Mencermati potensi emiten baru, sebanyak 35 emiten baru di targetkan listing tahun ini. Begitulah bunyi Headline news majalah INVESTOR edisi Januari 2015 yang menjadi weekend reading list penulis di minggu ini. Penasaran dengan siapa saja emiten di dalam berita tersebut, penulis mendapatkan 35 (38 tepatnya) emiten yang ter-list di halaman 44.
Sumber: Dok Pribadi |
Hampir 80% dari semua emiten yang ada adalah emiten yang menarik. Tapi yang paling menarik tentu saja munculnya nama perusahaan BUMN terbesar, yang mendapat predikat BUMN dengan laba terbesar tahun 2014, Pertamina.
Tidak tanggung-tanggung, empat anak perusahaannya menjadi target IPO di tahun ini; Pertamina Gas, Pertamina Drilling Services, Pertamina Hulu Energy dan Pertamina Geothermal.
Sekilas, mendengar ke empat nama itu saja, kita sudah dibayangkan oleh hal-hal yang extraordinary, anak emas negara, proyek migas dengan nilai besar, gaji pegawai besar plus tunjangan ini itu, keamanan kerja yang terpercaya dan tentunya penentu hajat hidup rakyat Indonesia. Bayangkan, pemerintah baru mengeluarkan isu mau naikin BBM saja, ributnya rakyat luar biasa. Trending topic di tivi berhari-hari dan begitu sudah di naikkan, betapa kita merasakan efek yang luar biasa walaupun sebetulnya bukan efek secara fisik, tapi lebih kepada efek akibat pemberitaan atau news effect.
Lalu bagaimana 'pesona' Pertamina tadi dapat meyakinkan para Investor ritel? yang notabenenya memburu saham dengan dua pendekatan: Fundamental dan Teknikal, sedangkan kita tahu bersama bahwa alur bisnis migas adalah alur bisnis yang paling complicated di seluruh dunia. Secara fundamental harus ditelusuri hulu ke hilir, yang mana terdapat efek spekulasi yang besar disana, apalagi secara teknikal. Tapi tetap saja, industri ini sangat menarik, setidaknya bagi penulis pribadi.
Kenaikan harga BBM dari Rp 6500/liter menjadi Rp 8000/liter kemudian turun lagi menjadi Rp 6700/liter menimbulkan suatu berita spekulasi bahwa kenaikan tersebut di lakukan oleh pemerintah sebagai pemasukan cadangan untuk menutupi lobang anggaran yang mana anggaran tersebut akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastructur. Setelah anggaran tersebut aman, pemerintah kembali menurunkan harga premium (penulis tidak ingin menyebut 'subsidi') kembali ke Rp 6700/liter untuk mengikuti harga minyak dunia - kali ini diikuti pertamax dan kawan kawan.
Pertanyaan besar bermula: jika harga minyak Indonesia mengikuti harga minyak dunia, artinya ketergantungan pemerintah (terutama Pertamina) terhadap pengaruh minyak global besar sekali? Betul. Lantas bagaimana jika harga minyak dunia terus turun? Ya bisa rugi. Lalu apakah IPO ini menjanjikan? Kita tidak tahu, kita harus lihat dari latar belakang anjloknya harga minyak dunia terlebih dahulu.
Harga minyak dunia terus mengalami penurunan yang signifikan sejak JUNI 2014. Pada saat itu, harga minyak WTI (West Texas Intermediate) masih di ambang 105 USD/barrel dan pada saat itu, banyak spekulan yang memprediksi minyak akan terus melambung melampaui all time high-nya di 133.38 USD pada Juli 2008. Tapi kenyataannya tiba-tiba harga minyak terus turun tanpa terkendali hingga hari ini di kisaran 44.80 USD/barel. Hanya dalam waktu 7 bulan, harga minyak anjlok sebesar 57%! Silahkan lihat chartnya DISINI
Adapun penurunan harga minyak itu dipengaruhi oleh dua hal dasar:
Pertama adalah faktor Ekonomi.
