Judul di atas adalah judul yang diambil dari pertanyaan yang paling sering muncul, baik di sosial media saham, blog, youtube atau sekedar japri. All right fellas! BRIS..BRIS..BRIS lagi, emang ada apa sih dengan BRIS?
BRIS akan merger dengan tiga perusahaan bank syariah. Betul. Apa saja? Yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah (BNIS), Bakal jadi besar donk? Lebih besar iya. Seberapa besar? Sayangnya... biasa saja.
Hah? Biasa saja!. Berita heboh begini, saham sudah jadi superman dan anda bilang itu biasa saja? Ya memang biasa saja. Nyesek aku mas!! Biar gak nyesek, yuk mari lihat data-datanya.
Per 21 Oktober 2020 kemarin, BRI Syariah mengumumkan kepastian rencana mergernya, diperkuat lagi dengan statement dari Kementerian BUMN soal merger ini, plus kepastian bakal launchingnya mereka pada 1 Februari 2021 nanti.
Bahkan mereka sudah punya visi misi, yaitu menjadi 3 besar bank syariah terbesar di dunia. Namanya Bank Syariah Indonesia (BSI). Hebat.
Menurut Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang ditunjuk, setelah merger (bergabung) ketiga Bank Syariah ini, maka Market Cap menjadi 32,1 trilyun, terdiri dari nilai pasar wajar dari BRIS, BSM dan BNIS masing-masing sebesar 7.8 trilyun (setara harga wajar di Rp 781 per lembar), 16.3 trilyun dan 8 trilyun.
Which is itu biasa banget.
Mari bandingkan dengan Market Cap dari the big four-nya bank di Indonesia, kita ambil saja yang terkecil dari empat besar itu adalah BNI. Berapa market cap BNI? Pada laporan keuangan kuartal 4 tahun 2020, Market Cap BNI sebesar 144 trilyun. Berapa BCA? 815 trilyun.
Sehingga, nilai 32.1 trilyun itu biasa banget. B i a s a. Oke lanjut.
Setelah merger, ekuitas bersama menjadi 20,4 trilyun rupiah, sehingga PBV menjadi 1.57 kali (32.1 dibagi 20.4) yang mana ini masih dalam range harga wajar. Dan dengan total saham yang beredar menjadi 40,8 milyar lembar saham, maka nilai buku menjadi 499.4 rupiah per lembar saham, turun dari nilai buku BRIS saat ini yang sebesar 534 rupiah per lembar saham.
Lantas bagaimana prospeknya?
Pertama, yang harus kita lihat adalah prospek laba. Terus terang, BRIS ini meskipun menyandang nama BRI, namun nilai return on equity (ROE) nya kecil sekali. Tercatat sejak 2015 hingga 2020, ROE BRIS tidak pernah mencapai di atas 7%, paling besar itu 6.81% pada tahun 2016, selebihnya di kisaran 1.4% - 5%.
Bandingkan dengan "bapaknya" BRI atau BNI yang ROE selalu nyaris selalu di atas 10%.
Rata-rata pertumbuhan laba bersih (Earning growth rate) tidak stabil, pernah mencapai 38.83% pada tahun 2016 dibanding 2015, namun setahun berikutnya anjlok minus 40% pada tahun 2017 terhadap 2016 dst, baru melonjak pada 2020 dengan laba bersih (disetahunkan) 254 miliar. Mari lihat tabel:
Rata-rata pertumbuhan laba bersih (Earning growth rate) tidak stabil, pernah mencapai 38.83% pada tahun 2016 dibanding 2015, namun setahun berikutnya anjlok minus 40% pada tahun 2017 terhadap 2016 dst, baru melonjak pada 2020 dengan laba bersih (disetahunkan) 254 miliar. Mari lihat tabel:
Jadi, secara teknis fundamental, BRIS bisa dikatakan perusahaan yang biasa-biasa saja. Malah bisa dibilang perusahaan kagetan, alurnya mungkin mirip perusahaan start-up. Untuk sekelas grup bank BUMN laba 200 milyar itu kelas biasa banget.
