23 Agu 2014

Crashmology

,
Crashmology

Istilah Crashmology saya kutip dari celetukan seorang teman saya di Line grup, grup yang memang khusus membahas tentang saham. Kurang lebih artinya begini, sebagai seorang Investor apa sih yang ingin kita beli? Sudah tentu, barang bagus dengan harga yang murah..bahkan sangat murah. Nah kapan perusahaan-perusahaan bagus tersebut akan menjadi murah, bahkan terdiskon obral gila-gilaan hingga 50 - 70%  ? (kalah tuh diskon lebaran) , kapan lagi menjadi value investor sebenarnya?

Jawabannya adalah disaat Market Crash. Wow..mari kita bahas..

Istilah Market Crash muncul pada tahun 1929 di Amerika Serikat ketika terjadi peristiwa runtuhnya Wall Street yang terkenal dengan istilah Black Monday , Black Tuesday dan Black Thursday. Penurunan yang sungguh luar biasa hingga total 89% dari titik tertingginya kala itu. Info: Wall Street baru bisa mencapai 75% nya dari kejatuhan tersebut pada tahin 1954  atau seperempat abad kemudian.

Indonesia sendiri baru mengalami Market Crash yaitu 2 kali. Pertama pada tahun 1998 yang saat itu dipicu oleh krisis ekonomi Asia akibat devaluasi nilai tukar bath Thailand, yang dengan segera dan terstruktur menyerang perekonomian Indonesia hanya dalam hitungan bulan, demonstrasi besar-besaran yang mengakibatkan mundurnya penguasa orde baru kala itu, Soeharto. Memicu penarikan dana besar-besaran oleh pihak asing terutama warga Tiongkok akibat kerusuhan yang terjadi yang mengakibatkan banyak warganya yang menyelamatkan diri dengan membawa uang cash.

Yang kedua pada tahun 2008, dimana IHSG terkoreksi hingga 61% dari titik tertingginya. Namun hal ini disebabkan oleh krisis external dan bukan dari dalam negeri sendiri. Tahun 2008 inilah yang menjadi pembelajaran bahwa nilai saham merupakan cerminan prilaku konsumennya. Dan apapun yang terjadi, selama fundamental masih dipertahankan, maka tak ada yang perlu dikuatirkan, buktinya IHSG kembali cepat menguat sejak 2008 dan hanya mengalami koreksi wajar di tahun-tahun berikutnya.  

Sebetulnya, yang disebut crash terjadi setiap tahun minimal setahun sekali dengan rata-rata penurunan 18% di Indonesia. Namun 2 tahun (1998 dan 2008) itu saja yang menurut penulis merupakan Market Crash sebenarnya, tahun-tahun yang lain istilahnya adalah 'ambil nafas' atau 'rehat sejenak'. Penulis sendiri berpengalaman pada tahun 2008 apalagi saat itu penulis masih betul-betul baru di pasar modal (bayangkan!), lebih dari setengah hasil tabungan ludes di bursa saham hanya dalam waktu tiga hari.













Pergerakan IHSG 1998 - 2014. Sumber: Yahoo Finance

Ciri - Ciri Market Crash

Yang mempengaruhi market menjadi crash ada pada perilaku konsumen sendiri, yang menyebabkan pasar menjadi bubble ataupun crash yaitu Greed and Fear. Kita hampir tidak pernah melihat saham ataupun indeks berhenti pada harga wajarnya. Harga selalu menjadi over-valued (pada saat pasar bullish) ketika orang menjadi serakah atau under-valued ketika pasar bearish dan saat orang ketakutan. Yang sangat perlu kita cermati adalah : Di saat-saat itulah para analis, para broker dan berbagai media keuangan secara membabi-buta memberikan informasi yang mendukung untuk kondisi yang berkembang.


Ini gambaran psikologi masyarakat pasar modal secara umum yang banyak terjadi.

















Terlihat jelas bahwa kebanyakan para pemain saham (saya tidak menyebut istilah ini dengan Investor) selalu terlambat dalam memprediksi dan sebagian besarnya hanya terpengaruh indera nya masing-masing. Indra Mata dan Telinga, sehingga tidak melihat apa yang seharusnya jelas terlihat. Yaitu.. harga yang tinggi dan rendah! itu saja.

Contoh pada posisi no 3. Kebanyakan dari kita justru terpengaruh pemberitaan dimana-mana, menciptakan kondisi 'terlambat' sehingga para pemain nekat langsung berani ambil resiko untuk menggunakan leverage (margin) dengan mengharapkan harga yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.

Kondisi yang tercipta adalah posisi no.4, terciptanya bubble price atau harga yang menggelembung. Ini masih bisa di tolerir jika fundamental ekonomi masih cukup kuat, tapi apa yang terjadi jika hutang yang beredar menjadi begitu besar melebih jumlah uang yang beredar? dan akan jatuh tempo pada waktu yang sama? Inilah yang terjadi pada kondisi Black Thursday 1929. Ingat, sejarah akan terus berulang.

Prinsip No.2

Be Fearful when other are Greedy and Be Greedy when other are Fearful. Inilah prinsip no.2 Warren Buffet yang kemudian dianut oleh banyak investor sejati. Prinsip pertamanya Never Lose Your Money sudah menjadi kalimat wajib bagi para Investor



















Penulis kurang setuju prinsip di dalam dunia saham, Trend is your Friend namun bukan berarti anti. Penulis pun kadang-kadang merasa lebih percaya diri ketika market sedang bullish, ketimbang market sedang bearish. Kurang setuju dalam arti kembali ke prinsip nomor 2 tadi.

Rulesnya seperti ini: Jika anda menginvestasikan uang anda di posisi fundamental value (lihat gambar atas) kemudian menjualnya di posisi Greed Pleasure, dilanjutkan dengan mencicil kembali di posisi Fear Pain dan menjadi full power ketika kembali di posisi fundamental value, apa yang anda dapatkan? Secara teoritik 1000% lebih kenaikan di portfolio akan anda nikmati.

Sure, tidak ada yang dapat menebak kapan market akan Crash dan kapan akan Growth. So, sekedar konsolidasi pun merupakan titik sempurna untuk mencicil investasi. Kuncinya adalah selalu memperhatikan kondisi FUNDAMENTAL. Entah itu findamental suatu benua (pergerakan ekonomi Asia misal), fundamental dan issue nasional (Jokowi menang pemilu misal) ataupun fundamental perusahaan itu sendiri.

Anda dan para Partnership khususnya bisa selalu mengupdate berita-berita terkait fundamental emiten terkait di blog ini, silahkan subscribe untuk berlangganan

Salam Invest!

0 komentar to “Crashmology”

Posting Komentar