Sama dengan faktor ekonomi biasa, khususnya harga komoditas. Maka harga minyak juga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan. Ketika tahun 2003 dimana terjadi krisis Irak (Amerika menggulingkan Saddam Husein) yang menyebabkan munculnya gerakan perlawanan rakyat Irak dengan melakukan peledakan-peledakan pipa minyak yang hampir setiap hari terjadi. Efeknya produksi minyak Irak berkurang drastis. Kemudian diikuti badai Katrina di Amerika yang melumpuhkan produksi minyak mereka dan juga krisis Nigeria yang mana semua hal tersebut menyebabkan penawaran/produksi berkurang sedangkan pemintaan tetap (naik wajar secara eksponensial), sehingga harga minyak melonjak tinggi hingga puncaknya pada Juli 2008.
Saat ini, seperti dilansir majalah dan media online luar (Forbes, Times, Reuters dll). Terjadi kebalikan, dimana permintaan menurun drastis akibat menurunnya tingkat ekonomi negara-negara pengimpor minyak, diantaranya: China, Jepang, AS dan terutama Eropa, sehingga terjadi penumpukan minyak mentah akibat Arab Saudi dan negara Arab lainnya yang tidak mau mengurangi produksi. Apakah benar? Mari kita lihat lebih jauh.
Produksi minyak mentah lebih pada kisaran 70 juta barel per hari semenjak 2004 dan pada 2013, produksi mencapai angka 75.24 juta barel per hari. Konsumsi minyak dunia ada pada kisaran 80 juta barel per hari dan pada 2013 mencapai angka 90.35 juta barel per hari (silahkan klik disini). Menurut IEA (International Energy Agency) permintaan pada 2014 mencapai 93.08 juta barel per hari dan produksi mencapai 93.74 juta barel per hari. Apa yang menarik? yang menarik tentu adalah FAKTA bahwa permintaan akan minyak tidak pernah akan turun. Begitu pula dengan gas, selama dunia membutuhkan energy selama itulah kebutuhan akan minyak dan gas selalu bertambah.
Penulis ingat pemikiran George Soros tentang konsep 'titik equilibrium' atau 'titik keseimbangan'. Dimana konsep tersebut bukan hanya menekankan pada titik keseimbangan nilai intrinsik dari saham, tapi juga titik keseimbangan akan permintaan dan penawaran dan berujung pada "bergoncangnya" harga. Disini kita lihat bahwa produksi minyak sejak 2004 semakin mendekati titik konsumsi / permintaan dan akhirnya mencapai 'titik equilibrium' pada 2014 yang kemudian memotong untuk selanjutnya harga menjadi jatuh. Mungkin inilah yang oleh para pengamat disebut penurunan permintaan. Nyatanya permintaan tetap naik eksponensial, namun produksi yang bertambah secara gradual.
So kesimpulannya, alasan pertama tentang ekonomi tidak bisa di lacak secara fakta, sehingga mungkin agak sedikit bingung mendengar pendapat para pengamat dan ahli perminyakan, mungkinkah memang alasan tersebut 'disengaja'? Lantas mengapa produksi minyak meningkat melebihi permintaannya? Dalam waktu 7 bulan?? Menarik.
Kedua adalah faktor Politik.
Maret 2001, pada pertemuan puncak energi nasional, Abraham Isbenser, sekretaris energi presiden Bush, mengatakan, “Amerika akan menghadapi krisis yang sesungguhnya dalam cadangan energi selama dua dekade mendatang. Sesungguhnya kegagalan menghadapi tantangan ini akan mengancam kemakmuran perekonomian dan akan mempengaruhi keamanan nasional. Juga akan merubah metode kehidupan kita.” Pidato ini menyulut reaksi frontal dari Presiden Amerika George Bush untuk mengeluarkan statement pada pidatonya “Sesungguhnya AS tergantung kepada minyak.”. Dan dia menambahan “Kita akan menghadapi masalah yang pelik, AS tergantung kepada minyak yang diimpor dari wilayah yang tidak stabil (Negara Arab dan Afrika) dan cara yang paling baik untuk melepaskan diri dari ketergantungan itu adalah teknologi.”