Bagaimana setelah merger nanti pak?
Setelah merger, artinya keuntungan ketiga bank syariah tersebut dilebur jadi satu, dimana kedua bank lain, Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah (BNIS) dinilai lebih profitable. BSM mencatat laba bersih mencapai 1 trilyun sampai kuartal III 2020 dan jika dengan asumsi target laba bersih pada laporan akhir tahun tercapai, maka BSM akan mencatat laba bersih 1.3 trilyun.
BNIS sendiri mencatat laba bersih 387 milyar hingga kuartal III 2020, jika disetahunkan maka menjadi 516 milyar, which is ini lebih ciamik ketimbang BRIS.
So, mari kita tambahkan semuanya. Total laba BRIS, BSM dan BNIS (disetahunkan) menjadi 2.7 trilyun rupiah, jika dibanding dengan ekuitas setelah merger maka di dapat angka ROE sebesar 10.15% (laba dibagi ekuitas = 2.7 dibagi 20.4). Yang mana angka ROE ini menjadi menarik.
Dengan kata lain, merger ketiga bank ini mengangkat derajat saham BRIS dari saham "ordinary" menjadi saham yang "good enough". Cukup bagus, tapi bukan wonderful.
Lalu bagaimana prospek sahamnya?
Setelah merger nanti, menurut KJPP, harga wajar saham BRIS adalah di Rp. 786 per lembar, itu dengan ROE 10.15%, sehingga PER nya menjadi 15.5 dan PBV di 1.57. Sangat wajar.
Dengan kondisi yang sama, jika kita menghitung nilai intrinsik (mempertimbangkan risiko) menggunakan prinsip discounted cash flow (DCF), maka nilai intrinsik saham BRIS di kisaran Rp 699 per lembar, dengan asumsi BI rate di 7.5% dan Risk Premium negara kita masih di angka 12.88%.
Dengan kata lain, penilaian nilai wajar KJPP pun masih kemahalan, belum mempertimbangkan tingkat risiko perbankan di Indonesia.
Apalagi untuk harga saat ini di Rp 2,450 per lembar, secara fundamental saham BRIS sudah sangat sangat kemahalan. For long term investor, jangan coba-coba masuk di harga sekarang.
Lantas, mengapa saham BRIS terbang sangat tinggi?
Jawabannya hanya satu, yaitu bandar. Dengan memanfaatkan histeria pasar terhadap ekspektasi saham syariah, bandar mulai memainkan perannya untuk mengeruk keuntungan dari investor retail. Kalau kata band Utopia di lagu Baby Doll "Ku ajak kau melayang tinggi, dan ku hempaskan ke bumi"
Ya, bandar memang kejam, tidak peduli anda pakai uang sekolah anak anda untuk main saham, atau pakai uang operasi orang tua anda, atau anda gadaikan rumah satu-satunya anda. Bandar tidak peduli.
Kapan sebaiknya beli saham BRIS?
Anggap kita memakai nilai wajar dari KJPP, maka di dapat PER BRIS di 15.5x. Angka PER ini masih cukup realistis jika dibanding empat besar bank lain. Sebagai contoh, BCA memiliki PER 35.4x, Mandiri di 15.9x, BNI di 11.36x dan BRI di 20.3x. Jika kita rata-rata maka PER ke empat bank tersebut ada di 20.7x.
