26 Jul 2015

Boom and Bust Theory Bagian 3: Antara Beijing dan Jakarta

,
Dear rekans, sebelumnya izinkan saya untuk mengucapkan Minal Aidzin Wal Faidzin, mohon maaf lahir batin bagi seluruh pembaca setia blog Srimaya ini, semoga seluruh ibadah di bulan puasa lalu mendapat berkah yang maksimal bagi yang menjalankannya.

Masih menyambung artikel sebelumnya tentang terjadinya Boom and Bust, untuk mempermudah pemahaman bagi para rekan terutama yang baru masuk dunia pasar modal / investasi dan masih kebingungan dengan turunnya nilai investasi secara ekstrim yang diikuti munculnya istilah bubble di berita. Berikut saya sederhanakan secara umum 10 tahap terjadinya Boom and Bust dalam suatu negara:


China dan Gelembung Pasar Saham.

Dari infografis diatas kita sebetulnya bisa menilai secara masing-masing kondisi investasi yang kita ikuti berada dalam fase apa, sayangnya  kita tidak pernah betul-betul mengetahui kita berada dalam fase apa karena semua individu memiliki persepsi. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa persepsi manusia adalah bias / salah. Namun kita diajak untuk membenarkan persepsi bias tadi dengan mengumpulkan satu per satu persepsi individu menjadi persepsi massal. Caranya: memuat artikel di media, email berlangganan, dan e-book. Dan persepsi dari banyak individu tersebut akhirnya mempengaruhi kita yang awalnya menyadari secara logika. Ini pula yang saat ini sedang melanda China.

The Chinese market is the wild wild west version of the stock market.

Tak berlebihan jika bursa saham China dijuluki wild wild west bursa saham. Istilah wild wild west adalah ungkapan orang Amerika untuk sesuatu yang liar dan tak terkendali. Ibarat koboi yang belum matang tapi sudah mengendarai kuda rodeo.

Di Amerika, bursa saham adalah bursa yang sudah sangat matang, sudah melalui beragam kondisi boom and bust yang seperti infografis jelaskan di atas dan sudah teruji dalam setiap gejolak ekonomi dunia. Itulah mengapa di Amerika tersedia 'pengaman' sekaligus 'pelecut' untuk orang tetap bertrasaksi di Wall Street, diantaranya: shorting, options, circuit breakers, futures, index dan re-balancing, yang dikelola oleh perangkat profesional (hedge funds, institutional funds, pension funds, dan retail investor).

Sebaliknya, pasar saham China masih muda, seperti di Indonesia, kondisi pasar modal China belum memiliki mekanisme pasar selayak Amerika (tidak ada options, shorting hanya diijinkan terbatas) dan lebih penting lagi, masyarakat China belum memiliki pengetahuan akan pasar modal dengan baik, termasuk pengetahuan akan resiko pasar modal (disini Indonesia lebih baik).

Periode Boom dimulai tahun 2013, bahasa sederhananya ketika itu China sebagai pemilik predikat negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia mulai tertarik mengembangkan pasar modalnya, Dimulai dengan suntikan dana besar pemerintah China kedalam pasar, terutama pada perusahaan BUMN dimana bertujuan agar ada peningkatan modal untuk menunjang berbagai proyek infrastruktur, teknologi, manufaktur dan perbankan yang meningkat sangat pesat.

Meskipun awalnya pasar mengalami stuck tetapi cenderung bergerak naik secara wajar sesuai dengan fundamental ekonomi ditambah dengan adanya kebijakan perbaikan likuiditas dan kelonggaran pinjaman. Namun katalis terbesarnya justru ketika pemerintah China mulai membuka akses hubungan langsung dengan pasar modal Hong Kong untuk menarik minat investor international pada April 2015 lalu.

Tahapan Boom and Bust di China sebagai berikut:

2013, Pasar saham China mulai naik secara perlahan, dari mulai Shenzhen Stock ExchangeShanghai Stock Exchange,  dan Hong Kong Exchange. Kenaikan ini masih sesuai dengan kondisi fundamental China yang dinilai sebagai negara dengan pertumbuhan tercepat.

Sumber: Bloomberg

Dari grafik di atas, coba bandingkan antara Shenzen dan Shanghai Stock Exchange yang naik secara Boom! dengan IHSG dan Dow Jones yang naik secara 'normal' dan bertahap.