Atas dasar itulah, Bush menyatakan harapannya, kalau dia melakukan hal itu, maka AS akan mampu “Melepaskan diri dari kira-kira 75% impor minyak dari Timur Tengah setelah tahun 2025.” Inti dari pidato tersebut adalah dorongan Bush untuk pengembangan energi alternatif, yang nantinya (saat ini) disebut "Shale oil"
Rencana Bush untuk mengembangkan sumber-sumber alternatif dan menurunkan impor minyak telah mengarahkan terjadinya kenaikan harga minyak yang rendah hingga sampai pada level harga mahal, sehingga relevan dengan pemasaran sumber alternatif (nantinya).
Di sinilah peranan perusahaan-perusahaan minyak, khususnya perusahaan-perusahaan Amerika. Perusahaan-perusahaan itu mulai melakukan spekulasi harga dan membuat berbagai manuver untuk merekayasa permintaan (supaya) terus meningkat, tanpa meperhitungkan kebutuhan konsumsi riil. Di samping perusahaan-perusahaan itu juga melakukan penimbunan, sehingga harga minyak mengalami lonjakan beruntun sampai melampaui 75 USD per barel dan terus beruntun hingga 133 USD per barel. Sehingga pada titik ini sebetulnya para 'pemain' bisnis minyak sudah tahu, bahwa lonjakan harga minyak tidak akan berlangsung lama dan begitu terjadi konflik yang sedikit saja, maka harga minyak akan lepas.
Kita tahu bahwa penentu harga minyak bukan hanya dari satu sisi (AS atau Arab Saudi) tapi lebih dari itu, yang mana importir (China, Jepang, Kanada dsb) juga para kontraktor minyak (Exxon, Chevron, BP dsb) ditambah OPEC sendiri dan para broker minyak yang berpusat di Singapura adalah para pemberi pengaruh terhadap harga minyak itu sendiri.
Ucapan Bush terbukti pada 2013, ketika AS berhasil melampaui Arab Saudi dan Rusia sebagai eksportir minyak terbesar di dunia disebabkan ekstraksi minyak melalui pemecahan batuan sedimen di bawah tanah (shale oil).
Bank of America menyebutkan pada musim panas 2014: “AS akan terus menjadi produsen terbesar minyak di dunia pada tahun ini, melampui Arab Saudi dan Rusia, dalam mengekstraksi energi dari minyak bebatuan (shale oil). Itulah yang membangkitkan perekonomian dalam negeri. Produksi minyak mentah AS, berdampingan dengan cair, dan pemisahan minyak dari gas alam, telah melampaui negara lain pada tahun ini. Produksi minyak AS lebih dari 11 juta barel pada kuartal pertama tahun in “AS menjadi produsen minyak terbesar setelah menyalip Arab Saudi”, Bloomberg, 4 Juli 2014).
Revolusi minyak dan gas bebatuan (shale oil and gas) di AS menyebabkan peningkatan produksi minyak dari 5,5 juta barel per hari pada tahun 2011 menjadi saat ini 10 juta barel per hari. Hal itu bisa menutupi sebagian besar kebutuhannya sehingga impor minyak AS dari Arab Saudi bisa menurun hingga setengahnya yaitu menjadi 878 ribu barel per hari dari sebelumnya 1,32 juta barel per hari. Inilah pemicu pertama dari mulai turunnya harga minyak, karena semenjak itu AS mulai mengurangi import minyak mereka terhadap Timur Tengah.