Lantas, apakah BRIS bisa ke angka PER tersebut? Jawabannya sangat mungkin. Hanya dengan mempertahankan ROE di 10%-12% per tahun, maka dengan PER di 20.7x di dapat EPS disetahunkan menjadi Rp 50.94 per saham dan harga wajar BRIS ada di Rp 1,124 per lembar. Jika menggunakan rumus DCF dengan memasukkan BI rate di 7.5% dan Risk Premium di 12.88%, maka di dapat intrinsik value di kisaran Rp 858 per lembar. Kedua cara ini angkanya lebih tinggi dari hitungan wajar KJPP
Namun jika menggunakan rumus Benjamin Graham Valuation, maka di dapat intrinsik value saham BRIS ada di Rp 1,465 per lembar (1,500-an masih oke), jauh lebih tinggi lagi. Mengapa demikian?
Berikut perhitungannya:
Nilai Intrinsik (V) Ben Graham = (EPS disetahunkan x (8.5+(2*g)) x BI rate / yield)
dimana:
g = Tingkat pertumbuhan, menggunakan ROE 10.5% (sesuai perhitungan hasil merger)
BI rate = 7.5%
yield = imbal hasil obligasi korporasi, jika AAA menggunakan angka 8.5
BI rate = 7.5%
yield = imbal hasil obligasi korporasi, jika AAA menggunakan angka 8.5
Angka Graham Valuation lebih tinggi karena memasukkan unsur imbal hasil obligasi korporasi, yang mana pada laporan keuangan BRIS, di dapat rating AAA. Dan angka 8.5 di awal rumus adalah konstanta Ben Graham yang mencerminkan angka yang optimis dengan perhitungan respon pelaku pasar. Jika saham tersebut kurang diminati/kurang berprospek biasanya dipakai angka konstanta 7.
Lalu kesimpulannya pak?
Saham BRIS dengan harga di saat ini sangat tidak layak. Bahkan jika nanti pada tanggal 1 Februari besok (which is tinggal 2 hari lagi) merger berjalan lancar, harga saham BRIS sudah sulit untuk dinaikkan lagi.
Harapan investor telah di naikkan bandar jauh sebelum proses mergernya sendiri terjadi, padahal BRIS adalah sebuah entitas bank. Yang mana bisnisnya gitu-gitu aja. Tidak ada bank yang revolusioner seperti Tesla, atau Iphone.
Perkara bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesar adalah soal lain. Bank-bank syariah berdiri sudah sejak tahun 1991 dengan nama Bank Muammalat Indonesia, namun sudah berjalan 3 dekade (30 tahun hingga saat ini), konsumen bank syariah masih jauh di bawah bank konvensional, per Juni 2020 pangsa pasar syariah hanya 9.89%. Untuk negara mayoritas muslim seperti Indonesia, angka tersebut masih sangat jauh.
Bahkan bisa dikatakan bank syariah masih menjadi pelengkap. Tidak sebanding dengan peningkatan masyarakat yang beragama Islam di Indonesia. Salah satu sebabnya adalah bukan rahasia lagi bahwa "bunga" atau keuntungan (nisab) di bank syariah jauh di atas bank konvensional.
Jika kita mengambil KPR di bank syariah pasti harganya menjadi jauh diatas bank konvensional, faktor risiko di bank syariah terlalu diperhitungkan karena mereka menggunakan tarif flat (tanpa bunga).
Itulah mengapa sistem syariah belum terlalu merakyat, populer iya, tapi belum bisa jauh berkembang. Jikapun berkembang, misal berhasil jadi 3 bank syariah terbesar di dunia, maka perkembangannya dalam ketegori "aman dan bertahap", tidak akan terlalu progresif.
So, kembali lagi, bagi anda baik investor long term, short term ataupun trader, lebih baik wait and see, dan action apabila minimal harga BRIS sudah mencapai level 1,500-an (Graham valuation). That's worth it.
Saya tidak akan memakai target konservatif di 785 atau 1,100-an, karena memperhitungkan ekspektasi pasar terhadap BRIS, dan juga laporan imbal hasil obligasi yang dinilai sangat baik (AAA).
Be careful, be brave, be healthy, be smart, pakai uang dingin, jangan pakai uang istri apalagi uang judi, jadilah investor yang cerdas.