2014, bursa China terus menerus naik dengan selalu mencetak all time high-nya. Koran dan majalah lokal maupun asing selalu berisi tentang gembar-gembor ekonomi China yang tumbuh pesat. Ini membuat masyarakat China terpancing menciptakan harapan untuk menjadi lebih cepat kaya dan jalan satu-satunya ialah masuk bursa saham, siapa yang tidak tergiur keuntungan lebih dari 20% dalam satu bulan?

2015, masyarakat China semakin berlomba untuk membuka rekening baru di sekuritas lokal, beberapa analis menyebut angka 20 juta rekening baru dibuka dalam periode April hingga Juni 2015. Hal ini tidak menjadi masalah apabila rekening dibuka secara wajar tanpa ada pertaruhan. Yang menjadi masalah ialah ketika sekian banyak  rekening itu dibuka oleh masyarakat China dengan hanya sedikit uang cash, alias berhutang, bukan hanya mempertaruhkan tabungan sebagai jaminan tetapi juga aset; rumah, apartemen, kendaraan dan lebih gila lagi beberapa pengusaha menjaminkan pabriknya untuk masuk ke bursa saham. Entah bagaimana pola pikirnya otoritas jasa keuangan disana, yang pasti rasio margin mencapai 10:1.

Lupakan Fundamental

Pasar China dominasi oleh investor yang belum atau bahkan tidak berpengalaman, ini membuat hanya sedikit dari mereka yang melakukan valuasi terhadap rasio harga terhadap laju laba emiten di pasar. Bahkan muncul anekdot "Forget the fundamental, just follow the algorithm". Maksudnya jelas, tidak perlu melihat fundamental emiten seperti apa, yang penting adalah lihat chart, dan selalu beli ketika harga break. Tentu saja teknik Darvas sangat berguna disini.  Selengkapnya Tentang Darvas dan ini

Akibatnya price earning ratio (P/E) di Shanghai Stock Exchange mencapai kisaran 20x dan di Shenzen Stock Exchange mencapai 50 - 60x dari rata-rata kenaikan laba bersih emiten-emitennya. Bahkan ChiNext, kumpulan saham-saham small-cap memiliki trailing P/E hingga mencapai 90x. Angka ini dua kalinya dari kejadian bubble dot.com di Amerika.

Mania berlangsung beberapa saat sebelum banyak dari Investor China maupun asing yang berpengalaman mulai menyadari bahwa gelembung sudah nyata di depan nyata. Pada April 2015, dua bulan sebelum gelembung pecah, Teng Bingsheng dosen dari Cheung Kong Graduate School of Beijing sudah memperingatkan "The bubble is making and valuations are extremely expensive".

Antara Beijing dan Jakarta

Bagaimana sebetulnya ekonomi China sebelum menghadapi pecahnya gelembung pasar saham? Apakah berpotensi seperti Amerika 1929? Lalu yang terpenting, bagaimana dampak kepada Indonesia?

Kita tahu bahwa erat kaitan ekonomi China dengan Indonesia, karena sebagian besar barang-barang konsumsi, dari mulai gelas plastik hingga skala pembangkit listrik melakukan kerjasama dengan China.

Mari kita lihat chart di bawah ini.


Perhatikan garis lurus berwarna orange di atas, itu adalah garis delta mean atau garis laju rata-rata pertumbuhan tahunan GDP (Gross Domestic Bruto) antara China dan Indonesia. Terlihat telah terjadi perlambatan perekonomian yang bukan hanya China tetapi juga Indonesia. Kabar baiknya, angka pertumbuhan GDP kita masih lebih tinggi dari 5 tahun yang lalu, berbeda dengan China yang angkanya sudah lebih rendah dari 5 tahun yang lalu. 

Sekilas memang terlihat bahwa ekonomi Indonesia dan China sedang sakit. Namun apakah seperti itu? Seperti kita tahu bahwa faktor pembentuk GDP ialah konsumsi (masyarakat dan pemerintah), investasi dan nilai ekspor impor. Karena hubungan China dan Indonesia adalah perdagangan, mari kita mulai dari yang terakhir, yaitu melihat laju neraca perdagangan ekspor impor yang biasa disebut Balance of Trade (BOT).