Akan tetapi masalah minyak bebatuan (shale oil) adalah biaya produksinya yang mencapai 75 USD per barel. Sementara biaya produksi minyak alami (crude oil) tidak lebih dari 7 USD per barel. Ini artinya bahwa negara-negara produsen minyak bebatuan (shale oil) terutama AS akan terpukul jika harga minyak menurun hingga level di bawah biaya produksi itu. Dengan kata lain, ketika Bush mengumumkan bahwa shale oil akan menjadi energi alternatif di tengah naiknya harga minyak (yang karena ulah spekulan dan krisis timur tengah) shale oil menjadi sangat ekonomis pada tahun 2011 ketika harga minyak mentah tinggi. Akan menjadi tidak ekonomis nilainya saat ini jika harga minyak mentah di bawah biaya produksi shale oil itu sendiri. Meskipun dengan peningkatan teknologi biaya itu bisa di reduce menjadi 50 - 60 USD per barel. Sehingga, harga yang paling ekonomis untuk minyak menurut AS adalah 80 USD per barel.
Bisa kita lihat bersama, bahwa strategi konspirasi AS mencari 'titik equilibrium' ternyata di hambat oleh Arab Saudi, yang mana sangat berpengaruh di dalam OPEC. Arab Saudi yang dikenal sangat dekat dengan Inggris mulai bermanuver dalam politik untuk mempengaruhi produksi shale oil AS dengan cara terus melakukan produksi minyak mereka bahkan menambah kapasitas produksinya, yang mengakibatkan harga minyak anjlok seketika hingga di bawah 80 USD per barel.
AS mulai mengetahui ini, terutama ketika pertemuan OPEC di Wina pada 27 November 2014 yang ternyata mendukung penuh manuver politik Arab Saudi untuk tetap tidak menurunkan produksi minyaknya. Dan menariknya, hal ini didukung penuh oleh seluruh peserta konfrensi dari Timur Tengah dan juga Eropa.
Ketika Amerika mengetahui hal itu, maka John Kerry, menteri luar negeri AS, melakukan kunjungan ke Arab Saudi pada 11/9/2014 bertemu dengan Raja Arab Saudi, Raja Abdullah di istana musim panasnya dalam sebuah kunjungan yang tidak direncanakan sebelumnya. Setelah kunjungan itu sendiri Arab Saudi justru menambah produksi minyaknya lebih dari 100 ribu barel per hari selama sisa bulan September. Pada minggu pertama November Arab Saudi menurunkan harga minyak jenis Arab Light sebesar 45 cent per barel. Hal itu lantas mendorong harga minyak terus turun cepat dari harga US$ 80 per barel.
Tahu bahwa manuver pertamanya gagal terhadap Arab Saudi, AS mulai menunjukkan persetujuan terhadap penurunan harga minyak dan memakai isu pengaruh dampak penurunan harga tersebut terhadap Russia yang menduduki Krimea dan TENTUNYA juga terhadap politik Iran dalam konteks nuklir. Dengan kedua isu tersebut, Kerry mulai menyusun strategi untuk meyakinkan Arab Saudi kembali menjustifikasi harga minyak di level 80 USD per barel. Jauh sebelumnya, pada Maret 2014 lalu miliarder Goerge Soros mengusulkan kepada pemerintah Amerika "sarana untuk menghukum Rusia" karena menggabungkan semenanjung Krimea, yaitu dengan jalan menurunkan harga minyak.
So, Kerry berusaha menunjukkan persetujuan menurunkan harga pada batas ekonomisnya dengan kemudian 'berpolitik' (bahasa halus dari: mengelabuhi) terhadap Eropa dan Timur Tengah bahwa AS serius dalam menolong Ukraina melawan Russia. Disini dua sisi mata uang diperlihatkan oleh AS. Namun ternyata untuk pertama kalinya dalam sejarah AS tidak berhasil dalam misinya, harga minyak terus turun bahkan di level 48 USD per barel, jauh dari nilai ekonomis shale oil itu sendiri karena Arab Saudi masih terus berproduksi dengan kapasitas 100 ribu barel per hari.
