11 Jul 2015

Boom and Bust Theory Bagian 2: Soros dan Reflexivity

,

Prinsip Ketidakpastian Manusia

Seperti menyusun sebuah anagram ketika kita berbicara tentang filosofi investasi, bukan hanya soal untung atau buntung, tapi lebih dari itu soal pemahaman terhadap perilaku manusia. Padahal secara pengertian sederhana investasi adalah "Kegiatan membeli suatu instrument yang diharapkan akan naik nilainya di masa mendatang sehingga menimbulkan keuntungan bagi investor" Dari sini tidak ada hubungannya dengan perilaku.

Tapi coba kita lihat, Pokok kata didalam kalimat diatas adalah 'membeli', arti membeli ya biasa saja, beli ya beli karena butuh. Tetapi terdapat kata lain yang mempengaruhi unsur kata pokok sebelumnya, yaitu 'harapan'. Terlihat kata pokok kedua mengikat kata pertama dan menciptakan hubungan sinergi yang disebut perilaku. Sehingga manusia tidak akan membeli instrument investasi jika dia tahu tidak ada harapan, untuk itu manusia harus memastikan bahwa investasi 'pasti' naik nilainya sebelum ia memutuskan untuk membeli.

Kok bisa 'pasti'?

Disinilah hubungan perilaku manusia dan investasi mulai terjalin. Manusia sejatinya adalah makhluk yang selalu bermimpi akan adanya kepastian. Jika tidak, buat apa banyak sekali dukun atau fortune teller yang disewa atau di bayar mahal untuk membaca masa depan seseorang, bahkan kalau bisa merubah masa depan itu sendiri?. Jawabannya karena satu hal. Manusia butuh kepastian.

Sayangnya investasi bukanlah kepastian sehingga timbul kontradiksi antara harapan dengan investasi yang membuat ini menjadi menarik dan menjadi dasar pemikiran Soros berikutnya.

George Soros dan Teori Refleksivitas  

George Soros, big player investasi asal Hungaria yang terkenal dengan julukan "the man who broke the Bank of England" dan juga spekulator di balik krisis financial Indonesia tahun 1998 di dalam bukunya "The Alchemy of Finance" menjelaskan secara rumit tentang teori reflexivitas dan hubungannya dengan kegiatan investasi. Maklum karena Soros selain sebagai investor juga seorang filsuf ekonomi, sehingga gaya bahasanya sangatlah filosofis.

Soros berpendapat bahwa terdapat dua hal di dalam investasi, yaitu pemikiran (fungsi kognitif) dan situasi partisipan (saya lebih suka menyebut dengan kata investor). Di satu sisi para investor mencoba memahami realitas yaitu dengan cara melakukan valuasi terhadap nilai invetasi, berapa harga yang seharusnya dibayar, berapa nilai sebenarnya (intrinsik) dan di harga berapa para investor ini mulai layak masuk.

Sehingga di tahap ini disebut juga awal mula teori pasar efisien dimana harga yang ada di pasar sangat menggambarkan kondisi fundamental pasar itu sendiri.

Di sisi lain, para investor menghadapi sebuah situasi dimana mereka memiliki keinginan bahkan mereka mencoba menciptakan hasil agar seperti diharapkan. Di awal saya menyebutkan tentang harapan. Harapan investor adalah jelas: Mereka menghendaki keuntungan yang maksimal dari pasar. Kita semua mengganggap bahwa pemikiran dan keinginan kita adalah sama, padahal ini jelas jauh berbeda.

Pemikiran membentuk konstanta, sedangkan keinginan adalah campuran hasrat dan emosi. Kedua hal yang bertolak belakang namun berjalan bersamaan. Inilah yang dinamakan Refleksivitas.


Refleksivitas dalam Pasar Saham

Pasar saham adalah pasar yang cukup memberikan 'ruang' kepada intelektualitas manusia untuk berkembang, karena di dalamnya terdiri dari bentuk usaha. Tidak seperti pasar uang yang bersifat subjektif, pasar saham lebih bersifat objektif karena menyangkut sektor usaha riil.

Emiten di pasar saham dapat di valuasi dengan jelas, karena berbentuk badan usaha sehingga data-data yang ada bisa dipertanggung jawabkan. Ada otoritas jasa yang mengatur dengan beragam izin dan perundang-undangan. Dengan kondisi demikian apa yang terjadi di pasar saham menurut teori adalah hubungan satu arah, dimana fundamental perusahaan mempengaruhi nilai saham itu sendiri.

Yang menjadi masalah adalah kembali ke atas, yaitu persepsi manusia terhadap valuasi. Valuasi yang sejatinya berupa konstanta seperti 1+1 = 2 harus menghadapi kenyataan dengan penggunaan asumsi yang..lagi lagi diciptakan oleh harapan manusia, artinya valuasi disini memberikan ruang kepada harapan plus realitas manusia untuk bermain.

Contoh: Jika emiten A memiliki rata-rata pertumbuhan EPS selama 5 tahun adalah 9.5%, maka untuk menghitung Future Value berapa angka pertumbuhan yang kita gunakan? Graham menyebut 10%, saya menyebut 9.5%, tetapi teman saya yang mendengar rumor bahwa laba emiten ini akan melonjak, menggunakan angka 15% sebagai dasar perhitungan. Dari sini saja, tentu penilaian emiten di masa depan akan saling berbeda bukan?

