”

Posting Komentar