Apakah harga minyak akan terus turun? Dilihat dari kenyataan bahwa Arab Saudi masih enggan menurunkan kapasitasnya, jawabannya adalah YA, setidaknya ada tiga hal :
- Arab Saudi terus melakukan peningkatan produksi hingga AS benar-benar menyerah dan kemudian menghentikan produksi shale oilnya dan kembali mengimpor minyak.
- AS berusaha terus mengembangkan teknologi agar biaya produksi shale oil dapat ditekan sehingga nilai shale oil tetap ekonomis meskipun harga minyak dunia turun.
- Atau kemungkinan kedua bahwa AS akan kembali melakukan aksinya langsung ke Timur Tengah, membuat berbagai konspirasi sehingga membuat defisit neraca APBN Arab Saudi membesar, sehingga terpaksa menurunkan kapasitas produksinya dan kemudian harga minyak kembali naik.
Potensi Pertamina
Entah dari tiga hal tersebut menjadi penting atau tidak, namun bagi kita semua pengetahuan tersebut perlu dikarenakan kebijakan ini berdampak banyak bagi Indonesia dan terutama calon emiten yang akan listing di bursa ini, dimana khususnya Pertamina yang 95% pendapatannya dihasilkan dari berjualan minyak mentah. Di tahun ini saja, Pertamina sudah membukukan penurunan laba bersih sebesar 28 %. Tapi fakta yang menarik kembali muncul, Pertamina hingga tahun ini mengimpor minyak mentah dari Arab Saudi dan Singapore lebih dari 850 ribu barel per hari dari total kebutuhan 1.5 juta barel per hari dan membutuhkan biaya impor hampir 2 trilyun per hari.
Itu artinya, Indonesia sebagai negara kaya minyak sudah tidak ada lagi, lebih dari setengah kebutuhan kita di impor dari negara lain, bahkan cadangan minyak kita kalah dari Malaysia. Penurunan harga minyak ini secara financial sebetulnya menguntungkan Pertamina sebab biaya impor menjadi sedemikan kecil. Dengan mempertahankan biaya operasional dan produksi maka laba Pertamina bisa meningkat signifikan. Bahkan mungkin lebih menguntungkan impor daripada produksi sendiri - memalukan memang :(
So, ada dua hal ironi yang kita alami. Di satu sisi, negara kita hanya memiliki cadangan minyak yang tinggal sedikit bahkan tidak bisa menutupi kebutuhannya sendiri dan disisi lain berbagai pihak di dalam bisnis minyak (Pertamina, Petral dan para broker) bisa mendulang untung yang besar karena jatuhnya harga minyak. Ya tentunya dengan mengorbankan predikat negeri kaya minyak dengan predikat negara importir minyak.
Salam Investasi
Source:
Dari beragam sumber lainnya.
Ryo, you're right, as above mention that actually pertamina will get the advantage from oil price down either they import or produce. Import qty is bigger than produce and you know well that they reduce some project in java north sea. One of YY platform hold already.
BalasHapusBut, some insight telling us that USA could produce shale gas under the prices, and they also continue Saudi's intervention to reduce oil production. So we waiting and perhaps in mid of 2015 oil price will going back on track. If not, world war III :)
Helo Jim, the advantage of pertamina maybe is still undercover, caused it will impact to their nationality policy. For my self, if pertamina's subsidiary public offering is true, i wouldn't interest to invest, not consider from oil price, but consider from government policy. At least for this time.
HapusPertamina is supposed to be encourage to increase productivity, make special engineering than choosing an easy way. Import is not answer.
Halo pak, sekarang terbukti point yg ketiga. AS melancarkan misi politik thd Yaman, yg membuat Arab Saudi bergerak thp Yaman, akibatnya harga minyak mulai naik lagi sedikit demi sedikit
BalasHapusInsight yang luar biasa pak, thanks for sharing
BalasHapus