Soros mengeluarkan dua pernyataan tentang pasar saham:
  1. Pasar selalu bias (cenderung) ke satu arah dan lainnya.
  2. Pasar dapat mempengaruhi peristiwa - peristiwa yang diantisipasi pasar itu sendiri.
Penjelasan pertama, pasar selalu bergerak dengan kecenderungan, entah positif atau negatif. Kecenderungan dibentuk karena adanya harapan investor di masa depan, Soros menggambarkan bahwa jika saat ini terdapat perbedaan yang nyata antara harga saham dengan nilai intrinsiknya, maka sebetulnya harga saham tersebut sudah mewakili harapan investor itu di masa depan. 

Penjelasan kedua akan saya ambil dari contoh kondisi pasar menjelang pemilihan presiden 2014 lalu. Pada saat itu IHSG mengalami kondisi fluktuatif menjelang Pemilu, alasan klasik yang bisa ditebak. Pasar menunggu siapa kandidat Presiden yang paling disukai rakyat. Oke stop!. Disini fungsi situasi muncul dahulu.

Mendekati Pemilu, rakyat semakin jelas arahnya akan kemana,  dimana Presiden yang di elu-elukan mulai berbicara tentang angka pertumbuhan satu tahun pertama yang ditarget mencapai 7%, disini para analis ekonomi mulai menghitung pencapaian ekonomi kita termasuk target IHSG 2015 di angka 6500. Stop! disini fungsi kongnitif baru mulai muncul.

Dunia nyata antara fungsi kognitif dengan fungsi situasi mulai bermain dan saling memotong. Mungkin pada saat itu analis sudah tahu bahwa target 7% sangat sulit tercapai, untuk awal pemerintahan GDP di angka 5.5% saja sudah termasuk sangat bagus. Namun disisi lain, calon presiden itu mulai menampilkan itikad baik, dengan langsung mendatangi gedung Bursa Efek.

Hal ini tanpa disadari mulai berefek pada fungsi kognitif, dimana para analis lansung membuang pulpen mereka dan menjawab: Yah ini presiden kita!. IHSG langsung berubah bullish dalam waktu singkat, jargon sell in may and go away tidak laku di  Indonesia kala itu. IHSG menyentuh all time high-nya di 2014 tanpa pernah melakukan retrenchment yang berarti.

Kondisi IHSG saat itu mempengaruhi peristiwa yang sedang terjadi, karena indeks, calon Presiden semakin dielu-elukanLalu bagaimana jika ternyata di masa depan hasilnya tidak memuaskan? Ingat kasus South Sea Bubble? Tetapi seperti kata Soros, pasar selalu melakukan antisipasi.

Sayangnya pasar melakukan antisipasi tidak saat itu, tetapi saat ini ketika pertumbuhan ekonomi tidak seperti yang dijanjikan. Jika saya perhatikan, ada dua jenis antisipasi pasar:
  1. Antisipasi positif, pasar cenderung bergerak ke arah positif akibat berita dan isu yang berkembang mendapat apresiasi positif. Jenis antisipasi ini biasanya muncul mendahului fakta.
  2. Antisipasi negatif, kebalikan dari antisipasi positif. Antisipasi ini muncul belakangan. Meskipun terdapat berita buruk pada emiten, selama itu belum terbukti, antisipasi positif masih berlaku.
Soros mendapat untung yang luar biasa hanya dengan memerhatikan antisipasi pasar. Bahkan dia sendiri yang menciptakan situasi pasarnya.


Siklus dan Bias Persepsi

Persepsi manusia selalu tampak salah (bias) karena kita tidak bisa untuk tidak menggunakan informasi dan hanya fokus pada valuasi, padahal informasi yang kita terima sangatlah minim. Sedangkan pasar memiliki prinsip yaitu pasar selalu benar. Pasar dibentuk bersama-sama berdasarkan fundamental, informasi dan harapan, otomatis pasar memiliki informasi yang jauh lebih besar dari individu.

Sayangnya informasi itu selalu diterjemahkan salah oleh para pelaku pasar, pasar selalu bertindak terlebih dahulu berdasarkan informasi yang minim tersebut.

Itulah mengapa begitu banyak saham berfundamental bagus yang dijual dengan harga jauh diatas nilai wajarnya. Memang betul bahwa harga saham merefleksikan fundamental, tetapi yang dilakukan individu jauh melampaui itu . Dan itu terjadi berulang-ulang di dalam sistem investasi kita.


Bagaimana simplifikasi terjadinya boom and boost? nantikan di artikel selanjutnya pada: Antara Beijing dan Jakarta.

Salam Investasi

5 komentar:

  1. nice pak......
    makasih ilmunya ^_^

    BalasHapus
  2. Mantab sekali pak!

    BalasHapus
  3. keren pak , ini memang selalu terjadi, dan akan terus terjadi selama manusia ingin cepat kaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih pak, memang ini untuk mengingatkan kita akan greedy yg selalu kita alami :)

      Hapus
  4. Wow, that's what I was looking for, what a data! present here at this blog,
    thanks admin of this web site ().

    BalasHapus