Silahkan simak chart Balance of Trade di bawah ini:

Balance of Trade ialah indikator yang menunjukkan perkembangan dari ekspor dan impor suatu negara. Sehingga jika kita perhatikan, baik China maupun Indonesia sama-sama memiliki laju BOT yang positif setahun terakhir dimana nilai ekspor lebih besar dari nilai impor. Meskipun jika dirunut dalam 10 tahun terakhir  BOT kedua negara terutama Indonesia masih cenderung menurun dan masih dibawah garis mean tapi posisi Indonesia sedang merangkak naik (perhatikan lingkaran).

Yang kedua, cara simple melihat apakah China dan Indonesia bermasalah ialah dengan melihat laju consumer confident, yaitu indikator yang menggambarkan kepercayaan diri dari konsumen (masyarakat) terhadap daya beli, pendapatan dan lapangan pekerjaan.



Grafik yang mengejutkan, sebagian besar dari anda pasti mengira bahwa Indonesia yang di dominasi oleh berita-berita pesimis dalam negeri memiliki indikator konsumen yang rendah, tapi justru negara kita ini memiliki tingkat kepercayaan konsumen yang lebih tinggi dari China dan bahkan Amerika.

Data ini memang diambil dari survey terhadap golongan mid-low hingga high-end atau berarti golongan bergaji 3 juta ke atas. Golongan ini merupakan bagian dari 78% pembentuk nilai GDP Indonesia sehingga dari golongan inilah sebetulnya ekonomi kita berjalan.

Anda tidak perlu heran sebetulnya, grafik ini sudah cukup menjawab mengapa Mall di hampir seluruh kota di Indonesia selalu ramai setiap weekend? ataupun mengapa antrian tol Cipali bisa luar biasa panjangnya ketika musim mudik, padahal mudik membutuhkan biaya besar. Justru saya akan lari dari negeri ini kalau tiba-tiba jalur mudik menjadi sepi.

Indikasi berikutnya adalah melihat kenaikan tingkat hutang negara. Dan kita akan coba bandingkan external debt (Hutang yang dibiayai pihak luar negeri) antara China dan Indonesia.

Pada tahun 2004, China memiliki external debt sebesar 2,629 hundred million USD dan meningkat menjadi 8,955 hundred million USD pada 2014, hutang China meningkat 202% selama 10 tahun. Indonesia memiliki external debt sebesar 139 hundred million USD pada 2004 dan meningkat menjadi 292 hundred million USD pada 2014. Atau meningkat 117% pada periode yang sama. Jadi jika bandingkan dari tingkat hutang, Indonesia masih jauh di bawah China,  lebih baik dari Malaysia yang hutang luar  negerinya bertambah sebanyak 8000% (yes tidak kelebihan nol, delapan ribu persen) hanya dalam waktu 6 tahun, bahkan lebih baik dari Jepang yang disebut sebagai negara paling maju di Asia.

Kesimpulan

Apakah di China sudah terjadi Bust? Ya. Apakah Indonesia juga indikasi terjadi Bust? Boom saja belum, coba perhatikan table ini.






Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik:
  1. Jumlah investor lokal Indonesia hanya sekitar 408 ribu investor, atau masih kurang dari 1% total populasi. Sedangkan di China sudah hampir mencapai 7% dari total populasinya. Dari sisi jumlah investor ataupun trader, Indonesia masih sangat jauh dari yang namanya MANIA.
  2. Index consumer confident Indonesia tergolong baik, kita hanya kalah dari India, artinya negara kita di gerakkan oleh sumberdaya yang produktif dengan etos kerja yang baik. Keinginan orang Indonesia itu banyak (konsumtif) sehingga kerja keras (lembur, side job, dll) sudah menjadi hal yang biasa. Dan ini menjadi hal positif pada pola pikir investasi untuk tidak mengejar keuntungan besar dengan instant, sehingga masyarakat Indonesia masih terjaga untuk berpikir wajar terhadap bursa saham
  3. Sebaliknya, bagusnya neraca perdagangan China tidak diikuti oleh consumer confident masyarakatnya, terjadi anomali pada masyarakat China entah itu apa (gaji terlalu rendah? eh..).  Tak heran jika banyak dari mereka yang tergiur oleh keuntungan instant pada bursa saham, sehingga tindakan irrasional pun dilakukan. 
  4. Peningkatkan balance trade kita yang masih dibawah rata-rata 10 tahun sudah menjadi perhatian pemerintah, yaitu dengan meningkatkan nilai ekspor. Langkah yang saat ini sedang dilakukan adalah memperbaiki infrastruktur (non migas) untuk meringankan biaya produksi sehingga harga barang menjadi bersaing.
  5. Inflasi di Indonesia cukup tinggi, angka 7.26 termasuk angka yang tinggi dibanding seluruh dunia, Indonesia hanya lebih baik (rendah) dari Russia dan Brazil yang notabenenya memang sedang bermasalah dan memiliki index consumer confident negatif.
  6. Persentase pengangguran di Indonesia lebih tinggi dari China, so, jika ada isu mengenai tenaga kerja China yang akan di ekspor ke Indonesia sepertinya perlu di kaji ulang.
  7. Angka PER bursa saham China sudah overvalued. Jika angka PER bursa saham Shenzen sebesar itu, artinya rata-rata perusahaan di China harus memiliki earning growth sebesar 40% di 2015-2016 untuk sekedar mendekati nilai wajarnya. Dan hampir mustahil jika katakanlah 20 perusahaan berkapitalisasi terbesar di China kompak memiliki earning growth sebesar itu.
  8. Jikapun terjadi penurunan pada IHSG Indonesia, itu bukanlah merupakan pecahnya gelembung, melainkan koreksi. Dan jika terjadi peningkatan pada GDP ataupun balance trade Indonesia setelah infrastruktur selesai dibangun, bersiaplah menuju babak baru investasi di Indonesia.

Salam Investasi   

15 komentar:

  1. Suka infografisnya, dan selebihnya sangat bermanfaat. Thanks

    BalasHapus
  2. Saya suka blog ini karena penulisnya orang yg optimis bgimanapun kondisi negara ini, keep it up pak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang seharusnya begitu bukan? hehe salam pak

      Hapus
  3. Pak ryo, meskipun langkah pemerintah sudah bagus, tapi kebijakan pajaknnya kok seperti asal-asalan ya pak? sy khawatir pajak ini (yg blm jelas dan tidak tegas) bisa menyurutkan bisnis di indonesia kedepan

    Salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, bisa panjang nih pak dibahas hehe, yg pasti pemerintah pasti punya ahli dlm perhitungan simulasi pajak thdp forecast revenue, laba, IRR dsb utk setiap sektor. Tentunya hasil akhir ke arah forecast GDP, forecast balance of trade dsb. Yang kita khawatirkan adalah ketidaktegasan pemerintah dan miskomunikasi dgn pejabat

      Hapus
  4. Kondisi BEI masih jauh dari efisien, sejumlah saham2 consumer dan konstruksi yg kapitalisasi besar dan liquid sangat mahal gilanya lalu saham small , medium cap sangat kebangetan murahnya. For value investor : " there are many best oportunity here " . Dedy Muller.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes, di beberapa postingan saya menyebut kondisi market kita bahkan masih in-efficient :)

      Hapus
  5. malam pak ryo, soal stimulus yg bikin naik 2% ... ak sih berpendapat Balance sheet nya IDR yang sudah tercetak pada masa QE akan menjadi bumerang dan menjadi bom waktu hiperinflasi karena nilainya akan melemah secara drastis sedangkan return surat utang akan semakin menggelembung yang akan membuat surat utang akan tidak laku karena yield yg tidak realistis.

    BalasHapus
  6. Thanks for sharing pak!

    BalasHapus
  7. Saya lebih suka cerita romantika jaman dulu dibalik tulisan ini sebenernya..antara beijing-jkt, cinta kandas, investasi cerdas :) piss bro

    BalasHapus
  8. Keren, walapun prdagangan china masih yg trbesar di dunia, bahkan mata uang yuan bisa menjdi acuan mata uang dunia sm dolar us. Ini cuma bubble on market, not on economic

    BalasHapus
  9. Yuan akan menjadi 2nd world reserved currency, dunia akan bergoncang krn perubahan ini

    BalasHapus
  10. great arcticle sir..... please permit ponder your articles

    BalasHapus